Tanggal 28 mei 2018, Seorang berinisial FN diamankan
oleh kepolisian Resor Kota Pontianak. Pasalnya, ia membuat heboh dengan
berteriak dengan maksud bercanda bahwa ada bom di tasnya. Pesawat maskapai Lion
Air yang sedianya berangkat dari Supadio Pontianak menuju ke Bandara Soekarno
Jakarta dibatalkan. Sejumlah delapan orang penumpang lainnya terluka dan
lainnya panik berhamburan keluar. Akibat candaan satu orang, membuat banyak hal
tidak menyenangkan terjadi.
Saya memulai narasi ini dengan ilustrasi cerita
diatas, untuk menjelaskan bahwa “suara” satu orang dapat membuat sebuah
perubahan yang besar. Dengan itu, kita dapat melihat konten dan konteks yang
tepat dapat membuat sebuah perubahan yang cukup besar bagi sekitar. Dalam
sistem demokrasi, satu suara (vote)
adalah instrumen untuk menghadirkan kehidupan bersama yang berkeadilan dan
menyejahterakan. Lewat pemilu atau pemilukada, suara (vote) sebagai elemen persamaan hak warga Negara akan dikonversi
untuk menentukan pemimpin baik eksekutif dan legislatife. Pun dalam
Undang-Undang kita menjamin akan hal itu, kecuali untuk kelompok profesi
tertentu.
Apakah menyerahkan hak kita dalam bentuk vote kepada Negara, akan mengurangi atau
bahkan kehilangan hak-hak kita sebagai warga Negara?. Tentu tidak, dalam narasi
Hobbes, kita memilih pemimpin berarti menyerahkan hak kita sebagai melalui
pemerintahan yang bertugas mengurusnya. Artinya, kita melimpahkan hak pada
pemerintah yang secara totalitas hidup kita diatur oleh Negara. Apakah kita
menjadi individu yang tidak bebas setelahnya?. Tidak juga, kita tidak
sepenuhnya kehilangan hak dalam hidup, ada regulasi yang mengatur cara kita
mendapatkan hak, supaya tidak bertabrakan dengan hak hidup orang lain.
Setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk
mengatur dan mengontrol jalannya pemerintahan, instrument pemilu dan pemilukada
adalah sarana konstitusional yang disediakan oleh Negara untuk warganya. Tak
terkecuali oleh mereka yang sering disebut sebagai kelompok warga masyarakat
marginal. Sekalipun dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2018 telah jelas mengenai
klasifikasi pemilih. Namun konteks marginal diartikan bukan saja terpinggirkan,
namun juga mereka yang menyandang disabilitas, warga miskin, minim pengetahuan
politik dan juga masih baru dalam berpolitik (pemilih Pemula).
Jika kemudian dikalkulasi, pemilih marginal ini
memiliki kuantitas politik (vote)
yang cukup besar untuk mampu ikut mengontrol pemerintahan melalui pemilu atau
pilkada. Lalu bagaimana potensi suara (vote)
dari masyarakat dalam kategori marginal ini?. Sebelum membeberkan data terkait
hal ini, saya pernah melakukan survey sederhana kepada 99 orang mahasiswa dengan rentang
umur 18-22 tahun, untuk range umur ini kita sebut sebagai generasi milenial.
Hasilnya adalah, dalam menentukan pilihan pemimpin yang sejatinya akan
diselenggarakan pada bulan juni 2018 nanti. Dimana, 41 % responden mengakui
masih cenderung ragu-ragu menentukan pilihan, lalu 32 % telah memantapkan hati
memilih calon, dan hanya sekitar 28 % responden yang mengaku belum menetapkan
kriteria calon pemimpinnya.
Padahal potensi generasi milenial secara nasional
pada pemilu 2019 nanti diperkirakan sekitar 40%, sedangkan saat ini utamanya
gelaran Pilkada sejumlah lembaga penelitian melansir bahwa potensi generasi
milenial mencapai 38 % dari jumlah pemilih di Indonesia. Untuk Kota Baubau
sendiri, dari sekitar 103.471 daftar pemilih tetap, sekitar 23 % nya adalah
gerasi milenial jika ukuran umur yang digunakan adalah 18 hingga 30 tahun.
