Setiap orang di anugerahi oleh yang Maha Kuasa dengan kemampuan untuk
menentukan sesuatu berlaku pada dirinya, bahkan ini dijelaskan dalam ayat-Nya
bahwa tidak berubah nasib suatu kaum jika bukan karena kaum itu sendiri yang
merubahnya. Karena kemampuan ini juga, maka setiap orang akan memiliki
preferensi yang berbeda-beda terhadap sesuatu.
Hari ini, setelah dua hari berjalan-jalan di jogja dan mengunjungi
teman-teman dari Baubau yang juga tidak mudik lebaran. Tiba-tiba saya merasa
ingin menuliskan sesuatu dari perjalanan yang saya lakukan itu, utamanya ketika
berada di kereta api yang membawa saya pulang balik solo-jogja-solo. Apa itu?
Saya menyebutnya disini adalah mengelola pilihan.
Siapapun di dalam menjalani hidupnya sadar atau tidak selalu
diperhadapkan oleh pilihan-pilihan bukan? Bahkan ketika akan menuliskan ini
saya diperhadapkan oleh beberapa pilihan, misalnya saja pakai font, kata dan
model menuliskannya bagaimana. Setiap hal yang kita lakukan bisa jadi adalah
hasil dari proses memilih pilihan itu. Tapi, bagaimana kemudian kita mampu
mengelola pilihan kita itu? Bagaimana kita mensyukuri pilihan kita dan
sekaligus juga menghargai pilihan orang lain?
Sebenarnya, dua pertanyaan diatas memang cukup mudah untuk dijawab namun
apa mungkin akan mudah juga dilaksanakan? Inilah kemudian yang membangun
identitas dari pribadi kita sendiri-sendiri. Kenapa? Alasannya sederhana,
preferensi yang menjadikan pilihan itu memiliki alasan yang berasal dari diri masing-masing
individu. Karenanya, menurut saya pilihan itu akan menjadi identitas kita
terhadap tanggapan oleh sebuah situasi. Termasuk untuk bahagia, sedih, takut,
marah atau perasaan tidak enak terhadap suatu kondisi adalah hasil dari pilihan
yang kita ambil.
Misalnya, sebagai contoh saja jika kita menunjukkan seekor kucing kepada
beberapa orang setiap orang akan memberi respon yang berbeda-beda bukan? Bisa
jadi ada yang tertarik, takut atau bahkan cenderung hati-hati. Padahal jelas
bahwa kondisi yang diberikan sama setiap orang, namun respon yang diberikan
bisa berbeda-beda. Inilah kemudian sebenarnya membangun identitas seseorang,
dimaksud identitas disini adalah pandangan kita terhadap seseorang oleh karena
cara dia menanggapi sesuatu kondisi.
Lalu apa hubungannya dengan perjalanan saya menggunakan kereta api dari
solo-jogja-solo?. Ringkasnya adalah persoalan mengelola pilihan-pilihan kita.
Maksudnya adalah, seringkali kita memilih untuk peduli terhadap kondisi orang
lain, namun pada saat yang sama sebagian orang tidak ikut peduli dengan kondisi
orang lain disekitarnya. Praktis, seringkali kita mengadili sebagian orang itu
dengan “orang yang tidak peka” atau apalah itu menurut kita. Atau muncul
keluhan-keluhan kita kepada sebagian orang tersebut dengan macam-macam
modelnya, kenapa begini kenapa begitu, kenapa mereka begini kenapa begitu.
Dalam perjalanan menggunakan kereta api ini, seperti biasa saya
seringkali memperhatikan tindakan orang-orang didalamnya. Banyak hal yang bisa
kita ambil pelajaran didalamnya, selain mengenai nilai-nilai kehidupan, nilai
sosial, sampai pada persoalan-persoalan publik lainnya. Kondisinya adalah
didalam perjalanan ini yang memang bertepatan dengan hari libur lebaran, maka
wajar jika penumpang kereta api itu cukup banyak. Karena itu, kereta api
apalagi ekonomi dengan tempat duduk sederhana dan terbatas ini, saat itu cukup
sesak dengan penumpang ada yang duduk di kursi, lesehan hingga berdiri (dan
saya termasuk salah satu yang berdiri).
