Kekerasan selalu saja
menyisakan pedih, baik itu berupa aspek psikologis maupun fisiologis. Tapi
kekerasan masih saja terus terjadi di negeri ini, saat ini bahkan kita seakan
akrab dengan pemberitan kekerasan yang terjadi di beberapa daerah. Kekerasan ini juga dilatarbelakangi oleh
problema yang beragam di masyarakat, misalnya saja agama, suku,
kelompok-kelompok tertentu. Bahkan kekerasan ini kemudian menjadi bagian
problerm sosial bangsa ini, ditengah-tengah
masalah kemiskinan, ketimpangan dan korupsi.
Bahkan lebih gawatnya lagi, saat ini kekerasan juga melibatkan pelajar dan
mahasiswa. Dimana remaja dan mahasiswa adalah sebuah proses dalam pencarian
jati dirinya di lingkungan sosialnya. Jika penyaluran pencarian jati diri
tersebut dilakukannya melalui kekerasan dengan tawuran, perkelahian serta
bentuk-bentuk kekerasan lainnya, terus generasi bangsa ini akankah dibangun
dari proses kekerasan yang terjadi diantara mereka? Tentunya hal ini tidak
diinginkan oleh siapapun di negeri ini.
Misalnya saja kekerasan
yang terjadi antar pelajar beberapa waktu lalu, atau kekerasan mahasiswa di
makassar yang kemudian berujung pada
adanya korban tewas. Tentunya hal
ini menjadi potret jelek dalam dunia pendidikan kita yang mestinya lebih
menciptakan manusia yang manusiawi. Karena kekerasan seakan menjadi akrab
dengan pelajar dan mahasiswa, apakah hal ini dikarenakan ada yang salah dengan
sistem pendidikan kita?. Ketika hal ini dikemukakan, belum tentu juga
jawabannya kemudian menyalahkan semua itu. Karena mungkin saja ada beberapa
ruang yang kemudian tidak memberikan dukungan pada adanya usaha-usaha kreatif
pelajar dan mahasiswa selain dengan kekerasan (tawuran).
Kekerasan dalam bentuk
tawuran yang terjadi antara pelajar atau mahasiswa, hampir bisa dikatakan
terjadi setiap tahun. Dan ini kemudian melibatkan sekolah ataupun kampus yang
sama, seakan-akan kemudian kekerasan ini dianggap lazim sebagai bagian
rutinitas pelajar atau mahasiswa. Bisa dilihat dari kekerasan atau tawuran
mahasiswa di makassar yang lazim diketahui dilakukan antara mahasiswa teknik
dan non teknik. Arogansi individual yang diutarakan dalam bentuk tawuran ini
tentunya menghilangkan esensi mahasiswa sebagai agen perubahan dan sosial kontrol
di masyarakat.
Kejadian-kejadian
kekerasan, tawuran yang seringkali berulang dan menelan korban jiwa sudah
selayaknya dicarikan sebuah alternatif bagi penanggulanganya agar tidak
terulang lagi. Sikap reaktif yang dilakukan pemerintah yakni dengan sangsi
skors ataupun proses hukum, hanya menjadi sikap dengan dampak yang sementara
saja. Karena dikemudian hari bisa jadi kekerasan serupa akan terus berulang.
Namun program lainnya untuk melakukan tindakan yang lebih pada pencegahan masih
belum maksimal dilakukan.
Kekerasan atau tawuran
yang terjadi di masyarakat oleh para ahli menyatakan lebih disebabkan oleh
adanya perebutan sumberdaya yang ada, yang kemudian menggiring masyarakat untuk
menggunakan kekerasan yang berujung konflik. Jika dicermati pada proses serupa
yang terjadi di pelajar atau mahasiswa, adalah adanya ruang kreasi yang
“hilang” diantara kegiatan pembelajaran disekolah atau dikampus. Kegiatan
pembelajaran yang monoton memaksa pelajar atau mahasiswa, dan menafikan perlu
adanya pengakuan, aktualisasi diri, dignity dari pelajar atau mahasiswa yang
sedang mencari jati diri. Sehingga hal ini kemudian menjadikan pelajar atau
mahasiswa dalam proses pencarian jati diri diarahkan pada sumber-sumber
kekerasan sebagai ranah aktualisasinya di masyarakat.
