Langsung ke konten utama

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini
Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya.

Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’[1] mereka.

Salah seorang dari mereka bertanya “Ya Tuhan, inikah sebuah pilihan? Pilihan yang ditujukan untuk sebuah masa depan untuk kami? Pengorbanan yang dilakukan Ina kami sebagai bentuk kasih sayang, kasih sayang yang memisahkan kami denganya?”.

Alam selalu memberikan jawaban dengan nyanyian deburan ombak, sebuah pengharapan yang berbalas kemudahan. Pengaharapan untuk bertemu dengan Ina yang dibalas dengan bentuk kemudahan dalam hidup. “Apakah ini setimpal, ya Tuhan?”, sekalipun alam-MU selalu memberi kemudahan bagi kami, namun sebuah pertemuan pada jiwa-jiwa yang merindu lebih diharapkan ketimbang apapun”.

***

Terlintas pertemuan terakhir,
“bagaimana mungkin Ina, memutuskan semua ini?”

“Dalam hidup kita berdiri dengan dua kaki kehidupan, pilihan dan tanggung jawab, Nak!. Ini adalah pilihan Ina’, sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab Ina kepada kalian, anak-anakku!”.

“Ina’!, apakah tidak ada pilihan lain?”

“Pilihan lain akan tetap ada, anakku!. Namun bagi kita, pilihan lain akan melahirkan tanggungan resiko yang lain, dan Ina’ lebih memilih tanggungan resiko yang ini ketimbang resiko yang akan melibatkan kalian. Loluku siy, apotiburimo, kurango tangina andimu si amanikana kande ikane, maka rampakana kamisikini siy[2]? tidak ada yang bisa dilakukan. Pilihan harus diambil, nak! Tangisan tidak bisa menjanjikan apapun selain kesedihan,  kita harus berjuang, anakku! Pilihan ini adalah jalan usaha untuk itu.”

“tapi, kita masih kecil-kecil, Ina? Adikku masih menyusu padamu, kami masih tergantung padamu, pada keberadaanmu disisi kami, Mana mungkin kami bisa hidup tanpamu?”

“yakinlah pada Tuhan yang mencipta alam ini, Anakku!. Alam tidak akan meninggalkan sesiapun yang dia kehendaki sepanjang kita tetap menjaganya dan melestarikannya, bersinergi dengannya. Alam selalu mencipta rangkaian suara yang kadang kita tidak mengerti, kelak gunakan sisi alam tersebut untuk kita berkomunikasi. Bernyanyilah seperti apa yang dicontohkan alam, dan kita akan bertemu anakku!”.

“lalu, bagaimana saya tahu waktu yang tepat untuk mengikuti rangkaian suara alam itu, Ina?”

“kau tahu anakku, bahwa malam selalu menyembunyikan misteri tentang fajar? Seperti itulah keadaan ini, rahasia. Maka ikutilah irama alam pada saat malam, dan biarkan kita punya waktu hingga sebelum sang fajar akan menjawab keadaan yang ada. Kalian akan tetap dalam penjagaanku hingga Ina’ merasa kalian siap menentukan jalan hidup sendiri, mandiri.”

***

Hingga akhirnya sebuah kepastian terjawab dari pilihan yang diambil, tidak ada sesuatupun yang mampu membentuk masa depan yang lain dari hari ini selain kemampuan diri memilih pilihan hidup dan bertanggungjawab atasnya.

Tepian laut senantiasa memberi jawaban kepada bocah-bocah yang hidup dan menuliskan cita-citanya diatas pengharapan yang akan diantarkan oleh laut, yang kemudian akan diberi dukungan oleh semesta dalam pencapaiannya.

Sebuah kehidupan tepi yang dijalani bocah-bocah pantai, namun tak pernah mencoba menepikan mimpinya untuk selalu mengarung dan menjelajah luasnya alam. Tiap-tiap pengorbanan akan melahirkan konsekuensi, tiap-tiap pilihan melahirkan tanggungjawab, setiap yang memeras akan menemukan saripati.

