Beberapa waktu lalu kita
merayakan namanya hari kartini, perayaan secara nasional. Dimana hari ini
dipersembahkan untuk merayakan sosok perempuan yang dijadikan sebagai tokoh
emansipasi bagi perempuan Indonesia. yang mana beliau dikenal sebagai pemikir
perempuan Indonesia berkat serangkain surat-suratnya dengan temannya di Belanda
yang kemudian termanifestasi kedalam sebuah buku, dan saat ini judul buku
tersebut selalu menjadi kata yang bersanding dengan nama besarnya Habis Gelap Terbitlah Terang.
Disisi lain, sebagian
orang meragukan ketokohan beliau apalagi sampai diberikan hari khusus sebagai
perayaan untuk nama beliau. Hanya karena tulisan melalui surat-surat beliau
kemudian dijadikan tokoh emansipasi perempuan Indonesia? lalu bagaimana dengan
serangkaian nama-nama perempuan lainnya yang berani bertaruh nyawa demi membela
bangsa dari penjajahan? Alangkah lucu, ketika hanya sebuah surat
dipersandingkan dengan sebuah perjuangan berdarah-darah?
Ketika kita kemudian
merayakan hari tersebut pada tanggal 21 April, secara tidak langsung kita
ikut-ikutan meninggalkan para pahlawan perempuan bangsa. Atau kemudian kita
menempatkan diri pada posisi mendukung bahwa, semestinya bukan kartini yang
dibuatkan hari khusus untuk merayakan sebuah hari yang disimbolkan sebagai hari
emansipasi bagi perempuan Indonesia. pilihan berada pada pemahaman masing-masing
kita...
Bahkan ada yang
mengatakan bahwa, pemilihan kartini dengan surat-suratnya sebagai simbol
emansipasi perempuan Indonesia itu keliru besar. Karena memang pilihan hari
kartini berdasar pada pendapat negeri yang pernah menjajah kita, lalu kita
harus mengikuti pendapat mereka?. Bahkan ada dengan alasan untuk mengaburkan
Agama islam dalam sejarah kita? Ini berdasarkan kebanyakan tokoh pahlawan
perempuan adalah ibu dari kaum muslim Indonesia dahulu.
Padahal kita mengenai
tokoh pejuang perempuan sekaliber Cuk Nyak Dien, yang berani melawan Belanda
dan membebaskan daerahnya dari penjajahan. Ada nama Dewi Sartika dari Jawa
Barat dengan sekolah rakyatnya, ada Aisyah Dahlan istri KH Akhmad Dahlan.
Sederatan nama-nama perempuan yang rela berkalang tanah bermandikan darah demi
bangsa dan negara ini. kenapa harus menuntut ada simbolisasi untuk perempuan,
jika memang kita menyakini pepatah dibalik
laki-laki yang tangguh ada perempuan yang luar biasa. Sebanyak apapun
pahlawan lelaki kita, silahkan dikalikan dua perempuan dibelakangnya, ibu dan
istrinya.
Lalu kenapa saya
menulis, mengapa harus kartini? Saya tidak menempatkan posisi dimana-mana,
hanya saja ada perspektif lain yang saya rasa itulah posisi yang saya ambil
ketika ditanya mengenai hari kartini tersebut. Daripada kemudian kita sibuk
berteriak dan saling menghakimi kebenaran dalil masing-masing. Kita kemudian
tersesat dalam ruang sejarah sendiri, mencari-cari sejarah yang mana mesti
diangkat menjadi hari nasional hari ini?atau menjadi tokoh emansipasi perempuan?
Kita tidak pernah beranjak kemana-mana.
Kita memang punya banyak
tokoh perempuan yang bisa dijadikan teladan dalam hal emansipasi perempuan,
tapi apakah dengan banyak itu semuanya harus dibuatkan hari nasional sendiri?
Setidaknya hari ini, kita punya Hari Kartini untuk kemudian menjadi momentum
menyadarkan kembali generasi mendatang kita, bahwa tidak hanya memiliki satu
Kartini yang bisa dikagumi hingga negeri Belanda sana. Tapi kita punya banyak,
banyak sekali malah. Tapi mereka tidak mengakui mereka semua, karena itu dapat
menjadikan mereka bangsa sangat kecil, lemah, pengecut nantinya? Mungkin iya
jika mereka mau mengakui itu, makanya mengapa harus kartini saja.
Disisi lain menurut saya, pertengkaran siapa
yang mesti memiliki hari khusus adalah hanya akan membawa kita pada posisi
pembenaran pada pandangan masing-masing, perpecahan sesama anak bangsa tentu
kita tidak menginginkan itu. Kenapa kita tidak membuka pikiran kita, bahwa
Kartini menjadi momentum saja namun kontennya adalah emansipasi yang mana kita
bisa meniru dan meneladani setiap perempuan-perempuan tangguh bangsa ini. saya
sendiri ketika ditanya siapa? Saya akan menjawab Ibu saya. Pandangan Kartini
dalam pikiran saya, yaa ibu saya.
Biarlah sejarah diruang
sejarah, untuk dijadikan pijakan kita melangkah kedepan. Bahwa tantangan
kedepan akan semakin kompleks, masalah emansipasi bukan masalah siapa
tokohnya?, perempuan kah ia?, hari apa itu dirayakan?, bukan. Menurut saya
emansipasi itu adalah kontribusi terhadap bangsa. Tidak terlepas berjenis kelamin
apa, atau berumur berapa. sepanjang mampu memberi kontribusi yang terbaik demi
bangsa dan negara.
Sayangnya lagi,
membicarakan, menuntut, dan mendiskusikan tentang emansipasi perempuan yang
paling banyak dan ramai hanya pada Hari Kartini. Nah, disini pikiran kita yang
terbelenggu bahwa hanya pada hari Kartini-lah perempuan Indonesia menuntut
emansipasinya. Kembali lagi, menurut saya emansipasi itu Kontribusi kita kepada
bangsa dan negara. Kapanpun dan dimanapun kita dapat melakukan emansipasi itu,
tidak terbatas hanya pada penanggalan 21 april saja.
Kemudian kita hanya
berkutat pada simbolisasi hari saja, jika misalnya karena desakan antara
kebenaran masing-masing mengenai simbol siapa yang diangkat dan pada tanggal
berapa itu tak berujung, maka dihapuskanlah hari Kartini pada tanggal 21 April
tersebut, lalu nantinya kita tidak memiliki hari dimana kita bisa mengingat
bahwa, perempuan-perempuan Indonesia itu tangguh.
Sekarang, siapapun yang
menjadi teladannya Kartini, Cuk Nyak Dien, Dewi Sartika atau siapun itu tokoh
perempuan bangsa ini silahkanlah. Jangan terbatas pada apa yang bisa dilihat,
tapi lakukanlah apa yang bisa dilakukan sebagai seorang perempuan yang menuntut
emansipasinya dengan memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, bukan hanya
perempuan yang berada dalam diskusi dan seminar yang menuntut tentang
emansipasi.
Bukannya dalam Agama
Islam menjelaskan, bahwa Perempuan adalah
tiang sebuah negara. Jika rusak perempuan maka rusak pula negara itu. lalu
ada pepatah konfusius mengatakan mendidik
satu perempuan sama dengan mendidik satu generasi. Sekarang
berkontribusilah perempuan, kalian adalah perempuan tangguh untuk negeri ini,
untuk suami kalian dan untuk anak cucu kalian kelak.
Lalu, mengapa harus pada
hari Kartini saja?
Surakarta, 23 April 2013
(catatan ngawur saat hujan di sore hari)
Komentar