Bisa jadi kemudian saat
ini remaja atau mahasiswa yang notabene sebagai generasi penerus bangsa ini
kedepan, sedang dalam proses pencarian jati diri dan berusaha mendapatkan
pengakuan sebagai bagian dari lingkungan sosial. Disadari bahwa, dunia pendidikan
kita hari ini lebih mengarah pada pencapaian kualitatif ketimbang kuantitatif.
Sehingga ruang-ruang kreasi pelajar atau mahasiswa menjadi hilang, pencarian
pengakuan, kehormatan, aktualisasi, pengembangan potensi, serta dignity menjadi
terkaburkan. Bukan tidak mungkin kemudian jika hal ini berusaha dicari oleh
pelajar atau mahasiswa dalam prosesnya di bentuk-bentuk kekerasan berwujud
tawuran.
Sebagai alternatif
kemudian, selain mengusahakan adanya penyetaraan dari perolehan sumber daya
oleh masyarakat untuk bisa memberikan kehidupan yang adil. Dalam dunia
pendidikan dan dunia sosial yang lebih luas, peran serta pelajar atau mahasiswa
harus lebih diberikan ruang yang luas. Penciptaan lingkungan pendidikan yang
kemudian mendukung dan memberikan ruang aktualisasi pelajar atau mahasiswa,
dalam hal kreatifitasnya pada ranah yang lebih positif layak untuk dilakukan
segera. Kegiatan-kegiatan pengembangan diri melalui kemampuan dan potensi
pelajar atau mahasiswa menjadi kegiatan ekstra di sekolah maupun kampus.
Tentunya hal ini bisa
dilakukan dengan cara sederhana, misalnya saja sekolah atau kampus kemudian
memberikan ruang-ruang kreasi positif kepada pelajar atau mahasiswa. Ruang
kreatifitas itu bisa berupa kegiatan olahraga, kesenian, teater, musik dan
budaya, dengan begitu akan terbangun ruang dialog yang saling menghargai. Disamping
itu pembukaan akses pendidikan yang adil tanpa adanya ketimpangan pada setiap
pelajar atau mahasiswa, dengan dukungan pada setiap kegiatan-kegiatan positif
maupun stimulus dari itu semua. Namun yang menjadi pertanyaan kembali adalah “sesudah
itu apa”? Ketika ruang kreasi positif dalam mencegah kegiatan yang mengarah
pada kekerasan telah diadakan.
Pengakuan, penghargaan,
reward dan dignity terhadap prestasi yang dihasilkan oleh pelajar atau
mahasiswa adalah hal sesudah itu. Dengan hasil karyanya yang kemudian didukung
oleh institusi dan bahkan pemerintah akan memberikan “tularan” energi positif
kepada yang lainnya. tentunya hal ini dilakukan harus konsisten dengan dukungan
pada dua aspek ini, yaitu adanya penciptaan ruang kreasi dan penghargaan kepada
hasil karya mereka. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar ketika para
generasinya dilahirkan dalam ruang kreatifitas positif ketimbang ruang
kekerasan.
Semoga
bermanfaat.
[ tulisan ini awalnya saya persiapkan untuk essay mengikuti Workshop Komunitas Mahasiswa Menolak Kekerasan pada tanggal 19-20 november 2012., tapi setelah dihubungi oleh panitianya ternyata yang boleh ikut kegiatan workshop ini adalah khusus mahasiswa S1. tapi ndapapalah, saya publiz ke blog aja ]
Komentar