Ada sebuah pepatah
mengatakan “yang banyak itu belum tentu baik dan yang sedikit itu belum tentu
benar”. Istilah mayoritas alias terbanyak dalam sistem demokrasi hari ini,
selalu saja menjadi representasi atas klaim “yang benar” ini tidak bisa
dipungkiri kan?. namun, merujuk pada kata pepatah diatas untuk konteks
demokrasi, bisa memiliki korelasi yang kuat untuk menilai siapa yang benar,
tapi bisa jadi berbeda jika dalam ranah lainnya.
Manusia diciptakan
berbeda-beda, dan dalam kita suci Al Quran pun diberikan penjelasan bahwa
manusia itu diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku, laki-laki dan perempuan
untuk saling mengenal, bukannya saling menilai siapa benar siapa salah, siapa
yang berhak di bumi ini dan siapa yang tidak, kita diseru untuk mengenal dan
mengambil pelajaran disitu. Namun jika itu membahayakan akidah agama kita,
wajib hukumnya untuk dilawan, dilawan disini adalah bukan “menyerang” tapi
untuk membela dan mempertahankan seperti yang Rasulullah Saw ajarkan.
Agama Islam hadir untuk
memberi Rahmatan Lil Alamin bagi
dunia dan manusia didalamnya, dalam Agama Islam pun derajat seseorang itu bukan
diukur seberapa banyak orang tersebut memiliki harta benda tapi tingkat
ketaqwaannya yang ditunjukkan dalam akhlaq kesehariannya terhadap sesama
manusia. Kaitannya disini adalah, Islam menjadi mayoritas bukan berarti
melakukan represi terhadap minoritas disekitarnya.
Contoh misalnya
bagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw dengan piagam madinahnya, Kemuliaan
Umar bin Khattab ketika menaklukkan Jerusalem, Muhammad Al Fatih penakluk
Kontantinopel, yang sekalipun posisinya mayoritas tapi tidak serta merta
menghancurkan kelompok minoritas selama mereka mau mengikuti apa yang menjadi
kesepakatan pemimpinnya. Menjadi mayoritas kitapun mesti arif, bukan
semena-mena.
Membaca sebuah
postingan untuk memberikan dukungan terhadap kelompok minoritas di sebuah
negara, yang saat ini mendapat tindakan represi terhadap kelompok yang menjadi
mayoritas di negara tersebut menimbulkan sedikit kecemasan (heheh). Saya
sendiri sepakat dengan peryataan dukungan ini, namun agak sedikit menggelitik
kirannya ada ketika realitas dinegara kita sendiri (dekat kita) yang menjadi
minoritas itu tidak diperhatikan oleh kita, dan tanpa sengaja (atau terbiarkan)
oleh kita mendapat ketidakadilan.
Maksudnya begini, kita
cenderung menunjukkan sensitifitas (bisa berlebihan juga) terhadap kelompok
yang sama
dengan kita di negara lain dan cukup jauh dari realitas kehidupan kita
sehari-hari, ketimbang sensitif terhadap kelompok minoritas yang berada di
negara atau yang ada disekitar kita.
Sadarkah kita dengan
kondisi mereka yang minoritas disekitar kita hari ini? terepresikah mereka
dengan keadaan ini? pernahkan kita bertanya dalam hati seperti itu? sebelum
kita dengan semangat-semangatnya berkoar untuk melaknat kelompok mayoritas di
negara lain yang melakukan tindakan represi terhadap minoritas? Atau kita tidak
ada bedanya dengan mereka yang mayoritas disana? Maka berhak-kah mereka juga
melaknat kita?
Herannya begini, ketika
kita menjadi mayoritas di suatu tempat kita tidak pernah menyadari atau memberi
perhatian terhadap kelompok minoritas disekitar kita, dan sebaliknya ketika ada
kelompok minoritas yang memiliki kepercayaan yang sama dengan kita di negara
lain mendapat tindakan represif oleh kelompok mayoritas, kita sangat-sangat
sensitif dan terkadang memunculkan umpatan-umpatan bahkan melaknat mereka
disana.
Kita menuntut keadilan
buat mereka yang kepercayaanya sama dengan kita disana, atas tindakan kelompok
mayoritas disana. Tapi kita tidak pernah sadar bahwa keadilan tanpa kesetaraan
sama saja EGOIS. Kenapa? Karena jika kita menginginkan mereka yang minoritas
disana diperlakukan sebagaimana mestinya,
maka kita juga mesti memperlakukan kelompok yang minoritas disekitar kita
seperti sebagaimana mestinya. Ada
sebuah dimensi nilai yang mesti dipenuhi disini.
Ilustrasi sederhananya
begini, ketika kita menghargai orang lain maka kita juga akan dihargai oleh
orang lain, itu adil. Namun apakah mengandung kesetaraan? Belum tentu.
Masalahnya adalah, seperti apa kita
menghargai orang lain?, disitulah nilai kesetaraan tersebut. Contohnya, jika
kita menginginkan orang lain menghargai kita seperti kita menghargai diri
sendiri, maka kita mesti menghargai orang lain seperti kita menghargai diri
kita sendiri. Ini menurut saya baru setara. Bingung?
Kalau begitu, silahkan
pahami Hadist Nabi Saw “Tidak akan beriman seorang muslim sebelum dia mencintai
orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. Disini Rasulullan
memperlihatkan bentuk keberimanan dalam perilaku Adil dan Setara tersebut.
Bagaimana?
Terakhir, tidak salah
memang ketika kita ikut peduli dengan saudara kelompok yang sama dengan kita di
negeri sana. Namun kita juga perlu arif memandang kelompok minoritas di negeri
kita, bisa jadi mereka secara tidak sadar mendapatkan perilaku yang tidak
semestinya. Karena jika kita sendiri lalai menghargai kelompok yang minoritas
disekitar kita, lalu apa bedanya kita dengan mereka yang mayoritas dan sukanya
menindas minoritas disana? Kita hanya berbeda dalam jubah namun sama dalam
kelakuan. Naudzubillah....
Surakarta, 04 April
2013.
Komentar