Langsung ke konten utama

Tesis ini untuk (si)apa?




Setiap mahasiswa tingkat akhir, pasti diperhadapkan oleh kewajiban untuk menyusun skripsi, tesis dan disertasi berdasarkan tingkatan kesarjanaan masing-masing. Pada kondisi ini, biasanya adalah kegiatan yang paling menguras pikiran setiap mahasiswa. Bahkan bisa sampai kita mendengar ada beberapa mahasiswa malah cenderung tertekan dengan kewajiban ini. Disamping itu, hal ini juga biasanya menjadi alasan kenapa mahasiswa lama baru selesai.

Saat ini, saya tengah menjalani kuliah pascasarjana di Universitas Sebelas Maret dan beberapa bulan lalu Alhamdulillah saya telah menyelesaikan seluruh rangkaian perkuliahan, tinggal menunggu waktu wisuda saja. Namun kemudian, setelah beberapa diskusi sama teman maupun perenungan sendiri. Saya kemudian berpikir, setelah membuat tesis mempertanggungjawabkannya di dean dosen, mencetaknya sebagai syarat wajib, dan menyerahkannya ke perpustakaan universitas. Muncul satu pertanyaan besar, tesis ini sebenarnya untuk (si)apa?

Pernyataan ini muncul dengan beberapa pertanyaan, pertama; saya merasa bahwa selain sebagai bentuk kewajiban untuk bisa dinyatakan lulus pascasarjana, tesis ini buat apa?; kedua: memang tesis bisa disebut sebagai sebuah research yang aktual terhadap suatu masalah, yang kemudian bisa menjadi rekomendasi bagi pihak yang relevan dengan hasil penelitian, namun apakah itu memiliki efek bagi pihak tersebut?; ketiga: bagi diri sendiri, setidaknya tesis dapat menjadi pembelajaran bagi diri pribadi. Tapi itupun menurut saya kembali pada diri pribadi masing-masing dengan niatan menyusun tesis tersebut.; keempat; mungkin ini bisa menjadi monumen bagi pencapaian akademik saya dan bisa dilihat oleh orang banyak. Akan tetapi setelah itu apa?


Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hadir untuk kemudian menambah keluhan-keluhan saya terhadap sebuah idealisme. Karena dalam pikiran saya sesuatu yang sekalipun hanya sesiatu yang kecil namun memiliki manfaat, itu lebih memiliki nilai dimata saya. Lalu tesis ini? Apapun itu, tesis ini adalah sebagai bagian dari perenungan dan kontemplasi saya diakhir perkulihan. Tentu akan sangat tidak bijak jika saya malah menyangsikan manfaat yang bisa diambil dari tesis saya. Toh, segala sesuatunya itu tergantung saya akan menggunakan dan memanfaatkan ini seperti apa.

Setidaknya, tesis ini jika boleh akan saya persembahkan kepada mama saya. Beliau adalah seseorang yang sangat mendukung saya dalam capaian-capaian akademik hingga saat ini. Dalam pikiran saya saat ini, biar saja pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri saya pribadi akan coba saya jawab sendiri dengan mendedikasikan tesis ini untuk mama.

Alasannya jelas, tesis ini setidaknya akan mampu mengangkat derajat orang tua saya di lingkungan sosial kami. Bahwa, dengan tesis tersebut setidaknya menjelaskan bahwa dari rahimnya mampu melahirkan seorang anak yang mampu mencapai posisi magister sekalipun bapak dan ibunya bahkan tidak pernah memikirkan untuk bisa berpendidikan sampai pada posisi tersebut.

Jika saat ini, saya ditanya tesis buat (si)apa? Ketika teman menyatakan diri menikah dengan tesis, sebagai pernyataan dia untuk berdamai dengan tesisnya. Saya akan menjawab bahwa tesis saya buat mama saya, biarkan tesis dan saya yang akan bertanggungjawab mengaplikasikannya kedepan. Janji Allah Swt tidak pernah ingkar bukan? Bahwa hambaNya yang berilmu akan diangkat beberapa derajat.

Perjuangan, lelah, kesempitan, galau, emosi dan segalanya dalam mencapai derajat magister dan tesis yang berhasil disusun dan dipertanggungjawabkan ini akan menjadi saksi. Saksi bahwa ada seorang hamba dan anak, yang akan dengan sepenuh hari berikrar keikhlasan menerima semua proses itu  ditukarkan dengan diangkatnya derajat kedua orang tua saya. Inshaa Allah.

Surakarta, 15 Agustus 2014

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.