Langsung ke konten utama

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU




Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui.
**

Akhir-akhir ini kita begitu akrab dengan istilah Generasi Milenial atau generasi Y, istilah ini sebenarnya telah mulai dipopulerkan pada tahun 1990-an oleh dua sejarahwan Amerika, yakni William Strauss dan Neil Howe dalam buku mereka dan beberapa publikasinya. Teori tentang generasi milenial, sejatinya adalah klasifikasi batasan generasi menurut tahun kelahiran sebagai landasan asumsi untuk mempredikasi perilaku generasi tersebut. Generasi yang lahir dalam rentang tahun 1980-2000 kini adalah anak-anak muda yang berada pada kisaran umur 18 – 40 Tahun.

Kita tentu mengenal Tsamara Adisti, adalah politisi muda Indonesia yang sering muncul di televisi nasional. Hingga dalam beberapa dialog bersama politisi senior, ia cukup cakap dalam menganggit ide sebagai bagian dari generasi milenial Indonesia. Tsamara adalah wajah politik Indonesia masa depan. Begitupun generasi milenial lainnya, kerap kali mendapat perhatian khusus oleh karena berbagai kepentingannya dan perilakunya. Generasi ini juga memiliki pandangan politik, etos kerja, hubungan sosial, keramahan dengan teknologi, hingga keberpihakannya pada demokrasi.

Mencermati perilaku para milenialis ini memang menarik, layaknya secangkir kopi disaat tengah berusaha mencari ide. Saya mencoba mengkaji bagaimana karakteristik generasi ini pada sisi perilaku politiknya pada tingkat lokal. Sebanyak 90 angket saya sebar kepada 90 orang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Buton, dengan rentang usia generasi milenial. Harapannya, tentu hasilnya belum mampu menjadi representasi umum terhadap generasi milenial di Kota Baubau, hanya saja dari kasus ini kita memiliki gambaran, seperti apa respon para milenialis di kalangan mahasiswa ini terhadap politik lokal. 

Lalu seperti apakah respon sebagian generasi milenial ini?, mampukah mereka menentukan jalan politik di tengah-tengah dekatnya kita pada pergulatan politik lokal, sekaligus memepersiakan tahun politik di 2019 nanti?. Berikut laporannya.

Peserta dalam angket ini, adalah mahasiswa yang kemudian dikategorikan menurut rentang usia generasi milenial. Dimana sebanyak 72% adalah berusia pada rentang 18-22 Tahun, kemudian 16 % responden pada rentang usia 23-28 Tahun, lalu 9 % responden berusia 29-34 tahun dan 3 % responden berusia 35-40 Tahun. Kecenderungan persentase umur yang begitu muda, tentu akan berkorelasi dengan perilaku politik mereka.

Generasi milenial seperti dilansir oleh Eriksson Indonesia (2016), bahwa produk teknologi akan mengikuti gaya hidup mereka. Sedangkan, Republika (2017) merilis hasil surveinya yang menyatakan bahwa milenialis rata-rata mengalihkan perhatiannya dari berbagai gawai, seperti PC, Smartphone, tablet dan televisi 27 kali setiap jamnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi membuat generasi milenial ini sangat mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Saat ini, memang media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Terbukti hal ini juga terjadi bagi milenial Kota Baubau dalam kajian ini, bahwa Facebook menjadi media sosial paling banyak digunakan dengan 77 % responden, kemudian ada Whatsapp dengan 62 % responden, sedangkan Instagram dan BBM hanya dipergunakan 24 % dan 11 % responden.

Hanya saja, masifnya penggunaan media sosial tidak berkorelasi dengan sumber informasi yang mereka dapati mengenai fenomena pilkada dan pemilu di Kota Baubau. Sebanyak 67 % responden mengakui bahwa sumber pengetahuan mereka terhadap akan adanya pilkada dan pemilu adalah baliho yang banyak bertengger di sudut-sudut jalan Kota Baubau. Betapapun demikian, pengetahuan politik diperoleh melalui media sosial mereka diakui oleh 46 % responden, kemudian media cetak lokal hanya sebanyak 22 % responden. 

Fungsi media sosial memang tidak hanya sebagai saluran pertemanan, tetapi telah merangkap pula sebagai media edukasi, transaksi ekonomi bahkan bentuk ekspresi diri. Sekalipun teorinya berkata bahwa dalam pandangan politik milenials, akan cenderung kurang tertarik dengan model komunikasi politik konvensional yang searah. Sehingga komunikasi politik yang dinamis, dialogis, maupun kreatif menjadi hal yang bisa menarik perhatian generasi ini. 

