Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras.
Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi.
Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, yakni domba si dahlan. Dimana Dahlan memiliki peliharaan domba yang merupakan domba milik keluarganya dan dahlan lah yang memeliharanya (istilahnya nitip) dengan sistem bagi dua, yakni jika ada dua anak domba yang lahir maka si pemilik domba mendapat satu dan si pemelihara dapat satu.
Tapi, di Baubau tempat saya tinggal dan menghabiskan masa kecil disana peliharaan domba tidak terlalu populer, namun Kambing (sejenis juga sih dengan domba) lebih banyak dipelihara disana. Nah, cerita dalam novel itu kemudian mengingatkan saya dengan kambing-kambing yang pernah saya pelihara dahulu. Banyak kenangan yang saya bisa dapat ketika bersama kambing, setidaknya ada beberapa pelajaran hidup yang positif walaupun itu berasal dari kambing, bukankan Dunia diciptakan untuk umat manusia belajar didalamnya?.
Awalnya sebelum tinggal bersama orang tua, saya tinggal di rumah kakek dan nenek (saya memanggil mereka dengan sebutan Aba dan Ata, semoga Allah swt senantiasa memberi kesehatan dan rejeki kepada mereka.) di Asrama polisi polres baubau. Karena aba adalah seorang purnawirawan polisi berpangkat Serma.
Saya tinggal bersama beliau mulai TK hingga tamat SD, disana saya suka beternak ayam hingga waktu itu saya memiliki mungkin sampai puluhan ekor ayam mulai dari ayam kampung hingga ayam bangkok. Setelah tamat SD dan melanjutkan SMP saya memutuskan untuk kembali tinggal dengan orang tua saya, karena pada saat itu mereka mengatakan habis membeli 3 ekor kambing. Akhirnya saya tertarik untuk tinggal dengan orang tua karena akan ada peliharaan baru, yakni kambing.
Tiga ekor kambing yang dibeli itu semuanya adalah betina satu yang paling dewasa dan dua lainnya merupakan anak tapi sudah cukup besar juga, dengan pertimbangan bahwa kambing jantan tetangga banyak yang berkeliaran jadi untuk masalah perkembang biakan gampang nantinya. Saat itu saya masih kelas 1 SMP, memelihara kambing merupakan aktivitas yang baru bagi saya walaupun memelihara ayam tetap saya lakukan karena itu sudah hobi sejak kecil.
Awalnya setiap pagi dengan semangat sebelum berangkat ke sekolah saya membawa kambing-kambing itu ke padang rumput dekat rumah dan sore harinya dijemput untuk dipulangkan ke kandangnya lagi. Walaupun terkadang saya terseret dan jatuh oleh tarikan 3 ekor kambing, karena saya berbadan masih cukup kecil waktu itu. Tapi kesenangan memelihara kambing menghilangkan keluhan tentang itu, kadang setiap sore sebelum memulangkan kambing kekandang, saya melepas kambing-kambing tersebut sambil mengamatinya memakan rumput saya menyebutnya “kesenangan yang lain”.
Pada mulanya pemeliharaan kambing ini berjalan baik, namun tentunya tetap saja ada beberapa kendala yaitu penyakit. Saat itu ketiga ekor kambing saya di “vonis” memiliki sakit kurap, jadi bulu-bulunya banyak rontok dan sering gatal-gatal. Kata tetangga yang pernah memilihara kambing, hal ini bisa menyebabkan kematian pada kambing. Tapi, untuk mengobatinya menggunakan apa? kami tidak tahu.
Akhirnya ada yang menyarankan untuk memberikan oli kesekujur tubuh kambing. Awalnya proses ini berjalan baik, bulunya kembali bagus dengan berkurangnya kurap tadi. Namun kembali muncul penyakit lainnya yakni ada luka dikaki salah satu kambing saya, diantara kuku kakinya ada luka yang lama-lama semakin besar dan membuat kambing itu pincang dalam berjalan hingga akhirnya saya harus melihatnya mati. Sedih memang melihatnya mati apalagi kambing itu sudah cukup besar.
Sekarang tinggal dua ekor kambing saya, penyakit kurap yang diidapnya hilang sama sekali dengan bantuan oli kotor tadi. Saya dan almarhum bapak berencana untuk mengawinkan induk kambing saya dengan kambing tetangga kenalan bapak, agar ada anak kambing baru untuk menggantikan yang telah mati itu.
Tapi apa mau dikata, sebelum kita tahu bahwa induk kambing tadi hamil dan akan melahirkan anak. Kambing yang satunya mati mendadak, katanya sih karena memakan semacam ulat yang membuatnya keracunan indikasinya yakni kotorannya yang mencret, karena seharusnya kan kotoran kambing menggumpal kecil-kecil sebesar biji lengkeng. Nah, saat itu yang tertinggal cuman seekor yakni indukannya.
