Setidaknya semenjak pergantian kepemimpinan nasional yang dinilai cenderung otoriter ke model kepemimpinan yang ditujukan dalam kerangka ideal dengan pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum yang mana masyarakat bisa secara langsung memilih pemimpin idamannya atau yang dipercayainya secara langsung tidak melalui mekanisme yang terjadi di MPR/DPR seperti dulu lagi.
Hal inilah yang kemudian membawa implikasi begi negeri ini untuk disebut sebagai Negara demokratis dengan sejumlah perkiraan numeric yang menyertainya, tapi secara substansial masih menuai banyak pertanyaan. Bilamana hal ini dilihat dari berbagai persoalan yang masih mengikuti atau tergambar dari program yang dilakukan pemerintah masih menjadi salah satu persoalan kebingungan masyarakat. Ini bisa dilihat dari adanya penilaian kurang birokrasi, sulitnya memahi arah program pemerintah, masih adanya polemic kedaerahan yang menjurus kearah disintegrasi bangsa, masalah korupsi, timbulnya politik dinasti didaerah, dewan yang lebih banyak plesiran ketimbang menjalankan fungsi pokoknya, konflik komunal di masyarakat, masalah pemerkaran daerah yang lebih menjurus kearah politis para pencari kuasa di daerah, hingga masalah ketidak tegasan posisi pemerintah dalam keputusannya. Dan tentunya masih ada beberapa hal lagi yang secara etis pastinya tidak sejalan dengan keinginan pembentukan bangsa ini.
Ketika kita mencoba untuk melihat persoalan tersebut tentunya hal ini dikaitkan dengan posisi kepemimpinan nasional yang dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Dengan system presidensial yang dilakukan di negeri ini menjadikan presiden sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan dengan pembagian kekuasaan melalui kekuasaan trias politika (eksekutif, legislative dan yudikatif). Walaupun demikian persoalan ketika dimulainya era reformasi hingga hari ini masih seputar abuse of power dan wacana korupsi, kolusi dan nepotisme disamping tuntutan pelayanan yang lebih memihak kepada masyarakat banyak.
Dalam pandangan ahli sosiologi Dr.Kastorius Sinaga, pola hubungan kekuasaan di Indonesia tidak didasarkan pada pola hukum yang jelas. "Bagi orang Indonesia, kekuasaan merupakan privilege atau anugerah yang datang dari Tuhan ketimbang amanat dari rakyat. Dengan implikasi seperti itu menjadikan pemerintah sebagai hal yang terpisah dengan masyarakat atau terkadang pemerintah berbalik menjadi “tuan” bagi rakyatnya. Padahal dalam sebuah mekanisme yang ideal pemerintah digunakan sebagai jalur pelaksanaan amanat rakyat dan pemimpinnya sebagai pemegang amanat tertinggi sebagai pelayan masyarakat, namun hari ini konsep ideal ini saling bertolak belakang dengan wacana kontekstualnya.
Peran sentral pemimpin baik nasional mapun didaerah menjadi sebuah wacana yang diharapkan bisa menjadikan proses demokratisasi ini berjalan. Dengan kekuasaan yang dimilikinya kemudian seorang pemimpin mampu menjadi motor penggerak dari proses penyelenggaraan pemerintahan yang lebih populis bukannya politis yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Walaupun dalam studi yang dilakukan Sukmayati (Schiller :2003) pemimpin yang berasal dari partai poltiknya sebenarnya tidak menjadi wakil rakyat dan tidak juga menjadi wakil partai politik nasional, melainkan menjadi wakil untuk dirinya sendiri.
Merujuk pada persoalan bangsa yang masih terus melilit ini sangat membutuhkan kultur kepemimpinan yang kuat dan tegas. Sudah selayaknya kita mengharapkan model kepemimpinan tranformatif dimana kekuasaan yang membentuk pemimpin bukanya pemimpin yang membentuk kekuasaan. Seperti yang dikemukakan oleh kartini kartono (1994:140) menjelaskan sumber kekuasaan seorang pemimpin di perolehnya yaitu: pertama,Kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain Sifat dan sikapnya yang unggul, sehingga mempunyai kewibawaan terhadap pengikutnya; Kedua, Memiliki informasi, pengetahuan, dan pengalaman yang luas; Ketiga, Memiliki kemahiran human relation yang baik, kepandaian bergaul dan berkomunikasi.
