Langsung ke konten utama

Berlebaran dengan Muslim Thailand



Sumber: disini


Lebaran kali ini cukup berbeda dengan biasanya, momen Idul Fitri sebenarnya menjadi agenda wajib bagi saya untuk pulang kampung ke Baubau berlebaran dengan keluarga. Namun, tahun ini kewajiban itu akhirnya menjadi sunah dengan berbagai pertimbangan. Pertama oleh karena jadwal ujian tesis yang begitu mepet dengan lebaran, kedua karena memang kapal surabaya-baubau seminggu sebelum lebaran sudah tidak ada, ketiga menghemat dalam upaya menyambut wisuda bulan 9 nanti.

Akan tetapi, lebaran kali ini cukup berbeda karena pada akhirnya dijalani dengan saudara-saudara muslim thailand. Mereka adalah bagian dari komunitas muslim thailand selatan yang berkuliah di Solo dan membentuk organisasi tersendiri juga. kebetulan memang saya berteman dengan salah seorangnya, Muhamma Lohmi namanya. Dia sebenarnya adalah teman sekelas saya dalam kuliah di program Magister Administrasi Publik di UNS.


Melalui Lohmi (saya memanggilnya begitu) saya diajak mengenal komunitas mahasiswa muslim Thailand di Solo, yang kebetulan banyak kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sehingga kontrakan mereka disana. Pada saat malam lebaran saya diajak kesana melihat persiapan mereka untuk menyambut idul fitri besok, mereka banyak memasak berbagai makanan khas thailand dengan bahan-bahan khas Indonesia tentunya.

Malam itu kami makan besar, saya cuman dapat memberi kesan “manis” karena memang sebagian besar makanan yang disuguhkan itu manis. Ada yang cukup unik juga malam itu, yakni ketupat versi masyarakat pattani thailand, karena ketupat mereka dibuat dari beras ketan dan berasa manis. Apalagi ketika memakannya ditemani dengan susu kental manis, karena dalam pemahaman saya ketupat dimakan dengan opor ayam. Namun bagi masyarakat muslim thailand dimakan seperti itu, agak aneh tapi ketupat manis pakai susu itu enak juga, saya habis satu ketupat.

Ada lagi makanan yang bisa dibilang “tidak lazim” menurut saya, makanan itu dibuat dari telur dicampur susu terus dipanggang sampai gurih. Kalau di lihat-lihat makanan itu seperti puding susu yang dibuat oleh nenek saya selalu, tapi ini berbeda karena memang bukan puding. Setelah dirasa, manis lagi. Bagaimana tidak telur campur susu saja, kalau dalam masyarakat buton mungkin ini lebih mirip dengan srikaya tapi ini dalam bentuk padatnya, sedangkan srikaya di masyarakat buton lebih berair karena telur dicampur santan dan gula merah.

Praktis, malam ini temanya makan makanan yang manis. Ini wajar saja sebenarnya karena memang suasananya masih puasa juga kan walaupun hari terakhir, karena berbukan disunahkan dengan yang manis-manis bukan?. Aktivitas malam itu ditutup dengan yang manis-manis, perkenalan yang baik menurut saya.

Esoknya, setelah sholat ied saya kembali di undang ke acara makan-makan lagi oleh mereka. karena kebetulan saya sholatnya di halaman kampus dan mereka di stadion manahan solo, maka sempat saya tidak jadi kesana. Namun teman hendra yang orang solo asli, akhirnya menjemput dan kami sama-sama kesana ke asrama mereka di sekitaran wilayah kampus UMS.
Di sana ternyata sudah ada maksud dan adiknya mukhridi dari Uzbekistan dan Jan dari jepang, sesama mahasiswa pascasarjana di UNS juga. mereka juga diajak lohmi ke komunitasnya untuk bersama merayakan idul fitri dan tentunya topik utama adalah makan-makanan khas thailand.

Pada saat itu, makanannya masih cukup familiar di lidah saya yakni salad dan ketupat manis. Untuk ketupat manis bukan hal yang baru lagi, karena semalam saya sudah merasakannya juga kan, namun kali ini makannya pakai salad thailand. Ada yang berbeda dari kebiasaan mahasiswa muslim thailand ini, mereka selalu makan bersama dengan pembagian yang rata dilakukan oleh mereka perempuannya. Jadi, semacam ada kekerabatan yang disisipi dalam keadilan membagi makanan mereka. ini salah satu catatan penting saya kepada mereka.

