Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2011

Mencari Pemimpin Tranformatif

Setidaknya semenjak pergantian kepemimpinan nasional yang dinilai cenderung otoriter ke model kepemimpinan yang ditujukan dalam kerangka ideal dengan pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum yang mana masyarakat bisa secara langsung memilih pemimpin idamannya atau yang dipercayainya secara langsung tidak melalui mekanisme yang terjadi di MPR/DPR seperti dulu lagi. Hal inilah yang kemudian membawa implikasi begi negeri ini untuk disebut sebagai Negara demokratis dengan sejumlah perkiraan numeric yang menyertainya, tapi secara substansial masih menuai banyak pertanyaan. Bilamana hal ini dilihat dari berbagai persoalan yang masih mengikuti atau tergambar dari program yang dilakukan pemerintah masih menjadi salah satu persoalan kebingungan masyarakat. Ini bisa dilihat dari adanya penilaian kurang birokrasi, sulitnya memahi arah program pemerintah, masih adanya polemic kedaerahan yang menjurus kearah disintegrasi bangsa, masalah korupsi, timbulnya politik dinasti didaerah, dewan yang lebi

Membangun Netralitas Birokrasi

Pekerjaan rumah yang selama ini masih terus dijalani semenjak kejatuhan kekuasaan yang otoriter atau kita kenal dengan istilah orde baru masih menyisakan sebuah lingkaran yang masih terus terjadi. Salah satunya adalah masalah birokrasi kita yang merupakan salah satu agenda reformasi yang di tujukan pada waktu itu. Dengan bercermin pada masa orde baru dengan pola regulasi birokrasi yang terjadi cenderung menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya maupun hegemoni politik hingga kedaerah dan diisi oleh militer untuk pos-pos kekuasaan yang ada dengan dalih menjaga stabilitas. Birokrasi kemudian terpinggirkan dari maknanya, dimana birokrasi kemudian menjadi alat pemerintah (eksekutif) sehingga apa yang menjadi pekerjaan birokrasi hanya seputar menjalankan tanggung jawabnya kepada pemerintah dengan mengesampingkan tugas pokoknya yaitu sebagai pelayan masyarakat sehingga hal ini melanggengkan sebuah budaya “asal bapak senang (ABS)” yang semakin menjadi paradok pembangunan pada wak