Dengan begitu kemudian, kambing ini menjadi perhatian khusus bagi saya. Banyak hal yang saya tanyakan ke orang-orang tentang kambing, penyakitnya bagaimana hingga merawat dan supaya cepat beranak saya tanya ke teman yang pernah memelihara kambing. Saking kambing ini menjadi istimewa, saya menamakan kambing ini dengan nama “wa siti”. Lambat laun, kondisi kambing ini berangsur normal, gemuk dengan warna bulu cokelat cerah dan divonis hamil.
Setelah beberapa bulan mengandung wa siti melahirkan dua ekor anak sepasang, warna hitam dengan totol putih di badannya. Saya malah sempat melihat proses kelahiran anaknya dengan teman-teman pada waktu itu, betapa senangnya akhirnya kambing saya kembali menjadi tiga ekor. Walaupun saya belum tahu apakah akan bertahan hingga menjadi besar anak kambing ini, masih trauma dengan kejadian yang lalu.
Memiliki dua ekor anak kambing yang lucu kembali memberi semangat untuk memilihara kambing, anak-anak kambing ini sering masuk kedalam rumah kalau malam, membuat repot rumah masuk meringsek hingga dapur untuk bermain-main dan tentunya, membuat repot indunya yang mengembik mencari anaknya.
Memang pada saat itu, kandang kambing berada disamping rumah malah bersebelahan dengan kamar saya, jadi saya bisa mengamati mereka kapan saja melalui kamar tapi yang menjadi kendala adalah aroma “semerbak” dari kandang yang masuk kedalam rumah apalagi kalau hujan. Jadi setiap pagi setelah mengeluarkan kambing dari kandang, kandangnya saya siram dengan cairan pel yang biasa dipakai dirumah sakit untuk mematikan kuman-kumannya. Praktis, setiap pagi sebelum ke sekolah kegiatan itu menjadi “rutinitas” saya.
Namun apa mau dikata, saat itu kambing saya ikat di padang rumput dekat rumah dan tentunya dekat pula dengan jalan raya. Seorang teman dengan nada panik memanggil saya sore itu, katanya anak kambing saya ditabrak oleh truk dan tentunya mati. Saya bergegas melihat anak kambing yang mana, ternyata anak kambing yang jantan yang tertabrak tersebut dan mati. Padahal pada saat itu kambing itu sudah cukup besar dan tanduknya pun sedikit sudah muncul dari batok kepalanya. Jadi sekarang tinggal dua ekor lagi kambing saya, induk dan anak betinanya.
Tentunya peristiwa ini menjadi pelajaran, mungkin “jiwa” anak kambing yang suka lari-larian yang membuatnya tertabrak truk di jalan raya. Jadi anak kambing yang satu saya ikat dengan tali yang agak kecil biar bisa lebih terkontrol. Saya tidak mau peristiwa yang sama terjadi dengan anak kambing yang ini.
Berinteraksi dengan kambing memang menyenangkan, kalau mereka lapar siap-siap saja pada saat mengeluarkannya dari kandang dengan keseimbangan badan kalau tidak kita akan terseret olehnya. Apalagi kalau sudah kepanasan waktu diikat di rumput, erangan mengembiknya akan memekakkan telinga.
Tapi yang lucu dari mereka adalah ketika saya memanggil mereka dengan “ssstt” pasti mereka paham dan akan datang kesaya, panggilan ini juga berlaku untuk larangan memakan bunga yang banyak dipelihara oleh mama, kalau sudah “ssstt” mereka langsung berhenti memakan, apalagi kalau pada saat saya mau memindahkan ikatan mereka derap langkah kaki dari kejauhan mereka dengar langsung saja mengembik sekencang-kencangnya seolah-olah memanggil saya. Penciuman mereka mungkin tajam dan mengenali saya dari aroma tubuh saya.
Banyak hal menarik yang saya jalani dengan kambing-kambing ini, hingga akhirnya induknya tadi kembali melahirkan dua anak jantan maka bertambahlah menjadi empat ekor kambing. Maka bapak membuatkan kandang di halaman depan ruman yang lebih besar untuk kambing-kambing ini. Dan tentunya rutinitas pagi sebelum berangkat kesekolah tidak ada lagi namun diganti dengan mencari daun nangka atau rumput untuk makan para kambing-kambing ini hingga siang sepulang sekolah, saya akan mengantar mereka ke padang rumput di Madrasah Aliyah depan rumah ataupun tanah kosong di sekitaran situ yang banyak rumputnya.
Saat memelihara kambing inipun, saya belajar mengenali dan mengklasifikasikan rumput yang mana suka dimakan oleh kambing dan tidak. Dan kebiasaan memanggil pun semakin mereka turuti, jadi kadang saya iseng melepas tali mereka biar makannya lebih kenyang dengan berjalan mencari rumput sendiri dan sore harinya saya memanggil dengan “ssstt” dan pastinya kambing ini akan berhamburan untuk pulang kekandangnya.
