Fotonya cuman ilusrasi, diambil www.shnews.co |
Seperti biasa,
perkuliahan jam kedua pada hari sabtu akan diisi oleh dosen ini. Perawakannya
kecil namun proporsional antara berat badan dan tinggi, rambutnya sebagian
besar telah memutih. Gayanya khas, cara menyampaikan kuliah juga, apalagi
kebiasaanya dengan menyelipkan candaan dalam perkataannya. Keahliannya mengenai
kemiskinan dan hari itu mata kuliahnya adalah Penanggulangan Kemiskinan dan
Pemberdayaan Masyarakat. Dosen yang bergelar P.hD dari Malaysia itu bernama
Yulius Slamet.
Hari itu pembahasan
kuliah mengenai Indikator kemiskinan, kemudian membahas mengenai deprivation sumber daya yang dialami
oleh masyarakat miskin atau yang termiskinkan dalam struktur negara. Terus juga
bagaimana negara mengkonstruk kemiskinan ini sebagai sebuah pencapaian
pembangunan negara, dengan mengolah sedemikian rupa data kemiskinan di BPS
sesuai dengan hitung-hitungan angka kecukupan kebutuhan dasar. Apa kebutuhan dasar masing-masing masyarakat
miskin itu bisa sama?
Entahlah, tapi ada yang
menarik dari bahasan beliau mengenai indikator kemiskinan tersebut. Dengan
mengambil contoh bahwa miskin itu diukur dari kondisi rumah, rumah kayu, atap
genteng, rumah tanpa plester, rumah dengan lantai tanah, hingga kepemilikan kamar
mandi (biasanya kamar mandi dan wc itu berbeda, namun kasus di Indonesia kita
mengenal Kamar Mandi itu sebagai tempat Mandi, Cuci dan Kakus).
Ini yang menarik,
kepemilikan kamar mandi untuk mandi, cuci dan kakus. Dan penggunaan kakus
disini menjadi contoh, bahwa masyarakat miskin itu lebih nyaman menggunakan
kakus terpanjang dan terbesar di dunia ketimbang kakus yang tertutup dengan
ukuran 1,5 x 2 meter seperti standar saat ini. wow...didunia? ya..kakus yang
dimaksud adalah sepanjang bantaran sungai, dimana aktivitas kakus masyarakat
dilakukan disitu.
Alasannya bermacam-macam
tentunya, ketika diperhadapkan dengan fasilitas kamar mandi umum untuk
melaksanakan kegiatan buang hajat. Dari perilaku yang diamati, bahwa ternyata
kebiasaan itu sudah menjadi semacam kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan,
dimana pada saat duduk “nongkrong” di kakus terpanjang tersebut mereka lebih
nyaman, karena bisa ngobrol dengan kawan dan biasanya lebih mudah “keluarnya”
jika dilakukan disitu, nah lhooo.....
Tapi menurut saya, itu
tidak bisa sepenuhnya dijadikan sebagai indikator kemiskinan masyarakat.
maklum, mereka merasa nyaman dengan hal tersebut walau tidak sehat secara ilmu
kedokteran dan sejumlah ilmu kesehatan lainnya. namun itu bisa jadi sumber “ketahanan”
masyarakat kala itu hahahah...bukankah salah satu indikator pengentasan
kemiskinan adalah mengusahakan ketahanan masyarakat?
Lalu, kenapa saya ingin
menuliskan ini? ketika mendiskusikan masalah kasus itu, saya jadi teringat
beberapa tahun lalu, ketika masih kecil sekitar seumuran 6-7 tahun. Kala itu
saya tinggal di rumah nenek, terletak di desa tomba saat itu masih berbentuk
Kota Administratif Baubau di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kebetulan berjarak 100
meter dibelakang rumah nenek terdapat sungai yang masyarakat disitu menyebutnya
Tanggul. Karena sepanjang sungai tersebut dibuat tanggul penahan air sungai
yang kadang meluap jika hujan berlebih.
Ketika bermain disana,
karena arena permainan kami disana memang. Orang tua selalu mewanti-wanti saya
untuk tidak mandi-mandi (di tempat saya,
mandi-mandi itu dimaksudkan adalah berenang) di Tanggul. Alasannya tidak
pernah dibilang sih, jadi kadang secara sembunyi-sembunyi saya dan teman-teman
tetap mandi-mandi juga disitu (Maaf..mama). nah, ketika kuliah yang sudah
diceritakan diatas, maka saya baru teringat alasan Kenapa Jangan Mandi-Mandi di Tanggul..?
Begini ilustrasinya,
kenapa kemudian dilarang mandi-mandi di tanggul. Seperti yang disebutkan diatas
dalam kuliah, bahwa ada kakus terpanjang dan terbesar di dunia pada sepanjang
sungai. Dan kondisi yang sama ditemukan disini, tanggul sungai di tempat saya
adalah boleh dibilang kakus yang dimaksud. Walaupun kadang terlihat semacam
tempat yang dibuat oleh pemerintah untuk kakus, yakni ditempat saya disebut
pondok-podok tepi sungai, ukurannya tidak besar cukup buat satu orang, dan
tingginya disesuaikan dengan permukaan tanggul dan permukaan sungai. Dan
biasanya dibawahnya banyak bertebaran “sesuatu” dan disitu juga banyak
ikan-ikan pemakan “sesuatu” tersebut, yang kami sebut ikan bere’-bere’.
Aktivitas itu kebanyakan
dilakukan pada saat malam, karena sunyi dan gelap tentunya. Jadi, ketika pagi
hari menyempatkan diri berjalan-jalan disepanjang tanggul, akan ditemui
“sesuatu” dengan berbagai bentuk, cair atau padat, berwarna gelap atau cerah,
memanjang atau terpotong-potong (maaf, tidak usah membayangkan yaa..). namun
itu, bagi sebagian masyarakat disitu adalah pemandangan biasa-biasa saja.
Hmmm....
Seperti itulah kondisi
pada saat itu, dan saat ini menyadarkan saya kenapa tidak boleh mandi-mandi
disitu. Tahu sendiri kan? kalau tidak mau berpapasan dengan “ranjau organik”
tersebut, maka sebaiknya menghindari mandi-mandi disitu. Sebagai penjelasan
dari mandi-mandi sembunyi-sembunyi tadi, untungnya masih jauh dari ancaman
“ranjau organik” tadi. Hehehehe.....
Namun saat ini kondisi
tanggul tersebut, telah berubah 360 derajat malah. Kan tadi pada saat saya
berumur 6-7 tahun, dan itu sudah sekitar 19 tahun yang lalu (pasti banyak
berubah kan??). saat ini, kondisi tanggul itu sudah cantik dengan renovasi
disana-sini dan kesadaran masyarakat untuk memiliki kamar mandi sendiri dirumah
masing-masing. Disamping itu, saat ini lokasi sepanjang tanggul itu juga
dijadikan salah satu objek wisata oleh pemerintah kota Baubau.
Semacam wisata menyusuri
sungai Baubau dimana akan ditemukan 3 buah jembatan hingga akhirnya bermuara di
Kota Mara, bisa disebut wisata ala kota Venesia Spanyol (promosi hehe...).
namun pemanfaatan lokasi ini oleh masyarakat sebagai bagian dari geliat ekonomi
pariwisata masih kurang, jadi Wisata ala Kota Venesianya bisa dilakukan dengan
peralatan yang masih sedikit minim atau menggunakan koli-koli (secara umum
dikenal sampan). Jadi, Jangan Mandi-Mandi di Tanggul yaaa??? Itu dulu...
Surakarta,
25 April 2013
Komentar