Langsung ke konten utama

KONFLIK “BATIN” DALAM BIROKRASI




Birokrasi seringkali dikaitkan dengan serangkaian kerumitan dan proses bermulanya celah korupsi di tubuh pemerintah. Hal ini tidak mengherankan bahwa kondisi yang ada menjadikan persepsi publik terhadap birokrasi terbangun seperti itu. Saat ini , birokrasi berada pada 3 masalah pokok, yaitu korupsi yang dilakukan oleh para aparatnya, inefisiensi dimana lambatnya pelayanan yang dilakukan dan efektifitas menyangkut permasalahan kinerja birokrasi yang tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.



Korupsi di birokrasi dinilai sebagai rendahnya pengawasan etika dan lemahnya moral para aparat birokrasi dalam hal ini adalah pegawai negeri sipil (PNS). Sebagian besar kasus korupsi di Indonesia didominasi dengan adanya keterlibatan aparat birokrasi. Transfromasi nilai moral sangat dibutuhkan untuk menciptakan aparat birokrasi yang dapat bekerja secara profesional, walaupun memang kadang tuntutan masalah kesejahteraan yang kurang oleh aparat birokrasi masih sering mencuat.

Masalah pembangunan sumber daya manusia memang dianggap penting dalam birokrasi, apalagi menyangkut etika dan moral dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. namun, dalam tulisan ini akan lebih membahas mengenai pergolakan etika dan moral aparat birokrasi didaerah yang dikaitkan dengan proses pemilihan kepala daerah. Hal ini menarik dimana, dimensi etika dan moral aparat dipertaruhkan antara pilihan individu aparat birokrasi yang lebih berada pada nilai primordial.

Hal ini menarik didiskusikan karena adanya sebuah konflik “batin” dalam aparat birokrasi kita terutama di daerah. Contoh kasus adalah pada momentum pelaksanaan pilkada, disatu sisi aparat birokrasi dituntut untuk netral dalam berpolitik namun disisi lain ada keinginan untuk memberi dukungan politik, diketahui bahwa dukungan politik aparat birokrasi akan menentukan jenjang karir dari aparat birokrasi tersebut.

"posisi aparat birokrasi untuk memposisikan dirinya dalam profesionalismenya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat bukanya terlibat dalam politik atau bisa disebut dukung mendukung calon dalam pemilu terutama pilkada"

Netral vs Karir
Dalam undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan UU nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian, pasal 3 menerangkan bahwa PNS sebagai Aparatur Negara dan pelayan masyarakat dituntut bersikap “netral” dalam setiap pemilu termasuk pilkada, serta terlibat dalam partai politik. Dari undang-undang ini kemudian posisi aparat birokrasi untuk memposisikan dirinya dalam profesionalismenya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat bukanya terlibat dalam politik atau bisa disebut dukung mendukung calon dalam pemilu terutama pilkada.

Disisi lain bahwa aparat birokrasi daerah terindikasi cenderung “patuh” kepada atasannya, dalam hal ini bupati atau walikota tentunya hal ini menjadikan adanya pertentangan antara netralitas dan dukungan terhadap calon kepala daerah. Fenomena ini menjadi sangat populer ketika menjelang pilkada, sebuah gerakan mobilisasi suara melalui aparat birokrasi untuk kepentingan kepala daerah maju para periode berikutnya, atau mantan kepala daerah yang mendukung salah satu calon kepala daerah dalam pilkada.

Banyak contoh kasus, dimana adanya aparat birokrasi yang kemudian diketahui tidak mendukung salah satu calon atau terindikasi menjadi pendukung calon yang lain dari kepala daerah yang terpilih, maka sanksi berupa mutasi jabatan, non job, maupun penangguhan kenaikan pangkat akan dialami oleh aparat birokrasi tersebut. Proses seperti ini menjadi keharusan dari sebuah mekanisme pilkada di daerah. Maka tidak jarang, ketika di daerah terpilih kepala daerah baru dan bukan merupakan calon yang didukung oleh kepala daerah incumbent, “perombakan jabatan” mulai dari struktur birokrasi terendah hingga tertinggi di daerah akan terjadi. Mulai dari lurah, camat, kepala dinas, hingga sekda malah di beberapa tempat kepala desa pun bisa diganti, dengan kelompok yang menjadi pendukung kepala daerah yang baru.