Begitupun respon terhadap sumber ketertarikan responden terhadap calon pemimpin, menurut mereka informasi yang baik perihal visi, misi dan program kerja calon menjadi point penting untuk menentukan pilihannya. Dimana sebanyak 80 % responden mengakui hal tersebut, kemudian kreatifitas dalam penyampainnya dalam media baliho hanya diakui oleh 17 % responden. 

Disisi lain konteks issue sosial politik dan respon lingkungan mereka cukup memengaruhi pilihan politik mereka, hal ini teramati dalam ketetapan mereka dalam menentukan pilihan pemimpin yang sejatinya akan diselenggarakan pada bulan juni 2018 nanti. Dimana, 41 % responden mengakui masih cenderung ragu-ragu menentukan pilihan, lalu 32 % telah memantapkan hati memilih calon, dan hanya sekitar 28 % responden yang mengaku belum menetapkan criteria calon pemimpinnya.

Fenomena ini boleh jadi adalah respon generasi milenial terhadap apa yang ditawarkan oleh para calon hingga kini. Sebagai generasi milenial, memang kecenderungan untuk memiliki rujukan atau idola dalam hal tertentu yang dianggap mampu mewakili passion mereka bukanlah isapan jempol belaka. Generasi milenial Baubau, membutuhkan sesosok teladan dalam berperilaku secara sosial maupun politik.Untuk hal ini, tentu menjadi tugas bersama.

Dalam memberikan pendapat mengenai issue politik, generasi milenial ini cenderung mengedepankan rasionalitas. Dalam beberapa kasus pada ranah politik, pun mereka aktif menyuarakan sikap politik etis, memantau penyelenggaraan pemilu yang jurdil, bahkan sanggup menawarkan kepemimpinan alternatif sebagai perlawanan kepada elit politik yang kerap mempraktekkan status quo dan juga cenderung koruptif.

Mengenai hal tersebut, generasi milenial dalam kajian ini menganggap bahwa kampanye yang baik itu adalah dilakukan dengan mengedepankan program kerja untuk meyakinkan masyarakat. Sebanyak 77 % responden mengakui hal tersebut, kemudian mereka juga masih menganggap sosialisasi langsung ke rumah-rumah warga sebagai alternatif kampanye dianggap 46 % responden akan cukup efektif. Sedangkan respon mereka money politics dan memperbanyak baliho mendapat tanggapan 18 % dan 6 % dari responden sebagai media kampanye.

Derek Thompson kontributor untuk The Atlantis menuliskan, bahwa para generasi milenial, memiliki pandangan politik yang liberal. Hal ini mendorong sikap politik mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya atau memilih orang yang mendekati dengan pandang mereka. Sekalipun data diatas belum cukup mewakili apa yang sejatinya terjadi pada generasi milenial di Kota Baubau. Setidaknya, ini dapat memberi informasi kepada kita bahwa generasi milenial Baubau memiliki karaktersitik tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tempat lainnya, hanya saja modifikasi tentu masih tetap ada.

Pada akhirnya kita tentu perlu tetap waspada, kecenderungan ragu-ragunya generasi ini menentukan pilihan bisa jadi membawa persentase apatisme terhadap pemerintah meningkat. Hanya saja disisi lain, kita juga perlu bersiap untuk menjadi lebih kreatif mengemas diri mengambil porsi, memberi kontribusi kepada daerah. Kinipun saya melihat geliat dan giat-giat generasi milenials Baubau dalam beberapa kegiatan, baik itu sosial kemasyarakatan maupun politik lokal.
**

Jika cara Dilan merayu Milea itu dengan meramal akan bertemu dimana, generasi milenial Kota Baubau merayu dengan cara yang lekat kaitannya dengan merapal kompetensi lalu memberi arti bagi masyarakat.

Salam Mile(a)nial…

**Artikel ini dibukukan dalam Antologi Buku "Pemuda Wow di Jaman Now", dan akan segera terbit.

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

POLITIK ITU IBARAT ANGKA NOL

Barangkali banyak orang yang menganggap kalau politik itu kotor, namun tidak sedikit pula yang beranggapan sebaliknya. Tidak salah memang orang-orang beranggapan seperti itu, tergantung dari preferensi dan pengetahuan masing-masing. Termasuk disini, saya menganggap politik itu sebagai angka nol.