Disisi lain, angka kemiskinan masyarakat juga turut
memengaruhi kondisi politik. Menurut data BPS Kota Baubau hingga Februari 2018
ini, terjadi tren penurunan angka kemiskinan hingga 10 persen. Namun salah satu
factor penyebab kemiskinan yakni pengangguran justru menunjukkan peningkatan
namun masih jauh dari angka persentase provinsi Sulawesi Tenggara.
Dalam sejumlah riset mengungkap bahwa mobilisasi
suara akan lebih mudah pada kelompok-kelompok masyarakat miskin melalui metode
“bagi-bagi uang”. Dan tentu, kita semua tidak sepakat dengan cara ini, selain
akan menciderai demokrasi hal ini juga menjadi pendidikan politik yang buruk
bagi masyarakat.
Memang, kecenderungan pilkada yang lekat sama aroma
korupsi begitu ramai hingga saat ini menjadi salah satu faktor rendahnya
partisipasi pemilih atau golput. Hal ini pun terbukti pada pilkada serentak
tahun 2015 mencapai 69 persen sementara pilkada serentak 2017 mencapai 74,5
persen. Ditambah lagi dengan banyaknya kasus penangkapan calon kepala daerah
oleh KPK oleh sebab terindikasi adanya perbuatan korupsi.
Kita tentu tidak akan pernah sepakat dengan pemimpin
yang justru hadir sebagai broker atau
“tukang gau-gau”. Bahkan dalam bahasa
keseharian kita, menganggap bahwa politik dan proses-proses didalamnya termasuk
pemilu dan pemilukada adalah kotor. Istilah-istilah serangan fajar, suap, money
politics, janji-janji, dan aksen negatif lainnya sering kita jumpai dalam
helatan demokrasi semisal pilkada. Ini juga, yang seringkali membuat perbedaan
di masyarakat semakin meruncing dan bahkan chaos.
Lalu, yang ada apatisme berpolitik menjadi kesimpulan dari sebagian kita.
Anis Baswedan bernah berujar, bobroknya bangsa ini
bukan karena banyaknya orang tidak jujur di negeri ini namun karena diamnya
orang-orang baik. Kita mengira bahwa hanya sekedar satu suara (vote) tidak
pernah mampu merubah apapun, namun kita tidak menyadari bahwa diamnya satu
suara juga tidak akan merubah keadaan yang sejatinya tengah terus memburuk ini.
Partisipasi setiap warga Negara justru akan sangat menentukan bagi arah
perkembangan baiknya Negara dan daerah ini. Pada tanggal 27 Juni 2018 nanti
pilkada serentak dilaksanan, kita akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur
Sultra sekaligus Walikota dan Calon Walikota Baubau.
Posisi kita sebagai voters, akan memilih pemimpin yang memang layak memimpin, track
recordnya jelas, integritasnya mumpuni dan tentu memiliki visi yang membaikkan.
Apatisme karena tidak ada yang akan berubah, sama bahkan akan lebih buruk lagi
jika kita tidak turut berpartisipasi dalam pemilukada. Suara kita, akan menjadi
saringan bagi para calon-calon pemimpin kita yang memang benar-benar memiliki
kompetensi yang baik untuk daerah ini.
Apapun itu, vote atau suara kita di pilkada nanti,
bukan saja berlaku saat itu saja. Namun kita tengah membangun masa depan daerah
kita melalui partisipasi dalam pilkada. Dengan begitu, kita dapat mengeliminir
adanya calon-calon yang tidak berkualitas dan memajukan calon-calon pemimpin
yang berkualitas. Karena sejatinya, masa depan daerah ini bukan berada ditangan
pemerintah saja, namun juga partisipasi kita sebagai warga Negara atau
masyarakat yang baik.
“Our Voice
Of Our Future”
Baubau, 24 Ramadan
1439 H[1] Artikel ini Disampaikan pada sosialisasi KPU Kota Baubau dengan sasaran Kelompok Marginal se- Kota Baubau, Sabtu 09 Juni 2018.
Komentar