Sudah barang tentu hal ini menjadi anomali baru dalam struktur birokrasi dan identitas “kenetralan” aparat negara dalam pilkada. Hal ini banyak terjadi di daerah dan sudah menjadi rutinitas lima tahunan, yaitu periodisasi proses pemilihan kepala daerah.

“dukungan kepada calon menentukan
 jabatan baru atau non job”.

Realitas kini.

Pertarungan “batin” dalam aparat birokrasi ini akan selalu ada di setiap momentum pilkada di daerah. Tidak menjadi sangkaan saja ketika aparat birokrasi terutama pimpinan struktural di dalam instansi pemerintah, akan tetap memberi dukungan kepada salah satu calon kepala daerah yang ada. Hal ini dilakukan “sembunyi-sembunyi”, melakukan dukungan terhadap calon kepala daerah, karena yang menjadi pertaruhan di sini adalah jabatannya kedepan. Ada anekdot yang berkembang “dukungan kepada calon menentukan jabatan baru atau non job”.

Realitas ini senantiasa berkembang, dimana banyak kepala SKPD di daerah yang terindikasi mendukung salah satu pasangan calon, dan dikemudian hari dukungannya tersebut tidak terpilih dan lawan politiknya yang terpilih. Maka mutasi dan non job adalah realita yang terbangun di dalam benak aparat birokrasi, dan tentunya berbeda sebaliknya terhadap aparat birokrasi yang calon dukunganua terpilih maka akan terbayang jabatan baru, kenaikan pangkat dan sebainya.

Fenomena seperti ini perlu disikapi tidak saja dengan reformasi birokrasi dan kecenderungan penguatan pengawasan dan regulasi yang ada, walaupun hal ini dianggap penting namun penyimpangan dilapangan akan tetap terjadi. Upaya pemerhatian terhadap etika dan moral aparat birokrasi kita pun perlu ditingkatkan, disamping itu adanya pendewasaan politik didaerah, karena biar bagaimanapun juga orientasi paling utama adalah pelayanan dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam waktu dekat ini di Kota Baubau akan diadakan pesta demokrasi, pemilihan kepala daerah yang “baru”. Kenapa baru ? karena walikota yang lama sudah memenuhi dua periode kepemimpinanya, tentunya ada nama dan calon baru yang bermunculan. Dengan ide dan gagasan yang diusungnya untuk kesejahteraan masyarakat Kota Baubau. Tentunya konflik “batin” yang terjadi seperti yang dikemukakan diatas, akan terjadi di tubuh birokrasi Kota Baubau. Fenomena dukung mendukung akan tetap ada, namun dalam hal ini upaya pengarusutamaan

Untuk itu pendewasaan pilihan politik perlu dilakukan, bukan saja dituntut kepada partai politik yang ada namun juga cara berpikir individu. Reformasi birokrasi, regulasi yang jelas, pengawasan tetap akan berjalan pincang didaerah jika tidak didukung oleh pemimpin politik. Untuk itu, siapapun yang akan terpilih nantinya mesti bisa secara dewasa menyikapi keresahan batin birokrasi daerah. Sekalipun individu tersebut berbeda pandangan politik namun untuk mewujudkan kinerja pemerintahan yang baik, perhatian terhadap kompetensi dan kapabilitas individu tetap dikedepankan. Mutasi atau non job dilakukan bila memang diperlukan adanya “penyegaran” bukan karena pilihan politik. Pilihan politik boleh berbeda-beda, namun pilihan pelayanan dan kesejahteraan adalah “satu”, untuk seluruh masyarakat khususnya di Kota Baubau.

[tulisan ini dimuat pada salah satu harian di Kota Baubau]

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.