Langsung ke konten utama

Kemari



Kemari aku ingin bercerita ;
Semalam Aku Bermimpi, membuat perahu dari kayu pohon besar yang tumbang di kebun kita. Lalu kucat perahuku dengan warna warni, biru dari laut, putih dari bunga tulip, merah bersudut disenja kala, hijau daun musim semi, ungu semanis ubi. Dan dilayarnya aku gambarkan bola-bola yang kuberi warna warni serupa, kemudian kuukir sebuah dayung untuk dengan nama kita.

Kemari, aku mengajakmu; 

Mari kita mengarungi lautan ini, yang selalu membuat jarak, yang selalu membuat waktu-waktu kita terbatas, untuk bersama. Biar lautan pula yang akan mempersatukan kita, meniti dan memenuhi waktu-waktu kita, kemudian saling mengisi ruang-ruang yang sempat tertinggal. Karena waktu tak bisa kita persalahkan, hanya saja waktu mesti kita ukir biar dia tahu seperti apa, ketika sebuah rasa melebur dalam kita.

Kemari, aku ingin memberimu;
Ketika pemandangan senjakala semakin menua, menemukan kita dalam redup doa setelah magrib. Meminta sedikit kebahagiaan dariNya, yang memiliki kita. Tidak perlu meratap atas apa yang terlewat, memberi jalan ikhlas pada yang lalu kemudian menjadi hikmah lebih bijaksana. Tapi yaknilah apa yang kita beri seperti itu yang kita dapati, karena siapapun menunggu adanya pagi dengan sabar akan menemui pagi dengan kebahagiaan dan sesiapa yang mencintai cahaya mentari akan dicintai mentari.
Kemari, Pegang Tanganku;
Perahu ku sudah jadi, semua sudah kusiapkan untuk memulai semuanya, Menebus semuanya, memberi isi ruang itu, menyambut sesuatu yang akan kita temui nanti. Jangan takut, tanganku tak akan melepasmu. Orang-orang memandang kita bukan karena ada yang salah, mereka tertarik dengan perahu warna-warni kita. Besok bisa jadi perahu-perahu serupa akan mulai mereka buat, tapi tentu berbeda dengan perahu kita yang ku buat dengan rasa yang menjadi dalam kita.

Kemari, Kemarilah;
Aku akan selalu bersamamu, menjadikanmu bagian dalam bayang malam-malamku. Menjadikanmu bagian dari teks doa setelah sholat-sholatku, menjadikan namamu bagian ucap syukurku pada-Nya, menjadikanmu sebagai bagian dari penggalan kehidupanku, menjadikanmu sisi yang hidup yang hanya bisa diisi olehmu. Kemarilah, kita kembali mengukir waktu atau membuat waktu menjadi pengukir nama-nama kita dalam tinta kehidupanya. Biar rasa ini yang akan melebur aku dan kamu dalam kita, diatas perahu warna-warni kita.


(perenungan "ini" menyambut pagi di sisi kamar kost, surakarta;07/11/2012)

gambar dari sini

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.