Setiap hal disekitar
kita mesti memiliki nilai memang benar, namun tidak mesti setiap hal dapat
dinilai bukan?. Saya menuliskan ini bukan bermaksud ingin menjelaskan tentang
matrealisme yang menjadi logika kapitalisme liberalisme itu. Namun saya hanya
merasa ada sesuatu yang seringkali ditempatkan tidak pada tempatnya, atau
mungkin malah ada sesuatu yang bermetamorfosis dan kita tidak menyadari sifat
destruktifnya. Artinya matrealisme bermetamorfosis menjadi sesuatu yang wajar
di sekitar kita, kalau Bordieu bilang sebagai habitus.
Kenapa? Begini
alasannya, di sekolah untuk menilai seorang siswa itu pintar dia harus memiliki
nilai yang bagus disemua mata pelajaran, didalam kebijakan publik dikatan
efektif jika telah memenuhi beberapa indikator penilaian yang dibuat oleh si
pembuat kebijakan sendiri, untuk menjadi profesor harus memiliki tumpukan karya
ilmiah, untuk dikatakan
penyair seseorang harus banyak membuat syair, untuk dikatakan dermawan
seseorang harus menyumbang banyak dana ke lembaga sosial.
Maksudnya apa? Kita
terlepas dari apa yang kita ingin menjadi. Ingin menjadi siswa pintar kita
harus bisa mendapat nilai bagus dari semua mata pelajara. Kita dipaksa harus
mengetahui semua mata pelajaran, padahal dari semua pelajaran itu hanya ada
satu atau dua pelajaran saja yang menjadi passion kita dimasa depan. Menjadi
pintar bukan lagi persoalan kualitas namun kuantitas, bisa jadi ada anak yang
hanya pintar melukis dan kurang disemua pelajaran akan menjadi seorang maestro
lukis masa depan, namun karena kuantitas yang dilihat maka si anak akan
dibilang anak yang bodoh.
Kalian sepakat sampai
disini? Saya kasih contoh bagaiman thomas alfa edison yang dikatakan anak bodoh
dikelasnya karena tidak bisa menjawab beberapa pelajaran. Tapi si alfa edison
ini tidak bodoh seperti yang dikira, karena disisi lain dari kecerdasan dia
tertutupi oleh anggapan umum tentang makna cerdas itu apa. Coba saja kalau
akhirnya si alfa edison ini pada akhirnya menyerah karean dibilangi bodoh oleh
gurunya, apa kita punya lampu pijar dirumah sekarang?.
Nah, sampai disini saya
ingin menyampaikan bahwa kecerdasan itu menganut banyak hal tapi tidak menyatu.
Artinya apa, orang yang pintar semua hal otomatis dia cerdas namun seseorang
yang tahu satu hal dan fokus itu juga cerdas. Menurut saya tidak ada orang bisa
paham segala sesuatu dalam satu hal, bahkan seorang profesor pun hanya memiliki
profesionalitas pada satu hal sehingga dia disebut sebagai profesor.
Lalu kenapa, anak-anak
sekolah dinegeri ini “dipaksa” untuk paham semua hal dalam satu waktu? Dalam
beberapa jam ujian nasional mereka dipaksa bahwa mereka harus tahu semua hal
itu untuk bisa dikatakan lulus? Sesuatu yang membingungkan memang, karena bahkan
gurunya sekalipun mungkin tidak mampu untuk mengerjakan itu.
Memang logika
pendidikan kita bisa dibilang menurut hitung-hitungan matrealistik, bukan
kualitas pemahaman pada satu hal sehingga itu fokus. Dalam pendidikan dasar,
seorang anak harus dituntut memahami semua pelajaran dan mendapat nilai bagus
untuk dibilang pintar dan bisa melanjutkan jenjang selanjutnya. Padahal ketika
di perguruan tinggi, kita diminta untuk memilih salah satu jurusan saja.
Praktis, apa yang selama ini dipelajari hanya jadi uap di dalam kepala saja.
Padahal semestinya kalau dari dasar sudah di fokuskan, bayangkan bisa jadi apa
generasi kita. Sejak kecil dia suka melukis dan didukung hingga dia besar,
apalagi yang bisa dibilang ketika pengalaman yang mengukir dia? Maestro? Bisa jadi.
Ini bukan bermaksud
mengomentari keadaan pendidikan, hanya mengambil sebuah contoh. Dan sekarang
cobalah liat sekitar kita, kebijakan publik, pelayanan publik, atau apapu itu.
Bagaiman itu dikatakan menjadi responsif kalau bukan melalui hitung-hitungan?
Segala sesuatu mulai terlepas pada esensi publiknya, yakni pada sisi perasaan
manusianya. Karena adil menurut kita belum tentu adil menurut orang lain, satu
bagi dia mungkin akan manfaat namun satu untuk yang lain bisa menjadi sesuatu
yang dapat membunuhnya.
Jalan tengahnya,
mulailah dari sebuah citas rasa manusiawi. Jika memang itu upaya menilai
sesuatu, jangan melalui satu sisi saja tapi keduanya. Agar tidak ada yang
mendominasi dan didominasi. Kalau dalam kebijakan publik, ketika kebijakan
dirasa tidak efektif biasa jadi bukan karena salah pemerintah (kekuasaan) saja,
namun karena didukung juga oleh apatisme masyarakat.
Silahkan...
Komentar