Seiring waktu berjalan, akhirnya anak kambing dari induk tadi tumbuh menjadi dua ekor kambing jantan yang besar. Dan tak pernh disangka, anak betina yang pertama dari indukan tersebut melahirkan pula dua ekor anak kambing betina warna putih. Padahal awalnya kita tidak tahu bahwa kambing ini sedang hamil, mungkin dia di “hamili” oleh kambing-kambing jantan yang banyak berkeliaran.
Tapi tetap saja, penyakit kambing akan terus ada dan waktu itu yang kena sakit adalah indukannya. Berbagai cara dilakukan, kata tetangga kambing ini kembung atau masuk angin penyakit yang lazim ditemui pada kambing yang makan daun yang masih basah karena embun (saya sebenarnya tidak percaya sih, tentunya kambing memilih mana rumput yang suka dan baik untuk dimakannya, saya lebih lama bersama kambing-kambing ini dan mengamati rumput mana yang biasa mereka makan).
Sampai akhirnya, saya harus melihat induk kambing ini mati dengan perut membuncit karena angin dan badan tegang. Padahal waktu itu di usahakan untuk dibawa ke mantri hewan dan disuntik, namun pulang dari “periksa” dan “disuntik” itu kambing tersebut malah tidak bisa berjalan. Semua kaki dan lehernya kaku, mau kami sembelih untuk dimakan namun tidak tega, kasian sudah lama dipelihara kemudian kami harus menyembelihnya. Paginya setelah disuntik kambing itu akhirnya mati dan saya menguburnya di depan ruman, dengan perasaan sedih. Kasian “wa siti”, akhirnya anak-anaknya menjadi yatim.
Saya memelihara kambing-kambing ini selama kurang lebih 6 tahun mulai dari kelas 1 SMP hingga kelas 3 SMA, dengan rutinitas yang sama tiap harinya “sebelum kesekolah adalah mengurus makan kambing”. Jadilah saya disebut sebagai penggembala kambing, sebutan yang tidak saya tolak karena toh saya sering menggembalakan kambing asal jangan disebut kambing saja hehehe.
Namun “peristiwa kematian” kambing masih juga berlanjut, yakni anak jantan kambing saya seekor mati secara misterius, gejalanya kambing ini mencret-mencret kemudian akhirnya lemas dan ditemukan mati kaku di dalam kandang.
Sebenarnya saat itu, sebelum kesekolah saya melihat kambing itu sudah terbaring lemas namun saya tidak mau bilang ke bapak. Saya akan sangat sedih melihat itu apalagi mengatakannya kepada bapak, saya tidak mau melihatnya mati.
Jadi saat itu saya pura-pura tidak tahu saja kalau kambing ini sudah cukup lemah dan bisa mati kapan saja, pada saat ditanya saya bilang kambing itu baik-baik saja dan saya kesekolah berusaha menghilangkan ketakutan atas kematian kambing lagi.
Namun, pada saat pulang kambing itu memang benar-benar telah mati mungkin satu jam setelah saya pergi sekolah dan bapak yang menemukannya mati dan langsung dikubur olehnya. Setidaknya saya tidak harus bertambah sedih karena kehilangan kambing satu ekor lagi dan melihatnya dikubur, untung bapak sudah menguburnya duluan.
Hingga akhirnya saya akan menghadapi ujian sekolah untuk kelas 3 SMA, dan akhirnya kambing-kambing itu dibawa ke kebun di batauga untuk di pelihara disana. Alasannya karena saya konsen dulu ke ujian, dan untuk menyerahkan ke bapak juga tidak mungkin saat itu bapak tengah sakit juga.
Maka kambing ini kami bawa ke batauga dengan mengendarai mobil bak terbuka, saya cuman bisa menenangkan mereka di belakang mobil agar tidak mengamuk dan melompat keluar dari mobil. Saat itu kambing tersisa 4 ekor, satu betina dewasa anak indukan yang pertama, satu jantan anak indukan yang kedua kalinya saudara yang mati tadi, dan dua anak betina dari induk betina dewasa dari indukan pertama.
Banyak hal memang yang bisa saya belajar sambil tentunya bermain dengan para kambing-kambing ini. Tentunya saya punya cerita tentang kambing dalam perjalanan hidup saya. Hingga akhirnya kambing-kambing ini habis semua ada yang mati dan ada yang sempat melahirkan anak bahkan sempat disembelih untuk korban.
Namun ketika pulang liburan kuliah di makasar setahun sekali itu, saya sama sekali tidak menemukan lagi sisa-sisa dari kembing saya dahulu yang saya pelihara selama kurang lebih 6 tahun itu. Kecuali anakan dari kambing yang lalu itupun cuman satu ekor dan akhirnya juga mati dikena penyakit kambing yang saat itu banyak dijumpai di batauga. Mungkin kambing lainnya ikut-ikutan sedih karena harus ditinggal oleh penggembalanya heheh. Setidaknya saat ini saya punya kenangan hidup dengan kambing, yang memberi banyak pelajaran, banyak kebiasaan dan sebuah panggilan “ssstt”.
_surakarta.27/09/2012_
Komentar