Pemimpin Tranformatif
Pemimpin selalu lahir sesuai dengan zaamanya atau dengan kata lain setiap zaman akan melahirkan pemimpinnya. Tingkat kemajuan suatu bansa atau daerah akan tercipta ketika pemimpin dan zamannya fit (comfortable), dalam arti sang pemimpin mampu membawa bangsa atau daerahnya keluar dari belenggu rutinitas dan persoalan yang senantiasa menjebak dari waktu kewaktu. Namun menjadi pertanyaan kita apakah kondisi pemimpin yang fit tersebut belum mampu ditemukan dalam kepemimpinan bangsa ini?
Gambaran mengenai kapasitas kepemimpinan ini mulai dari pusat sampai di daeah dapat dilihat dari sebuah proses demokratisasi yang kita jalani. Sebuah proses demokratisasi yang “terbeli” malah akan melahirkan sosok pemimpin yang akan bisa “dibeli” pula. Salah satu teori yang cukup komprehensif untuk melihat fenomena ini adalah teori kepemimpinan tranformatif dan transaksional (Bass: 1990). Namun pada keduanya kepemimpinan tranformatiflah yang dinilai baik terutama dalam membangun komunikasi yang baik dalam ruang diskursif yang setara.
Dalam tulisan ini kemudian kita akan mencari sebuah gaya kepemimpinan pada pemimpin politik dalam arti luas hingga ke daerah. Menurut pengertian idealnya yang paling dekat dengan keberadaan kepemimpinan politik dikemukakan oleh Sarros dan Butchasky (1996), bahwa kepemimpinan tranformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin sehingga pemimpin kita lebih berkerakyatan dan berkeadilan social. Hal ini kemudian selaras dengan model yang diinginkan terhadap persoalan yang dijelaskan sebelumnya.
Untuk kemudian kita mampu untuk menemukan seperti apa sebuah gaya kepemimpinan tranformatif tersebut, mensyaratkan memiliki karakteristik yakni Pertama: pemberian wawasan dan menumbuhkan kepercayaan kepada bawahannya (Idealized Influence-charisma), Kedua: adanya proses menumbuhkan ekspektasi yang tinggi (Inspirational Motivation), Ketiga: Adanya usaha meningkatkan intelegensia dan pemecahan masalah (Intelectual Simulation) dan Keempat: memberikan perhatian, membina bawahannya secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration).
Namun ketika kita benturkan dengan kondisi seperti sekarang, terhadap model kepemimpinan yang ada di negeri ini dari pusat hingga ke daerah masih memungkinkan adanya indikasi belum ada. Secara tegas bahwa terkadang pemimpin masih dianggap sebuah jabatan yang mengiginkan ekpektasi yang berlebihan sehinga untuk membangun nuasa dialog yang setara dengan bawahanya apalagi dengan posisi yang rendah masih sangat kaku dan cenderung timpang. Yang ada kemudian birokrasi administrasi yang semestinya sebagai pelayan amanat rakyat lebih menjadi alat pemerintah (Pemimpin) dalam menjalankan urusan urusannya. Kondisi yang mengindikasian adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) akan semakin besar bukan tidak mungkin kemudian jurang akan semakin dalam menganga antara rakyat dan pemerintah.
Perilaku kepemimpinan seperti yang dijelaskan diatas bukan tidak mungkin dapat di temukan di kepemimpinan nasional bangsa ini tanpa adanya ketimpangan di dalamnya. Namun tentunya hal ini perlu disesuaikan denga kondisi bangsa ini yang multicultural beserta dinamika di dalamnya. Kepemimpinan politik tranformasional menjadi perbincangan menarik ketika melihat realitas politik yang carut marut dewasa ini di negeri. Walaupun memang teori ini berasal bukan dari kondisi mutikultural dan demografi bangsa ini bukan berarti kemudian hal ini menjadi komposisi teoritik semata.
Namun disisi lain memang kita mesti menghormati kondisi yang terjadi di bangsa ini sebagai sebuah pijakan untuk bersama memajukan negeri ini. Dengan lebih memahami model kepemimpinan tranformasional tidak menutup kemungkinan kemudian adanya pemimpin tranformasional yang kemudian menjadikan bangsa ini keluar dari masalah-masalahnya yang kemudian dapat mengayomi bangsanya untuk kemudian bangkit menghadapi tantangan zaman dan bekiprah dalam pergaulan yang demokratis, santun dan bermartabat.
Andy Arya Maulana W
20-12-10, 12.55 WITA
Komentar