Langsung ke konten utama

Kenapa Saya Membenci Fildan?

Siapa yang tak kenal fildan di Baubau? Mungkin tak ada. Sebagian besar orang di kota ini menyukai fildan, tapi saya lebih memilih untuk benci kepadanya, pada fildan. Kenapa? Ini alasannya.

Sudah sangat ramah ditelinga kita tentang fildan, nama ini seakan terus enak didengar dan di sebutkan oleh siapa saja yang ada di Kota Baubau, mungkin juga oleh orang-orang seantero nursantara. Fildan effect, membuat koja-koja (cerita) ibu-ibu jadi begitu hangat, lalu membuat nongkrongnya anak muda jadi sedikit abai sama gadgetnya, hingga jadi salah satu cara efektif mendapatkan perhatian anak-anak dengan menyebutkan fildan.

Bukan saja itu, fildan mulai mengisi ruang-ruang diskusi masyarakat. Jika dulu, kita begitu riuh dengan diskusi panas politik, menyeramkannya konflik antar kelurahan lalu mulai pudarnya kita pada semangat kebersamaan dalam kota. Kini, fildan menyatukan persepsi kita tentang kosakata "baubau", bahkan kata ini menjadi milik semua, ini karena fildan.

Jika ketemu fildan, saya akan sangat keras mempertanyakan "apa yang telah dia lakukan dengan retaknya kebersamaan kita, hanya karena menyanyi, lalu semuanya menjadi rekat kembali seperti saat ini, karena fildan?".

Apalagi menyoal fildan yang suaranya begitu enak didengar, kalau kata salah satu budayawan buton suara fildan kayak ada "rengku-rengkunya".  Disaat anak-anak muda sudah tidak begitu akrab dengan budaya buton, fildan hadir dan seringkali menyebutkan "kabarakatina tanah wolio". Bukannya apa-apa, kata ini menjadi begitu tenar di kalangan anak muda, lalu sedikit demi sedikit pengakuan saya orang buton dan saya mendukung fildan begitu riuh. Ini karena fildan.

Belum lagi, fildan hari ini bukan saja milik baubau. Tahukan? Ketika menonton fildan di tv saat konser, hampir semua daerah di kepulauan buton, sulawesi tenggara, maluku, papua bahkan wilayah-wilayah dimana diaspora orang buton berada kita bisa temui pada spanduk atau kertas yang dituliskan lalu diangkat tinggi-tinggi agar kelihatan atau masuk tivi. Baubau dan buton pada umumnya jadi begitu terkenal secepat frekuensi tivi masuk ke rumah-rumah masyarakat, bahkan ini jauh mengalahkan promosi yang dilakukan pemda. Ini karena filda, lho!.

Saya begitu benci fildan, bagaimana mungkin kamu melakukan sesuatu tanpa sadar namun memiliki efek yang begitu besar, ketimbang sesuatu yang dilakukan pemerintah dengan sadar dan direncanakan?, ini karena kamu fildan.

Tidak sampai disitu saja, saat saya mengajar kelas-kelas saya yang bertepatan dengan waktu konsernya fildan. Mahasiswa menjadi begitu terampil bernegosiasi, padahal tidak ada mata kuliah negosiasi. Ditambah lagi, saya harus mengambil keputusan berat layaknya memutuskan memilih jodoh, yakni mendengatkan suaramu menyanyi live atau akhirnya jadi panas dingin penasaran karena tidak sempat mendegarkan nyanyian fildan di tivi live!.

Disamping itu karena fildan, kuliah menjadi lebih hidup ketika saya mampu mengsalingkaitkan materi dengan fildan effect secara sosial. Belum lagi, memori disk yang saya miliki harus habis sebagian karena mengoleksi video fildan yang saya donwload dari youtube.

Saya begitu membenci fildan, bagaimana mungkin hanya karena nyanyian fildan saya harus meluangkan waktu nonton DA (padahal saya tidak suka acara itu), lalu menghabiskan space disk saya untuk video-video nyanyianmu?, ini karena fildan!.

Belum lagi soal, jalan yang macet karena nobar rasa nonton konser di baubau, lalu yang dulunya orang-orang lebih suka menghabiskan waktu keliling baubau tanpa tujuan, dan kini mereka memilih untuk duduk menonton konser dan berbincang banyak hal tentangmu, fildan. Bahkan, dengar-dengar harga ikan ikut mahal karena nelayan memilih nonton bareng ketimbang melaut. Beberapa penjual rela jualannya ditinggal beberapa saat ketika giliranmu menyanyi tiba, lalu mereka rela begadang menungguimu selesai dikomentari.

Saya membenci fildan, karena kondisi sosial kita yang dahulu begitu guyub lalu memudar karena perkembangan jaman, lalu kini dihidupkan kembali oleh karena rasa kebersamaan dan kebanggaan pada sosok fildan.

Ah...sudah dulu, tak pernah habis kata dapat disusun untuk menjelaskan kenapa harus benci pada fildan. Masih banyak hal lain, hanya saja playlist lagu fildan "hanya satu nama, tum hi ho dan air mata cinta" yang menemani saya menuliskan ini telah berhenti, tulisan ini saya akhiri dan playlist lagu fildan saya putar ulang.

Silahkan ikut membenci fildan, setidaknya itu cara kita untuk terus mengingatnya, kemudian membanggakannya.

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...