Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2014

Selalu ada Kenangan di Jogja

Jalan Malioboro coyy... Pagi itu sekitar pukul 6.00 saya bergegas untuk mandi, hari ini ada janjian saya bersama beberapa teman untuk maen ke jogja. Kita rencananya akan menumpang kereta pagi jam 7.00, karenanya kita mesti sudah berada di stasiun sebelum waktu keberangkatan kereta. Bagi perjalanan menggunakan kereta api, sangat berbeda dengan apa yang sering saya alami dengan menggunakan kapal laut. Kapal laut bisa sangat fleksibel dalam pola waktunya. Memang, kami akhirnya tiba tepat waktu sampai ke stasiun namun apa mau dikata ketika mbak yang menjaga loket tiket bilang kalau tiket kereta solo-jogja jam 7 sudah habis. Jadwal selanjutnya yang terdekat adalah jam 8. Apa mau dikata? Ketergesaan tadi tidak menjadikan kita akan mendapatkan jadwal lebih cepat. Tergesa-gesa memang tidak baik.

Ekspresi Masalah

Seorang bijak berpesan cara terbaik untuk menjadi bodoh itu bukan berhenti belajar, namun berhenti memahami. Banyak hal yang kemudian kita pahami sebagai bentuk penerimaan kita terhadap realitas yang sebelumnya telah ada, lalu kemudian logika memproduksinya menjadi sesuatu yang akan kita tiru sebagai sebuah proses belajar. kita kemudian terlepas pada apa yang mesti dilakukan semesntinya yaitu memahami, kita terlalu cepat mengambil kesimpulan-kesimpulan dan sulit menangkap pemahaman terhadap kejadian. Tidak berlebihan kemudian jika lebih banyak prasangka, dugaan, bahwa optimisme hadir ditengah-tengah pilihan yang akan kita lakukan. Ketika apa yang dilakukan berada diluar dari harapan, kesenjangan antara rencana dan kejadiannya, atau ketidaksesuaian ide dan realitas. Biasanya ketika kita tidk mampu memahami makna dibalik itu, kecewa, putus asa, depresi menjadi keniscayaan. Pada gilirannya, kita lebih mudah mengelak dari masalah daripada menghadapinya. Padahal kita tahu sebuah pendew

Ketika Matrealisme Mengikat Kita

Setiap hal disekitar kita mesti memiliki nilai memang benar, namun tidak mesti setiap hal dapat dinilai bukan?. Saya menuliskan ini bukan bermaksud ingin menjelaskan tentang matrealisme yang menjadi logika kapitalisme liberalisme itu. Namun saya hanya merasa ada sesuatu yang seringkali ditempatkan tidak pada tempatnya, atau mungkin malah ada sesuatu yang bermetamorfosis dan kita tidak menyadari sifat destruktifnya. Artinya matrealisme bermetamorfosis menjadi sesuatu yang wajar di sekitar kita, kalau Bordieu bilang sebagai habitus. Kenapa? Begini alasannya, di sekolah untuk menilai seorang siswa itu pintar dia harus memiliki nilai yang bagus disemua mata pelajaran, didalam kebijakan publik dikatan efektif jika telah memenuhi beberapa indikator penilaian yang dibuat oleh si pembuat kebijakan sendiri, untuk menjadi profesor harus memiliki tumpukan karya ilmiah, untuk dikatakan penyair seseorang harus banyak membuat syair, untuk dikatakan dermawan seseorang harus menyumbang banyak dan