Gambar disini |
Hari-harinya dilakukan
dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut,
kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak
manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni
sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’[1]
mereka.
Salah seorang dari
mereka bertanya “Ya Tuhan, inikah sebuah pilihan? Pilihan yang ditujukan untuk
sebuah masa depan untuk kami? Pengorbanan yang dilakukan Ina kami sebagai
bentuk kasih sayang, kasih sayang yang memisahkan kami denganya?”.
Alam selalu memberikan
jawaban dengan nyanyian deburan ombak, sebuah pengharapan yang berbalas
kemudahan. Pengaharapan untuk bertemu dengan Ina yang dibalas dengan bentuk
kemudahan dalam hidup. “Apakah ini setimpal, ya Tuhan?”, sekalipun alam-MU
selalu memberi kemudahan bagi kami, namun sebuah pertemuan pada jiwa-jiwa yang
merindu lebih diharapkan ketimbang apapun”.
***
Terlintas pertemuan
terakhir,
“bagaimana mungkin Ina,
memutuskan semua ini?”
“Dalam hidup kita
berdiri dengan dua kaki kehidupan, pilihan dan tanggung jawab, Nak!. Ini adalah
pilihan Ina’, sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab Ina kepada kalian,
anak-anakku!”.
“Ina’!, apakah tidak
ada pilihan lain?”
“Pilihan lain akan
tetap ada, anakku!. Namun bagi kita, pilihan lain akan melahirkan tanggungan
resiko yang lain, dan Ina’ lebih memilih tanggungan resiko yang ini ketimbang
resiko yang akan melibatkan kalian. Loluku
siy, apotiburimo, kurango tangina andimu si amanikana kande ikane, maka
rampakana kamisikini siy[2]?
tidak ada yang bisa dilakukan. Pilihan harus diambil, nak! Tangisan tidak
bisa menjanjikan apapun selain kesedihan, kita harus berjuang, anakku! Pilihan ini
adalah jalan usaha untuk itu.”
“tapi, kita masih
kecil-kecil, Ina? Adikku masih menyusu padamu, kami masih tergantung padamu,
pada keberadaanmu disisi kami, Mana mungkin kami bisa hidup tanpamu?”
“yakinlah pada Tuhan
yang mencipta alam ini, Anakku!. Alam tidak akan meninggalkan sesiapun yang dia
kehendaki sepanjang kita tetap menjaganya dan melestarikannya, bersinergi
dengannya. Alam selalu mencipta rangkaian suara yang kadang kita tidak
mengerti, kelak gunakan sisi alam tersebut untuk kita berkomunikasi.
Bernyanyilah seperti apa yang dicontohkan alam, dan kita akan bertemu anakku!”.
“lalu, bagaimana saya
tahu waktu yang tepat untuk mengikuti rangkaian suara alam itu, Ina?”
“kau tahu anakku, bahwa
malam selalu menyembunyikan misteri tentang fajar? Seperti itulah keadaan ini,
rahasia. Maka ikutilah irama alam pada saat malam, dan biarkan kita punya waktu
hingga sebelum sang fajar akan menjawab keadaan yang ada. Kalian akan tetap
dalam penjagaanku hingga Ina’ merasa kalian siap menentukan jalan hidup
sendiri, mandiri.”
***
Hingga akhirnya sebuah
kepastian terjawab dari pilihan yang diambil, tidak ada sesuatupun yang mampu
membentuk masa depan yang lain dari hari ini selain kemampuan diri memilih
pilihan hidup dan bertanggungjawab atasnya.
Tepian laut senantiasa
memberi jawaban kepada bocah-bocah yang hidup dan menuliskan cita-citanya
diatas pengharapan yang akan diantarkan oleh laut, yang kemudian akan diberi
dukungan oleh semesta dalam pencapaiannya.
Sebuah kehidupan tepi
yang dijalani bocah-bocah pantai, namun tak pernah mencoba menepikan mimpinya
untuk selalu mengarung dan menjelajah luasnya alam. Tiap-tiap pengorbanan akan
melahirkan konsekuensi, tiap-tiap pilihan melahirkan tanggungjawab, setiap yang
memeras akan menemukan saripati.
Kehidupan bocah tepi
pantai senantiasa menggambar sebuah pengharapan akan hidup, berjejal diatas
batu-batu cadas tepi laut sebagai lambang kekokohan. Mereka selalu berdiri
mengahadap laut dan menggambar masa depan, bahwa dititik sana kelak akan ada
sebuah titik pencapaian dari apa yang mereka usahakan hari ini.
Sejak perpisahan, tiap
malam-malam di pantai akan selalu ada irama alam yang mengiring jejak pertemuan
terhadap wujud pengorbanan Ina’ mereka yang menyatu dengan laut. Akan selalu ada
jiwa-jiwa perindu yang bertemu dengan indahnya malam hingga cerianya fajar.
Membekas pada guratan-guratan harapan yang disebabkan oleh sebuah pengorbanan
kasih sayang seorang Ina’.
***
Berdirilah dikau para
pencari cerita, menuju tepi laut. Dengarkanlah irama alam yang akan menyatu
dengan irama pengharapan diatas pengorbanan seorang Ina’ dan dengarkanlah ;
mai rangoa,
tula-tulana, wa ndiu-ndiu, mai rangoa oo tula-tulana, wa ndiu-ndiu
(mari
dengarkan sebuah cerita, wa ndiu-ndiu[3],
mari dengarkan sebuah cerita, wa ndiu-ndiu)
andiku siy
amaniaka kande ikane, rampakana kamisikini, wa ndiu-ndiu, apotiburimu o loluna,
wa ndiu-ndiu
(adikku
ini meminta makan ikan, tapi karena kemiskinan ini, wa ndiu-ndiu, meneteskan
air matanya, wa ndiu-ndiu)
wa ina, wa ndiu-ndiu,
mai pasusu andiku, andiku lambata-mbata, akaku laturungkoloe
(Oh
Ibu, wa ndiu-ndiu, mari susukan adikku, adikku lambata-mbata, kakakku
laturungkoleo)
sabangkalana
fajara a lingkamo, wa ndiu-ndiu, lausaka pongano yi andala,
(selepas
fajar dia pergi, wandiu-ndiu, langsung menyelam dikedalam)
wa ndiu-ndiu, apembalimo
o sarona o ikane, isarongiaka mo o wa ina, wa ndiu-ndiu
(wa
ndiu-ndiu, menjadi nama sejenis ikan, Ibu dinamakan, wa ndiu-ndiu)
wa ina, wa
ndiu-ndiu. mai pasusu andiku, andiku lambata-mbata, akaku laturungkoloe, sabangkalana
fajara alingkamo, wa ndiu-ndiu, lausaka pongano yi andala
(Oh
Ibu, wa ndiu-ndiu, mari susukan adikku, adikku lambata-mbata, kakakku
laturungkoleo)
wa ndiu-ndiu, apemambelimo
o sarona o ikane, isarongiaka mo o wa ina, wa ndiu-ndiu, mai rangoa, o
tula-tulana, wa ndiu-ndiu
(wa
ndiu-ndiu, menjadi nama sejenis ikan, Ibu dinamakan, wa ndiu-ndiu)
(surakarta, 15
april 2013, 0.16 wib)
[ tulisan ini
dilatar belakangi oleh sebuah lagu daerah berjudul Wa ndiu-ndiu, namun wa ndiu-ndiu
ini adalah juga sebuah cerita dongeng masyarakat buton sulawesi tenggara]
Komentar