Langsung ke konten utama

Membangun Netralitas Birokrasi


Pekerjaan rumah yang selama ini masih terus dijalani semenjak kejatuhan kekuasaan yang otoriter atau kita kenal dengan istilah orde baru masih menyisakan sebuah lingkaran yang masih terus terjadi. Salah satunya adalah masalah birokrasi kita yang merupakan salah satu agenda reformasi yang di tujukan pada waktu itu. Dengan bercermin pada masa orde baru dengan pola regulasi birokrasi yang terjadi cenderung menjadi alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya maupun hegemoni politik hingga kedaerah dan diisi oleh militer untuk pos-pos kekuasaan yang ada dengan dalih menjaga stabilitas.
Birokrasi kemudian terpinggirkan dari maknanya, dimana birokrasi kemudian menjadi alat pemerintah (eksekutif) sehingga apa yang menjadi pekerjaan birokrasi hanya seputar menjalankan tanggung jawabnya kepada pemerintah dengan mengesampingkan tugas pokoknya yaitu sebagai pelayan masyarakat sehingga hal ini melanggengkan sebuah budaya “asal bapak senang (ABS)” yang semakin menjadi paradok pembangunan pada waktu itu.
Sejak berguirnya reformasi yang di tempuh melalui jalur perjuangan mahasiswa pada era 98 menjadikan kredo birokrasi yang menjadi alat penguasa tersebut sebagai salah satu komoditi yang ingin dirubah. Namun yang terjadi hingga kini malah sisa-sisa polemic tentang birokrasi tersebut masih ada bahkan ketika upaya reformasi birokrasi yang sering kita dengar yang merupakan turunan dari upaya good governance dan reinventing government ketika ideologi globalisasi mulai di mencoba menjelmakan dirinya sebagai suatu tatanan ideal bagi dunia ketiga termasuk Indonesia (Fakih:2008).
Globalisasi sendiri yang lahir dari teori pembangunan (developmentaisme) kemudian masih menyisakan beberapa persoalan yang mengelilinginya. Berdasar dari pemikiran bahwa masyarakatlah yang perlu dirubah dalam pembangunan yang kemudian mengesampingkan persoalan yang berasal dari struktur maupun system yang ada, padahal untuk melihat hal ini mesti dari factor ekternal dan internal sendiri, Maka muncullah persoalan seperti adanya kesenjangan gender, masalah masyarakat marjinal, dan beberapa persoalan masyarakat akar rumput lainnya.
Kembai kepada masalah birokrasi yang masih menjadi persoalan lanjutan dari republic dan kemudian dinilai masih jauh dari membangun kesetaraan dalam ruang public dan partisipasi masyarakat di dalamnya. Kita cenderung terbatasi dalam penyamarataan birokrasi sebagai badan atau organisasi yang dijalankan oleh pejabat. Dikotomi antara birokrasi pemerintah dan birokrasi administrasi menjadi kabur dengan perjalanan sejarah yang kemudian cenderung menyamaratakan keduanya (Hasan:2003).
Padahal keduanya berbeda dari segi untuk siapa mereka bekerja dimana birokrasi pemerintahan bekerja untuk melayani pemerintah dan bertanggung jawab kepada pemerintah pula sedangkan birokrasi administrasi lebih kepada alat Negara yang bekerja untuk rakyat. Namun dalam tulisan ini kemudian kita akan melihat sebuah formulasi yang penulis coba susun dari beberapa literature dan pengalaman diskusi atas polemic dalam birokrasi administrasi yang notabene lebih menonjol dalam upaya refomasi birokrasi kita.
Netralitas Birokrasi
Birokrasi hari ini kemudian hanya menjadi sebuah alat bagi para pejabat, birokrat dan segelintir orang yang memiliki kuasa ketimbang sebagai pelayan masyarakat dalam sisinya yang lebih bersifat populis dan ruang diskursif yang setara bagi rakyat. Hal ini kemudian yang tercermin dalam perilaku koruptif, birokrasi yang mengikuti kebijakan politik pemerintah (Kepala daerah), pelayanan yang lambat, pelayanan biaya tinggi ( high cost service), kurang inisiatif, hingga timbulnya alokasi anggaran yang tidak berpihak kepada kepentingan public.
