Langsung ke konten utama

Catatan Imaginer



Pertemuan hari itu sedikit menyisakan lelah, duduk berselonjor diteras masjid. Di dalam sedang dilakukan pengajian ibu-ibu jamaah masjid. Seorang Bapak dengan pakaian sederhana, selesai menunaikan sholat. Dia menghampiriku dan bertanya, kenapa tidak ikut pengajian? Saya bilang, sedang buru-buru mau pulang ada urusan. Saya balik bertanya, kamu sendiri? Dia menjawab sederhana, pengajiannya bukan buat saya. 

Loh?? (terheran)
Saya mencoba menanyakan kembali, kenapa? Dan berdiskusi panjang..

Begitulah, jawab dia. 
petikan diskusi itu seperti ini :


Saya cuman ingin beragama secara sederhana, tidak yang muluk-muluk seperti mereka. Saling berebut klaim kebenaran, saling mengakui kelompok mereka yang akan masuk surga. Saya cuman mau menjalani agama saya dengan sederhana, tidak lebih seperti yang diajarkan Rasulullah SAW. Tidak terbatas pada pencapaian-pencapaian material seperti apa dan akan mendapatkan ceramah agama seperti apa. toh tema ceramah sekarang kan bisa dipesan, sesuai berapa "honor"nya kan...(tersenyum).

Maksudnya? Tanyaku balik.

Agama kita mengajarkan kesederhanaan, Rasulullah bukan orang yang kaya kemudian  banyak menurunkan warisan ke keluarganya. Seperti itu yang saya baca dari sirah nabawiah, walaupun memang beliau dan istrinya Khadijah adalah seorang pedagang pada waktu itu. nah sekarang, para ustad yang katanya pembawa risalah kenabian, sepertinya sibuk dengan acara “manggung” mereka di TV dan acara-acara lainnya. tapi tempat kami yang kumuh dan berlumpur itu, tidak pernah didatanginya. Pakean yang necis dan sebagainya, kemudian ceramah tentang amalan untuk menjadi kaya bagaimana, padahal kami di tempat kumuh itu bukan berarti tidak memiliki masalah yang sama. Kami paham bahwa agama itu, sesuatu yang suci dan bersih. Tapi apa iya, yang dimaksud agama suci bersih itu diukur hanya dengan keadaan yang sifatnya duniawi, kebendaan dan kepemilikan?? Kalau begitu tempat kumuh kami itu tidak suci? Lalu kawan kami disana dengan segala keterbatasannya kemudian mampu untuk meniatkan dirinya dapat berkurban dua ekor kambing pada Idul Adha tahun ini. menurut saya itu Kesucian, Kesucian Hati.

Terus?

Iya, seperti itulah. Para ustad lebih senang berceramah di tengah-tengah ibu-ibu yang memakai gamis mahal dengan parfum yang menyengat, di tengah bapak-bapak dengan memegang remote mobil yang kalau dipencet maka mobil yang jaraknya 10 meter diluar akan berbunyi. Terkadang saya mikir, apakah ceramah disesuaikan dengan tuntutan pasar yaa?? Siapa bayar berapa akan dapat ceramah apa?. Saya cuman mempertanyakan kenapa mereka enggan ke tempat kami, apakah karena kumuh, berlumpur, bau sampah sisa orang kaya? Mereka takut mengotori gamis mereka, takut sendal atau sepatu import mahal mereka injakkan ke tempat kami. Walaupun memang masalah “bayaran” memang bagian dari kebutuhan personal juga, toh ustad juga manusia. Tapi kami juga manusia loh??

Masih bingung dengan “bayaran”, maksudnya?

Begini, coba lihat pamflet disana. Mau kaya? Menjadi muslim sukses? Inilah seminar untuk memberikan pencerahan kepada anda, Percepatan rejeki, Mejadi Kaya seperti para Sahabat??? Sudah pasti akan tercantum, Investasi 300 ribu. Walaupun ditambah dengan kata-kata, bahwa pelatihan yang anda dapatkan komplit yang sebenarnya seharga 5 Juta. Lah...bagaimana mungkin kami yang miskin ini mengikuti itu untuk bisa seperti mereka, biaya 300 ribu itu adalah pendapatan kami dalam sebulan itupun kalau lagi rame. Apakah memang kami dikutuk untuk menjadi miskin? Saya pikir Allah tidak sekejam itu.
Ohhh....tapi ada kok ustad (beberapa) yang ke tempat kumuh juga kan?

Ada, tapi itulah ceramahnya kalau bukan masalah sabar ya...ikhlas, menerima cobaan bahwa Allah sayang sama kami, maka diberilah cobaan kemiskinan ini. saya kemudian berpikir, kadang-kadang spiritualitas orang-orang kok kayak menjadi pencapaian individual saja. Padahal kita diseru untuk memperkuat silaturahim, hubungan kepada Rabb dan Hubungan Kepada Manusia. Tapi apa iya? Ketika kami mempertanyakan manifestasi kasih sayang atas adanya wujud spiritualitas tadi seperti apa? Kami juga bingung. Malah ada yang lebih membingunkan lagi. Zakat?? Apa iya? Mungkin sebagian saja, itu dilandaskan adanya kepedulian untuk itu, toh kalau misalnya disetiap akhir ramadhan itu masjid tidak menyampaikan bahwa “berzakatlah bagi yang mampu” dan masjid tidak mengirimkan surat kerumah-rumah untuk membayar zakatnya ke masjid, apakah ada yang berzakat ? toh ketika, sedekahpun karena ada maunya kan? Seperti kata ustad itu, kalau bersedekah akan menjadi kaya raya, maka berbondong-bondonglah mereka bersedekah kepada kami dengan alasan akan menjadi kaya. Tapi ini sebagain saja sih, ada yang dengan niat ikhlas kok. Buktinya bisa dilihat kok, yang masuk di TV dan tidak masuk di TV pada saat menyerahkan sedekahnya. Sederhana.

