Langsung ke konten utama

Menjadi Petarung



Pernahkah kita merasakan adanya pergolakan dalam diri, antara yang hitam dan putih, yang seharusnya dan yang seadanya, yang baik dan buruk, antara keinginan dan kebutuhan? Seperti yang dikatakan oleh para ahli, bahwa masalah berasal dari adanya jurang pemisah antara “seharusnya” dan “seadanya”.

Dalam istilah psikologi, dikatakan adanya pertentangan jiwa lebih banyak disebabkan oleh alam bawa sadar kita, sebagai upaya mempertahankan diri (self defense). Kita lalu mengenal adanya id, ego dan super ego sebagai penuntun dalam jiwa, sedangkan dalam psikologi islam dikenal dengan strata jiwa yakni nafs lawwamah dan nafs al mutmainnah.

Berdasar hal itu yang menjadi pertarungan antara kebaikan dan keburukan dalam diri, yang kesemuanya tentu menginginkan kebaikan atas diri. Dari itu juga, kemudian menggambarkan ada sisi jiwa yang memiliki sumber kebaikan, sekalipun tingkah laku menunjukkan hal yang berbeda karena, ego!

Ego yang melahirkan adanya kesombongan, seringkali mengingkari kearifan dalam hidup dan membawa kita pada mempertentangkan sesuatu yang sebenarnya baik namun untuk diri menjadi tidak baik, menutup celah pada sangkaan jelek pada diri dengan mengalihkan pada sesuatu yang lain, atau bahkan membawa pihak lain untuk dipersalahkan.

Kita menjadi manusia yang melawan kehendak diri pada kebaikan, melawan terhadap kecenderungan jiwa sendiri. Menjadi musuh bagi diri sendiri secara tidak sadar dan membangun cermin permusuhan yang akan memantulkan perlawanan terhadap siapa saja.

Kekeringan jiwa yang kini termanifestasi dalam tingkah laku, bersebut moral menyangkut etika yang tereduksi pada sudut jiwa dan membangun tembok pertahanan diri pada kesalahan-kesalah sendiri. Tembok yang senantiasa melawan setiap hal yang menyudutkan diri sebagai “yang bersalah”, penyangkalan, pembelaan diri, menuduh pihak lain adalah bentuk pertahanan diri masif yang dilakukan, padahal kesadaran akan rasa bersalah itu ada, tersembunyi dalam diri atau disembunyikan?.

Jangan heran dengan sejumlah manufer “pembenaran” yang dilakukan seseorang yang dinyatakan bersalah, bahkan dinyatakan oleh situasi tertangkap tangan melakukan sesuatu yang tidak semestinya, korupsi. Berbagai mekanisme alasan, pembenaran, pembelokan situasi, pengaburan saksi bahkan mencari “kawan” pesakitan lainnya biasa dilakukan.

Pengakuan atas kesalahan yang terlihat dan tersaksikan oleh khalayak, masih saja dilakukan penyangkalan terhadapnya. Jeleknya lagi adalah pihak-pihak yang dinyatakan ahli dalam memutuskan mana yang benar dan bebal, dengan bangga tampil menjadi “ksatria” pembela kebebalan dengan sejumlah rejeki sebagai timbal baliknya. Bahkan ada hakim yang memberikan tanganya dengan sesuatu yang tidak semestinya, yang nantinya tangan itu juga akan digunakan membuka sejumlah kitab yang menuliskan tentang kebaikan dan keadilan di pengadilan nantinya.

Nafsu kemudian menjadi penuntun kita dalam melangkah, sepanjang asupan untuk nafsu terpenuhi maka disitulah letak kebaikan dalam hidup kita. Menjadi sosok makhluk yang melupakan esensinya menjadi konsekuensi hal itu, lupa pada Sang Khalik dan sebaliknya menuhankan nafsu-nafsu yang membawa kebebalan dalam hidup. Rasulullah Saw, memperingatkan umatnya bahwa pertarungan paling berat adalah pertarungan melawan hawa nafsu. Tidak banyak yang kemudian mampu pada titik ini, memanifestasikan kebaikan diatas permintan nafsu yang membelenggu.

Menjadi petarung sejati selayaknya Rasulullah Saw. dalam mengarungi kehidupan memang tidak mudah, tapi upaya mendekati pada proses itu sudahlah cukup. Pernah beliau Rasulullah Saw. mengatakan “jika sekiranya Fatimah mencuri, maka akan aku memotong tangannya”, pertarungan antara yang seharusnya dan seadanya dalam diri beliau menafikan kasih sayangnya terhadap putri tercintanya diatas kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT.

Mampukah kita menjadi petarung, melawan egoisme diri sendiri diatas kebaikan bersama. Melawan pembelaan diri terhadap kesalahan yang dibuat, menjadi agen pembenar atas kesalahan sendiri dan memohon maaf atas segalanya serta berani menanggung akibat sisanya?. Silahkan tanyakan pada diri sendiri, sebagaimana kita mempertanyakan kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri.

Petarung akan menyampaikan sebuah kejujuran diatas kebohongan, sekalipun kita akan kalah dengan pertarungannya tersebut, setidaknya kita memenangkan sebuah kejujuran yang tersampaikan. Bukankah kebenaran akan menjelaskan dirinya sendiri? Maka biarkan kejujuran menjadi penuntun jalan bagi sebuah kebenaran.

Setidaknya, tindakan yang kita lakukan walaupun tidak mampu menciptakan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang semestinya berlaku, namun dengan tindakan tersebut mampu memberikan kebebasan bagi sebuah penciptaan nilai kebenaran baru. Siapkah kita menjadi petarung???..

(Surakarta, 14 April 2013)

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.