Setelah menyantap itu, ternyata belum selesai kegiatan makan ini. Para perempuannya sedang menggoreng semacam martabak atau jalankote dibelakang, mereka menamakan ini sambosa asli resep dari thailand juga tapi masih tetap menggunakan produk asli indonesia. Sambosa ini terbuat sayuran dan abon yang dibungkus dengan adonan tepung yang dipipihkan, makanya saya bilang mirip dengan martabak atay jalankote.

Rasanya? Jangan ditanya, enakkkkk.....maklum, selain itu pada saat lebaran di saat toko-toko tutup dan warung makan istrahat itu adalah makanan yang terenak saat ini. Terlepas dari itu, sebenarnya makanan itu memang enak kok. Saya sampai nambah dua kali lagi, heheheh....

Setelah makan makanan itu, kami cerita panjang lebar tentang tradisi berlebaran di negara dan daerah masing-masing yang ternyata cukup berbeda. Namun saya bisa mengambil kesimpulan bahwa, makan salah satu makna idul fitri dan ini berlaku universal adalah nilai kekeluargaan atau silaturahim. Inilah kemudian salah satu kekuatan umat muslim dimanapun itu, silaturahim.

Tidak lama berselang, bawaan manusia yang kenyang adalah ngantuk. Maksud, mukhridi, jan dan hendra pamit pulang. Saya tetap tinggal karena pulangnya akan ikut lohmi dan sumaiyah nanti. Ternyata, masih ada “ronde” selanjutnya yaitu kolak cumi (sebenarnya namanya bukan ini, namun dari ciri-cirinya saya sebut saja itu kokal cumi. Dan praktis mereka tertawa dan mencoba meluruskan asumsi liar saya itu).

Tapi makanan ini akan keluar agak sorean, dan saat itu masih siang sekitar jam 1 siang. Akhirnya, hasrat ngantuk tadi dicoba dicarikan salurannya melalui berbaring. Setelah melaksanakan sholat dhuhur maka kami menidurkan diri sejenak, menunggu sore sekaligus menunggu makan kolak cumi tadi heheh...

Tibalah waktunya memakan kolak cumi tadi, setelah merasakannya memang enak. Perpaduan rasa dari cumi dan manis dari kuahnya serta ketan dalam perut cumi itu, merupakan perpaduan yang unik namun enak. Memakan itu ditemani dengan roti yang dibuat sendiri juga oleh para perempuan disana, ditambah lagi dengan susu dan gula. Praktis tema makanan thailand ini saya sebut manis.

Saya pikir setelah makan ini adalah akhir dari prosesi makan kami, saya membisiki lohmi bahwa hari ini atau lebaran ini berbeda bagi saya. Dimana biasanya kalau di kampung lebaran adalah momen berkeliling dari rumah kerumah, ini sebaliknya yakni berkeliling dari makan kemakan lagi. upaya merekonstruksi asupan perut setelah berpuasa mungkin yaa heheh....

Sholat maghrib, adalah akhir dari prosesi makan itu. Catatan penting pada moment ini adalah kebiasaan mereka yang selalu makan bersama, tidak ada yang makan duluan atau nyusul belakangan karena masing-masing sudah diporsikan secara adil dari perempuannya. Sehingga semua orang dapat makanan. Entahlan, apakah ini memang merupakan bagian dari tradisi mereka atau layaknya kebiasaan mahasiswa rantau yang menunjukkan solidaritas yang cukup tinggi, karena jauh dari daerah. Namun setidaknya, mereka mengajarkan arti silaturahim yang selalu diperbaharui, apalagi mereka adalah komunitas minoritas di negaranya.

Karena itu hal ini menegaskan keyakinan saya bahwa, Islam itu adalah rahmatan lil alamin. Mungkin setiap komunitas, bangsa maupun negara memiliki tradisi yang berbeda oleh karena pemahaman mengenai praktek beragama yang berbeda, namun pada dasarnya bersandar pada hal yang sama yakni salah satunya silaturahim.

Ditambah lagi kemudian sebelum pulang dan istrahat karena hari sudah cukup malam, mereka membuka mata saya terhadap sesuatu yang selalu dilupakan dalam pertemuan-pertemuan atau kumpul-kumpul angkatan sekolah saya dikala moment-moment tertentu, yakni taaruf. Dimana sebelum bubar, mereka memperkenalkan diri satu persatu termasuk saya yang hanya sebagai followers mereka. dari sini saya pahami bahwa, hal ini adalah hal penting dalam ikut terus menjaga keakraban satu sama lain.

Lebaran kali ini memang berbeda, bersama saudara-saudara seiman dari thailand yang di negeri mereka menjadi minoritas memang cukup berkesan. Makanan mereka, keramahan mereka, kebiasaan mereka, dan tentu bahasa mereka yang bisa saya bilang “manis”.

***

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.