Langsung ke konten utama

Eforia Fildan dalam Catatan Spiritual Kita

Sebagaimana idola, pulang kampung seorang fildan membuat satu kota sibuk. Jalan-jalan sejak pagi dipenuhi masyarakat, rute perjalanan sang idola bocor di medsos bahkan beberapa hari sebelum ia pulang.

Berbagai macam bentuk cara masyarakat merayakannya, buat bendera, spanduk, menyiapkan kamera, bekal menunggu, macam-macam cemilan, membuat tenda depan rumah sampai-sampai lupa menyiapkan makan siang keluarga. Fildan dan kehadirannya, menyimpan begitu banyak rentetan bungkus rindu yang perlu segera ditunaikan, yang lain bolehlah ditinggal sejenak.

Begitu juga di kampus, untungnya saat itu tak ada kelas saya. Hanya saja, lengkingan suar mobil patroli polisi seringkali membuat hampir seisi kampus gagal fokus, dikiranya iring-iringan fildan lewat. Jalan depan kampus memang menjadi rute pulkam fildan, praktis sejam sebelum fildan menginjakkan kaki di bumi khalifatul khamis ini sudah begitu sibuk, ramai, sesak dan kelas ditinggal.

Sayapun ada dan menjadi bagian dari hiruk pikuk menyambut fildan, rasa penasaran dan ingin ikut larut dalam eforia mengalahkan situasi yang sedikit gerimis itu. Saya juga ingin melihat fildan langsung, sekalipun malamnya setelah konser result show, saya akhirnya memiliki idola baru, ia Aulia yang harus tersingkir di babak 3 besar.

Dari eforia itu saya belajar satu hal, ini cukup menguras perasaan namun tak cukup untuk memproduksi air mata. Bukan karena melihat fildan langsung, tapi fildan dan apa yang diraihnya hari ini, mampu mengisi ruang-ruang tanya spritualitas, tentang harapan, kerja keras, ketekukan, dan kuasa Allah Swt yang direpresentasi pada sosok fildan.

From zero to hero, begitu kata yang sepadan untuk memberi simpulan tentang fildan. Saya mencatat dua hal yang menarik dari sisi spitual kita dari sosok idola negeri benteng terluas ini.

Pertama, Kesuksesan tak diraih dalam satu hari apalagi terberi saat manusia lahir. sukses hadir melalui usaha dan kerja keras, fildan telah menampilkan itu. Begitupun, sukses tak diraih sendirian, selalu ada pihak-pihak yang menyertai dan senantiasa mendukung.

Tentu, fildan memiliki kesuksesan hari ini, tak bisa lepas dari siapa disekitarnya. Orang tua, istri, anak, sahabat dan keluarga, menjadi anak tangga yang dipakai fildan sampai pada titik ini. Kalau kata spongesbob, keluarga adalah dimana orang-orang yang menyangimu. kita dan kualitas keluarga kita lah yang membantu suksesnya hidup kita.

Kedua, kun faya kun. Allah Swt tidak melihat siapa hambanya yang ingin diangkat derajatnya, namun seberapa besar usaha hambaNya. Siapa fildan dan keluarga di masa lalau? Mungkin tak banyak yang kenal. Lalu hari ini, siapa yang tak kenal fildan di tanah wolio?. Coba mi bilang tidak kenal, kalau tak mau kena siku hahah.

Artinya, jika allah Swt menghendaki sesuatu kepada hambaNya, tak ada orang yang begitu kuat, dinding yang begitu kokoh, atau jalan yang begitu panjang yang bisa menahan kehendakNya. Tetaplah berprasangka baik atas kehendakNya, kepada kita.

Kisah fildan telah mengajarkan banyak hal kepada kita, sejatinya kita dapat mengambil hal positif darinya. Termasuk, perkenalan saya dengan Aulia yang harus tersingkir dan hanya menjadi juara 3 di DA4. Kadang, sesuatu yang tertinggal dibelakang itu memiliki pesonanya sendiri.
Eaa....

Foto by: Agus Slamet

#fildaneffect
#janganlupanobarfildan
#janganlupasmsjuga
#saveaulia

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.