Langsung ke konten utama

KREATIFITAS!, MENGISI RUANG KEKERASAN




Kekerasan selalu saja menyisakan pedih, baik itu berupa aspek psikologis maupun fisiologis. Tapi kekerasan masih saja terus terjadi di negeri ini, saat ini bahkan kita seakan akrab dengan pemberitan kekerasan yang terjadi di beberapa daerah.  Kekerasan ini juga dilatarbelakangi oleh problema yang beragam di masyarakat, misalnya saja agama, suku, kelompok-kelompok tertentu. Bahkan kekerasan ini kemudian menjadi bagian problerm sosial bangsa ini, ditengah-tengah  masalah kemiskinan, ketimpangan dan korupsi.

Bahkan   lebih gawatnya lagi,  saat ini kekerasan juga melibatkan pelajar dan mahasiswa. Dimana remaja dan mahasiswa adalah sebuah proses dalam pencarian jati dirinya di lingkungan sosialnya. Jika penyaluran pencarian jati diri tersebut dilakukannya melalui kekerasan dengan tawuran, perkelahian serta bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terus generasi bangsa ini akankah dibangun dari proses kekerasan yang terjadi diantara mereka? Tentunya hal ini tidak diinginkan oleh siapapun di negeri ini.

Misalnya saja kekerasan yang terjadi antar pelajar beberapa waktu lalu, atau kekerasan mahasiswa di makassar yang kemudian berujung pada  adanya korban tewas.  Tentunya hal ini menjadi potret jelek dalam dunia pendidikan kita yang mestinya lebih menciptakan manusia yang manusiawi. Karena kekerasan seakan menjadi akrab dengan pelajar dan mahasiswa, apakah hal ini dikarenakan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita?. Ketika hal ini dikemukakan, belum tentu juga jawabannya kemudian menyalahkan semua itu. Karena mungkin saja ada beberapa ruang yang kemudian tidak memberikan dukungan pada adanya usaha-usaha kreatif pelajar dan mahasiswa selain dengan kekerasan (tawuran).

Kekerasan dalam bentuk tawuran yang terjadi antara pelajar atau mahasiswa, hampir bisa dikatakan terjadi setiap tahun. Dan ini kemudian melibatkan sekolah ataupun kampus yang sama, seakan-akan kemudian kekerasan ini dianggap lazim sebagai bagian rutinitas pelajar atau mahasiswa. Bisa dilihat dari kekerasan atau tawuran mahasiswa di makassar yang lazim diketahui dilakukan antara mahasiswa teknik dan non teknik. Arogansi individual yang diutarakan dalam bentuk tawuran ini tentunya menghilangkan esensi mahasiswa sebagai agen perubahan dan sosial kontrol di masyarakat.

Kejadian-kejadian kekerasan, tawuran yang seringkali berulang dan menelan korban jiwa sudah selayaknya dicarikan sebuah alternatif bagi penanggulanganya agar tidak terulang lagi. Sikap reaktif yang dilakukan pemerintah yakni dengan sangsi skors ataupun proses hukum, hanya menjadi sikap dengan dampak yang sementara saja. Karena dikemudian hari bisa jadi kekerasan serupa akan terus berulang. Namun program lainnya untuk melakukan tindakan yang lebih pada pencegahan masih belum maksimal dilakukan.

Kekerasan atau tawuran yang terjadi di masyarakat oleh para ahli menyatakan lebih disebabkan oleh adanya perebutan sumberdaya yang ada, yang kemudian menggiring masyarakat untuk menggunakan kekerasan yang berujung konflik. Jika dicermati pada proses serupa yang terjadi di pelajar atau mahasiswa, adalah adanya ruang kreasi yang “hilang” diantara kegiatan pembelajaran disekolah atau dikampus. Kegiatan pembelajaran yang monoton memaksa pelajar atau mahasiswa, dan menafikan perlu adanya pengakuan, aktualisasi diri, dignity dari pelajar atau mahasiswa yang sedang mencari jati diri. Sehingga hal ini kemudian menjadikan pelajar atau mahasiswa dalam proses pencarian jati diri diarahkan pada sumber-sumber kekerasan sebagai ranah aktualisasinya di masyarakat.

Bisa jadi kemudian saat ini remaja atau mahasiswa yang notabene sebagai generasi penerus bangsa ini kedepan, sedang dalam proses pencarian jati diri dan berusaha mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari lingkungan sosial. Disadari bahwa, dunia pendidikan kita hari ini lebih mengarah pada pencapaian kualitatif ketimbang kuantitatif. Sehingga ruang-ruang kreasi pelajar atau mahasiswa menjadi hilang, pencarian pengakuan, kehormatan, aktualisasi, pengembangan potensi, serta dignity menjadi terkaburkan. Bukan tidak mungkin kemudian jika hal ini berusaha dicari oleh pelajar atau mahasiswa dalam prosesnya di bentuk-bentuk kekerasan berwujud tawuran.

Sebagai alternatif kemudian, selain mengusahakan adanya penyetaraan dari perolehan sumber daya oleh masyarakat untuk bisa memberikan kehidupan yang adil. Dalam dunia pendidikan dan dunia sosial yang lebih luas, peran serta pelajar atau mahasiswa harus lebih diberikan ruang yang luas. Penciptaan lingkungan pendidikan yang kemudian mendukung dan memberikan ruang aktualisasi pelajar atau mahasiswa, dalam hal kreatifitasnya pada ranah yang lebih positif layak untuk dilakukan segera. Kegiatan-kegiatan pengembangan diri melalui kemampuan dan potensi pelajar atau mahasiswa menjadi kegiatan ekstra di sekolah maupun kampus.

Tentunya hal ini bisa dilakukan dengan cara sederhana, misalnya saja sekolah atau kampus kemudian memberikan ruang-ruang kreasi positif kepada pelajar atau mahasiswa. Ruang kreatifitas itu bisa berupa kegiatan olahraga, kesenian, teater, musik dan budaya, dengan begitu akan terbangun ruang dialog yang saling menghargai. Disamping itu pembukaan akses pendidikan yang adil tanpa adanya ketimpangan pada setiap pelajar atau mahasiswa, dengan dukungan pada setiap kegiatan-kegiatan positif maupun stimulus dari itu semua. Namun yang menjadi pertanyaan kembali adalah “sesudah itu apa”? Ketika ruang kreasi positif dalam mencegah kegiatan yang mengarah pada kekerasan telah diadakan.

Pengakuan, penghargaan, reward dan dignity terhadap prestasi yang dihasilkan oleh pelajar atau mahasiswa adalah hal sesudah itu. Dengan hasil karyanya yang kemudian didukung oleh institusi dan bahkan pemerintah akan memberikan “tularan” energi positif kepada yang lainnya. tentunya hal ini dilakukan harus konsisten dengan dukungan pada dua aspek ini, yaitu adanya penciptaan ruang kreasi dan penghargaan kepada hasil karya mereka. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar ketika para generasinya dilahirkan dalam ruang kreatifitas positif ketimbang ruang kekerasan.

Semoga bermanfaat.


[ tulisan ini awalnya saya persiapkan untuk essay mengikuti Workshop Komunitas Mahasiswa Menolak Kekerasan pada tanggal 19-20 november 2012., tapi setelah dihubungi oleh panitianya ternyata yang boleh ikut kegiatan workshop ini adalah khusus mahasiswa S1. tapi ndapapalah, saya publiz ke blog aja ]


Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.