Namanya kereta api, jelas akan berhenti di beberapa stasiun untuk mengangkut
penumpang lainnya. Jelas kondisi penumpang yang sudah cukup sesak saat di
stasiun tugu jogja ditambah beberapa stasiun didepan akan menambah sesak dalam
gerbong kereta. Setiap kali berhenti penumpang akan bertambah, saya yang semula
berdiri didekat pintu mulai terdesak ketengah yang berhadapan langsung dengan
mereka yang duduk dan lesehan, tentu ini cukup mengganggu karena tidak enak
berdiri didepan orang (menurut saya).
Sementara itu, penumpang didekat pintu semakin sesak namun
ditengah-tengah sebenanrnya masih cukup longgar jika orang-orang yang lesehan
itu mau bergeser sedikit untuk memberi ruang. Namun karena posisi mereka
barangkali sudah enakan, makanya tidak mau bergeser. Sebenarnya saya ingin
mencoba meminta ijin orang didepan saya untuk maju sedikit kedepan, karena
penumpang yang berdiri sudah cukup sesak berdesakan di satu tempat. Namun,
begitulah posisi enakan sebagian orang ini menjadikan mereka berat untuk
bergeser.
Sempat kemudian hati ini sedikit mengomel, “apalah mereka ini untuk
peduli sesamanya saja susah, padahal ini momen lebaran juga”...ahh...beginilah
orang-orang kita, pantas saja kita tidak pernah mau tertib dan maju seperti
orang-orang jepang atau sebagainya sana”. Namun, setelah saya pikir memang
sebenarnya saya yang keliru mungkin sangat keliru. Pertama, karena saya menilai
kepedulian mereka dari preferensi saya tentang peduli dengan orang lain.
Padahal bisa jadi, sebenarnya mereka juga meminta untuk dimengerti bahwa
mendapatkan posisinya sekarang itu tidak melalui proses yang mudah juga.
Kedua, saya membandingkan dengan kondisi orang-orang di negara lain.
Padahal saya sendiri hanya melihatnya dari pemberitaan, cerita dari orang lain
atau tulisan-tulisan mengenai itu. Padahal, saya belum sepenuhnya paham proses
seperti apa yang dilalui mereka sehingga mampu berlaku seperti itu. Karena itu,
inilah yang saya sebut sebagai mengelola pilihan-pilihan kita.
Boleh jadi kemudian saat ini saya memilih untuk menjadi orang yang lebih
peka terhadap kesulitan atau keadaan orang-orang disekitar saya, namun bukan
berarti kemudian model pilihan saya atau cara yang saya pilih untuk peduli
terhadap orang lain itu menjadi nilai yang saya akan gunakan untuk melihat
kepedulian orang lain terhadap keadaan orang lainnya.
Sebenarnya ini bukan saja persoalan dengan contoh didalam kereta api
seperti yang saya alami saja, namun pada beberapa hal juga bisa jadi sebuah
pelajaran buat saya untuk mengelola pilihan saya sekaligus mampu menghargai
pilihan orang lain. Misalnya saja, pada pemahaman seseorang atau masalah pintar
atau bodoh. Karena misalnya saya mengetahui soal-soal matematika dengan baik,
lalu saya menilai orang yang tidak mampu untuk itu adalah sebagai orang bodoh.
Memang saya tahu soal-soal matematika tapi tidak untuk soal-soal sejarah.
Akan tetapi orang lain yang saya anggap bodoh itu, boleh jadi banyak tahu
mengenai soal-soal sejarah itu. Inilah kemudian yang saya ingin maksudkan
disini dan sebagai pembelajaran bagi diri pribadi saya juga, bahwa apa yang
menjadi preferensi atau pengetahuan yang kita miliki bukan berarti akan menjadi
penilaian (judgement) kita terhadap
pengetahuan orang lain. Karena tiap-tiap orang memiliki kemampuan masing-masing
tergantung pilihan-pilihan yang dijalaninya.
Inilah kemudian yang saya maksudkan untuk dituliskan sebagai pembelajaran
hari ini. Karena bukan berarti kita tahu sesuatu hal atau menunjukkan
kepedulian terhadap sesuatu kondisi, lalu orang lain kita nilai orang yang
bodoh atau tidak peduli. Sebelum kemudian kita mampu memastikan alasan-alasan
orang-orang itu melakukannya. Intinya, kondisi dalam kereta api tersebut
memberikan pelajaran bahwa hendaknya saya mampu mengelola pilihan saya
sekaligus menghargai pilihan orang lain.
Komentar