Sehingga pola-pola ketidakberpihakan birokrasi ini kepada masyarakat yang semestinya menjadi tanggungjawab birokrasi itu sendiri. Hal ini kemudian terjadi dikarenakan adanya kebiasaan para aparatusnya yang kemudian menjadi kewajaran yang terjadi di dalam birokrasi. Jadi jangan heran ketika kita diperhadapkan adanya pelayanan yang lambat dan adanya pungutan disana sini tanpa adanya informasi yang jelas kepada masyarakat tentang hal itu. Ini yang kemudian menjadi pointer utama dalam upaya menjalankan reformasi birokrasi secara substansial bukan hanya melalui retorika politis para kandidat ketika ingin menarik simpatik para konstituennya di daerah.
Reformasi birokrasi yang kemudian ingin dijalankan sebagai upaya perbaikan pelayanan, hanya akan menjadi retorika ataupun bahan perdebatan dalam seminar-seminar ketika tidak diimbangi dengan menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat (civil society) sebagai pihak yang menjadi tujuan adanya birokrasi administrative. Dengan upaya tersebut kemudian aparatus birokrasi administrative dan masyarakat akan memiliki perimbangan posisi dalam system birokrasi yang berjalan sehingga hal ini kemudian dinilai mampu untuk memberikan sumbangsih positif dalam mensukseskan reformasi birokrasi. Hal menurut penulis dapat ditempuh dengan tiga dimensi pembangunan kultural.
Pertama, menjadikan birokrasi sebagai organisasi populis dimana kewenangan aparat dalam birokrasi adalah ditujukan bagi kelangsungan pelayanan kepada masyarakat. Namun hal ini tidak dapat mentolerir adanya pembedaan masyarakat dari sisi politik, ekonomi ataupun status social di masyarakat apalagi mengenai birokrasi primordial.
Kedua, Birokrasi sebagai ruang komunikasi dan diskusi masyarakat secara seimbang. Sehingga kemudian masyarakat dan birokrasi dapat membangun sebuah pola yang lebih komunikatif dan birokrasi dapat mengambil pelajaran berharga dari proses-proses yang dijalaninya bersama masyarakat guna mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan berbagai lapisan masyarakat. Dalam hal ini kemudian masyarakat dijadikan subjek material dalam memandang proses pelayanan.
Ketiga, menjadikan birokrasi sebagai diskursus demokrasi. Dimana hal ini merupakan titik kumulasi dari pembangunan kultur dalam birokrasi sebelumnya. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat sejajar dalam posisinya terhadap aparat birokrasi atau partner birokrasi dalam menciptakan iklim demokratisasi. Dengan membangun ruang-ruang yang setara di dalam prakteknya kemudian terjalin sebuah rekanan/ partner yang baik antara birokrasi dan masyarakat, kemudian hal inilah yang diharapkan dari salah satu upaya menjalankan reformasi birokrasi.
Tiga hal tersebut diatas sebagai upaya membangun budaya dalam birokrasi yang baik guna menciptakan sebuah birokrasi yang netral dan kemudian mampu menjawab tantangan jaman serta dinamisasi kepentingan masyarakat (civil society). Namun semuanya mesti dibangun dalam sebuah ruang keinginan bersama para aparat birokrasi demi sebuah moralitas dalam menjalankan tugas yang dijalaninya. Sudah selayaknya birokrasi yang menjadi pembebasan (liberasi) bagi masyarakat yang termarjinalkan oleh struktur politik yang timpang, ketimbang usaha-usaha yang lebih membawa kearah liberalisasi birokrasi dimana kemudian lebih mengarah kepada kepentingan individu atau kelompok ketimbang kepentingan masyarakat yang lebih setara dan berkeadil. Kesemuanya ini kemudian ditunjukkan dengan keinginan kuat dari pemimpin dari pusat hingga ke daerah-daerah.

Andy Arya Maulana W
Kamis Malam, 16 Desember 2010
11.30 WITA

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.