Tapi, Allah mengatakan “Tidak akan dirubah nasib suatu kaum, jika mereka sendiri yang tidak merubahnya”, ya kan??

Tepat, kami punya pilihan untuk itu. kamipun berusaha untuk itu. tapi kami ingin menjalaninya sesuai dengan keyakinan kami. Namun keyakinan yang bisa dirujuk yang mana? Disatu sisi ada kelompok yang mengatakan kelompoknya lah yang paling benar, ada juga mengatakan kelompoknyalah yang paling baik untuk jaman sekarang, bahkan ada yang menilai bahwa kitab suci kita mesti dikontekskan dengan jaman sekarang, dan selebihnya ada pertentangan-pertentangan diantara mereka. Klaim kafir dan tidak kafir, sesat dan tidak sesat, macam-macam. Kami menontonya, hanya sebagai penonton yang bingung. Bahkan ada kelompok yang melakukan penentangan terhadap kesesatan agama dengan semangat sekali, tidak salah sih cuman mereka kadang melakukannya di tengah-tengah keramaian orang-orang yang bukan seperti kami. Jadi jangan heran kalau ada kawan kami yang menggadaikan agamanya dengan sekarung beras dan sedus mie instan.

Hidup adalah perjuangan, iya kan?

Hmmm...perjuangan yang mana? Kami membela agama ini dengan terus menjadikan keyakinan ini bagian dari kami, tidak karena sekarung beras dan sedus mie instan. Atau seperti yang di TV itu? teriak atas nama pembelaan agama kemudian menghancurkan fasilitas? Mengkampanyekan negara islam (khilafah) untuk memberantas kemiskinan? Yaa...terlalu rumit berpikir yang itu, sekarang saja kami tidak menyadari bahwa negara itu yang mana sih? Heheh...saya ingin menjalani hidup saya dengan sederhana, menjalankan agama saya dengan sederhana, pegangan saya Al Quran dan Hadist, bahwa menjauhi laranganNya dan menjalankan perintahNya itu cukup bagi saya, tidak perlu seperti mereka bahwa mazhab, golongan, kelompok, organisasi apa menentukan surga mana yang akan diperoleh. Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, saya percaya itu.

[saya menyambungkan]
Memang yang seperti itulah, hidup itu pilihan. Terkadang kita diuji dengan kepunyaan dan ketiadaan apa-apa, tapi kita punya pilihan untuk menjadi seperti apa menaggapi hal itu.  jatuh terpuruk atau bangkit. toh Allah tidak menilai apa yang kita miliki dan seberapa banyak harta kita, tapi derajat ketaqwaan kita kan. Kotak kenyamanan hidup memang seperti sebuah buaian yang banyak orang menjadi lupa diri, pencapaian materi, kedudukan dan sebagainya. Tapi keluar dari kotak ketidaknyaman ini yang sulit, mungkin hanya Nabi yang mampu dan kita hanya mampu mendekatinya saja. Lihat saja, bagaimana perjuangan para Nabi Allah memperjuangakan agama Allah mereka diutus tidak dalam keadaan yang baik-baik saja kan, mereka diutus sebagai revousioner pada masanya dan umatnya. Misalnya saja bagaimana Nabi Muhammad SAW menjadi seorang revolusioner dalam kelompoknya dan tidak sedikit cobaan dan rintangan yang beliau terima dari kelompoknya tersebut. Jadi tidak heran bahwa Nabi Muhammad yang sudah lebih dari 14 abad yang lalu meninggal masih tetap dicintai oleh pengikutnya.
Sudah ya pak, saya pulang dulu. Diskusi yang menarik dengan bapak...

Iya, dek! Oh iya.....terakhir
Sederhanalah, itu akan menjadikanmu melaksanakan perintah agama dengan Ikhlas. Islam itu Indah. Teladanilah kesederhanaan Rasulullah SAW, beliau tidak mewariskan harta benda tapi beliau mewariskan Cinta, Kasih Sayang, Ajaran kepada segenap pengikutnya. Semoga nanti kita mendapat syafaat beliau disana....Allahumma Shalli Ala Sayyidina Muhammad wa ali Muhammad.
Makasih Pak....:)
Akhirnya pulang saya pun terlambat, namun diskusi ini cukup menarik jika ditinggalkan begitu saja. Tercerahkan..

[catatan ini adalah imajinasi belaka, pertemuan dengan pertanyaan-pertanyaan menjadikan saya berdialog imajiner dengan diri sendiri] 

-Solo, 29 November 2012-
disisi kamar yang tak jua menerbitkan ceria...
dirudung pertanyaan ini kenapa bagaimana sesudahnya sehingga seandainya....
teruslah bertanya...

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.