Lebaran kali ini tidak
mudik, karena itu untuk menghibur diri berjalan-jalan adalah sebuah pilihan
rasional tentunya. Salah satunya adalah ke jogja selain untuk jalan-jalan juga
menjengguk teman-teman dari daerah yang juga tidak mudik. Saat yang sama juga
teman-teman ini juga sedang mengalami kondisi yang sama, yakni adalah mahasiswa
semester akhir sehingga diperhadapkan pada pengerjaan skripsi dan tesis mereka.
Karena itu, pertemuan
saya dengan mereka lebih berpola curhatan tentang kondisi perjuangan mereka
menyusun skripsi dan tesis mereka. Pada pokoknya memang dari cerita-cerita itu
mereka ingin memiliki saluran untuk mengalirkan keluhan-keluhan dalam menjalani
proses ini. Posisinya memang, saya sendiri yang sudah melewati tahap itu
sehingga mudah memahami kemana arah dari cerita-cerita ini hehehe.....
Mereka memang punya
kondisi yang sama yakni menyusun skripsi dan tesis, namun apa yang dihadapi
berbeda satu sama lain. Setidaknya melalui cerita perjuangan mereka, menemui
dosen, menerima kritikan dosen, mencari jadwal ketemuan, mengelola malas yang
kadang melanda, mengelola mood, hingga harus mempertahankan kondisi tubuh agar
tetap fit oleh beban pikiran yang ada.
Seperti yang saya
katakan sebelumnya, sebenarnya kita semua menginginkan teman cerita terhadap
situasi yang kita alami dalam menjalani proses semester akhir ini. Memiliki
teman cerita kalau dipikir memang tidak akan menyelesaikan susunan skripsi dan
tesis kita, namun setidaknya adal luapan emosi yang bisa dikeluarkan dari
perbincangan yang kita lakukan. Ini saya alami sendiri, dengan memiliki teman
cerita kita akan lebih lega dan siap untuk menghadapi kritikan dan revisi yang
selalu berulang itu.
Inilah yang saya
tangkap dari perbincangan kami saat silaturahim di kost salah satu teman itu,
setiap kami menceritakannya dengan berapi-api. Secara kiasan kita ingin
menyampaikan bahwa kami adalah ksatria dari sekuel penyusunan skripsi dan tesis
kita masing-masing, selain itu ada riak-riak cahaya yang ingin kita tunjukkan
sebagai pembangkit optimisme kita dalam menyusun skripsi dan tesis itu, yang
dilakukan dengan menunjukkan bahwa realitas dan dinamika di kampus kita seperti
ini dan itu.
Tapi inilah sebenarnya
esensi dari cerita-cerita kami saat itu, bahwa akan selalu ada cahaya ditengah
kegelapan. Jika kemudian kita mempunyai keresahan, kekhawatiran dan kegetiran
yang sama dalam menyusun skripsi dan tesis masing-masing, sebenarnya ada
berbagai hikmah yang bisa kita ambil sebagai cerita-cerita pengalaman kita kepada
generasi mendatang.
Misalnya saja
bagaimana melewati proses-proses itu, sehingga saat masanya telah tiba dan
menyelesaikan semuanya, proses-proses itu jika diingat-ingat lagi hanya akan
senantiasa menerbitkan senyuman dan gumaman dalam hati bahwa “ ternyata masalah
yang saat itu saya pikir seperti batu besar, kini dirasa hanya seperti bulir
pasir dalam perjalanan hidupku”. Intinya adalah bagaimana pengelolaan diri kita
dalam menjalani itu, sehingga merasakan setiap proses dan mampu mengambil
setiap hikmah didalamnya itu yang penting.
Namun sebagai hikmah
saat ini, bahwa setiap kita akan tetap berjuang menjalani proses ini karena ini
juga sebagai konsekuensi terhadap pilihan kita dahulu untuk belajar. Selain
itu, kondisi dimana kecemasan, kegalauan, kekhawatiran, berbagai pertimbangan
yang mucul dan situasi emosional lainnya seyogyanya menyiratkan sesuatu yang
positif.
Artinya kita terus
berpikir tentang skripsi dan tesis kita, sehingga kita selalu terpacu untuk
mampu mengerjakannya dan terus berproses untuk berusaha mendapatkannya, ini
mungkin sifat instingtif manusia terhadap sesuatu. Seperti sepasang kekasih
yang terpisah jauh, maka akan senantiasa dihinggapi perasaan cemas, galau,
khawatir dan terus terpikirkan sang kekasih. Sehingga pertemuan dengan kekasih
adalah sebuah keniscayaan untuk mampu mengobati kondisi tersebut.
Karena itu, kami
percaya bahwa selalu ada titik cahaya di kondisi kegelapan sekalipun. Akan
selalu ada pelajaran-pelajaran berharga dari sebuh proses yang didalamnya kita
terjaga dan tersadar.
Surakarta, 31
Juli 2014
Komentar