Kehidupan bocah tepi pantai senantiasa menggambar sebuah pengharapan akan hidup, berjejal diatas batu-batu cadas tepi laut sebagai lambang kekokohan. Mereka selalu berdiri mengahadap laut dan menggambar masa depan, bahwa dititik sana kelak akan ada sebuah titik pencapaian dari apa yang mereka usahakan hari ini.

Sejak perpisahan, tiap malam-malam di pantai akan selalu ada irama alam yang mengiring jejak pertemuan terhadap wujud pengorbanan Ina’ mereka yang menyatu dengan laut. Akan selalu ada jiwa-jiwa perindu yang bertemu dengan indahnya malam hingga cerianya fajar. Membekas pada guratan-guratan harapan yang disebabkan oleh sebuah pengorbanan kasih sayang seorang Ina’.

***

Berdirilah dikau para pencari cerita, menuju tepi laut. Dengarkanlah irama alam yang akan menyatu dengan irama pengharapan diatas pengorbanan seorang Ina’ dan dengarkanlah ;


mai rangoa, tula-tulana, wa ndiu-ndiu, mai rangoa oo tula-tulana, wa ndiu-ndiu
(mari dengarkan sebuah cerita, wa ndiu-ndiu[3], mari dengarkan sebuah cerita, wa ndiu-ndiu)

andiku siy amaniaka kande ikane, rampakana kamisikini, wa ndiu-ndiu, apotiburimu o loluna, wa ndiu-ndiu
(adikku ini meminta makan ikan, tapi karena kemiskinan ini, wa ndiu-ndiu, meneteskan air matanya, wa ndiu-ndiu)

wa ina, wa ndiu-ndiu, mai pasusu andiku, andiku lambata-mbata, akaku laturungkoloe
(Oh Ibu, wa ndiu-ndiu, mari susukan adikku, adikku lambata-mbata, kakakku laturungkoleo)

sabangkalana fajara a lingkamo, wa ndiu-ndiu, lausaka pongano yi andala,
(selepas fajar dia pergi, wandiu-ndiu, langsung menyelam dikedalam)

wa ndiu-ndiu, apembalimo o sarona o ikane, isarongiaka mo o wa ina, wa ndiu-ndiu
(wa ndiu-ndiu, menjadi nama sejenis ikan, Ibu dinamakan, wa ndiu-ndiu)

wa ina, wa ndiu-ndiu. mai pasusu andiku, andiku lambata-mbata, akaku laturungkoloe, sabangkalana fajara alingkamo, wa ndiu-ndiu, lausaka pongano yi andala
(Oh Ibu, wa ndiu-ndiu, mari susukan adikku, adikku lambata-mbata, kakakku laturungkoleo)

wa ndiu-ndiu, apemambelimo o sarona o ikane, isarongiaka mo o wa ina, wa ndiu-ndiu, mai rangoa, o tula-tulana, wa ndiu-ndiu
(wa ndiu-ndiu, menjadi nama sejenis ikan, Ibu dinamakan, wa ndiu-ndiu)



(surakarta, 15 april 2013, 0.16 wib)
[ tulisan ini dilatar belakangi oleh sebuah lagu daerah berjudul Wa ndiu-ndiu, namun wa ndiu-ndiu ini adalah juga sebuah cerita dongeng masyarakat buton sulawesi tenggara]



[1] Ina (bahasa daerah Buton, sulawesi tenggara) yang berarti ibu atau mama.
[2] Air mataku berjatuhan, mendengar tangisan adikmu yang meminta makan ikan, namun karena kemiskinan ini?
[3] Dalam bahasa buton istilah wandiu-ndiu diistilahkan sebagai ikan duyung

Komentar

duniasketsa mengatakan…
berfilosofi melalui cerita :D
Sastra Indonesia 2012 mengatakan…
boleh kirim dalam bentuk teks bahasa daerah Buton Tomianya tidak?
Sastra Indonesia 2012 mengatakan…
boleh kirim dalam bentuk bahasa daerah Buton (Tomianya) tidak?

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).