Langsung ke konten utama

Generasi Idola Cilik dan Generasi Dolanan Bocah

Ini gambar tahun lalu, saya copy di sini. tapi saya juga menyaksikannya kok.
maklum belum punya kamera sendiri jdi blum bisa foto original..doain yaa biar bsa punya kamera sendiri..
Aamiin...
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya dan generasi yang besar adalah generasi yang bangga dengan budayanya. Menghargai mengapresiasi dan bangga dengan budaya sendiri, hari ini seakan menjadi streotip tradisional dalam pergaulan. Entahlah, bangunan imaji kita terhadap klausul tradisional itu layaknya sesuatu yang agak menyudut pada realitas kehidupan saat ini.

Praksis generasi saat ini hanya mampu mengikut pada budaya bangsa lain, yang diklaim sebagai budaya global. Siapapun berhak menggunakan budaya ini, dan ketika kita masuk dan menggunakan budaya ini maka serta merta kita akan di”cap” sebagai manusia modern. Kita kemudian lebih direcoki dengan term modern dan tidak modern untuk sebuah identitas atau strata dalam realitas sosial kita.
Budaya sendiri atau budaya bangsa kemudian, masuk dalam lemari-lemari, buku-buku, manuskrip, atau lembaran-lembaran yang hanya ditempatkan pada kotak kaca agar tidak habis dimakan rayap. Budaya kemudian bertransformasi menjadi bagian yang lain (others) dalam kehidupan kita, generasi mendatang hanya mendapati budaya bangsa sebagai bagian dari dongeng masa lalu.

Globalisasi yang semakin menancapkan cakarnya yang mengatur bagaimana kita memilih gaya hidup, bahkan lebih ekstrim lagi adalah globalisasi memproduksi agama yang dimanifestasikan sebagai agama semua orang.

Sisi lain..

Umurnya baru sekitaran lima tahunan dengan memakai batik khas jawa (solo) dikepalanya melekat sebuah penutup kepala yang disebut blangkon. Wajahnya memang menunjukkan masih seorang anak-anak, tapi riasan itu; lukisan kumis, beberapa oleh bedak, menjadikannya jauh terlihat dewasa dari umurnya.

Berdiri diatas panggung bersama dengan teman-temannya yang masih seumuran dengannya. Menari, meliuk-liukkan tangan dan kepalanya, terlihat anggun dan menikmati tariannya namun kelihatan lucu. Terbukti setiapkali dia merubah gayanya selalu saja ada riuh dari bangku penonto..bahasanya begini “apik tenan sing cilik”. Saya tidak terlalu mengerti dengan bahasa jawa, tapi kata itu setidaknya maknanya saya paham.

Alunan gamelan khas jawa mengiring tarian dan nyanyian para anak-anak itu, sesekali ada hentakan musik yang menjadikan gerakan mereka ikut dihentakkan juga. Saya cukup menikmati dengan jalinan tarian ini, walaupun sebagian besar komunikasi yang dipakai adalah bahasa jawa, namun dari mimik, gerak-gerik dan tanggapan penonton. Saya mengerti makna yang ditarikan anak-anak itu, bisa jadi lucu, menggemaskan, atau sedang berbicarakan sesuatu.

Gambaran tersebut adalah penampilan dari anak-anak, dalam Festival Dolanan Tradisional memperingati Dies Natalis UNS yang ke 37 pada 9-10 April 2013. Menonton festival ini memberikan sebuah pemahaman baru bahwa ada sisi tradisi yang hari ini lebih banyak tereduksi dari realitas kehidupan kita, budaya modern hadir tak habis-habisnya membranding kita. Setidaknya, apa yang dilakuakan anak-anak ini menghadirkan ruang pelestarian budaya bangsa. Generasi yang besar adalah generasi yang membanggakan dirinya dengan budaya sendiri.

Ketika realitas budaya sendiri kemudian menjadi komoditas yang mampu mengangkat kepribadian bangsa, saya pikir kita akan menjadi bangsa yang besar. Bukan kemudian bangsa pengikut yang hanya mampu menampilkan budaya sendiri sebagai “catatan” kekayaan bukan sebagai bukti kepemilikan.
Dengan adanya dolanan yang ditunjukkan anak-anak ini, memberikan penyadaran bahwa ketika ekspansi permaianan modern, yang tersaji didalam playstation, internet, tablet dan sebagainnya. Yang pada gilirannya hanya membangun egoisme individual, melakukan berbagai hal untuk dapat meraih keinginannya bahkan ada yang dengan menampilkan adegan kekerasan didalam permaianan itu.

Dolanan ini, kemudian menampilkan sebuah permainan yang masih bisa menggambarkan keceriaan anak-anak, kerjasama mereka, nilai-nilai solidaritas, dan banyak hal lainnya. tema dalam sinopsis yang ditampilkanpun mengandung banyak ajaran yang dikemas dalam dunia anak-anak. Ada sekitar puluhan kelompok anak-anak dari beberapa sekolah ataupu sanggar belakar seni disekitar Solo raya yang ikut meramaikan. Dengan menampilkan sinopsis dolanan yang berbeda-beda; mulai dari falsafah hidup, pentingnya pendidikan, kehidupan sehari-hari bahkan hingga kritik sosial.

Begitulah dunia anak-anak yang penuh keceriaan tapi tetap syarat dengan nilai budaya, berbeda kiranya dengan tampilan dalam televisi hari ini. yang lebih banyak menampilkan anak-anak sebagai komoditas korporasi besar, menampilkan film-film anak-anak tapi hanya menampilkan suatu realitas yang fiktif, menyajikan ajang kontes menyanyi bagi anak-anak tapi kemudian menghilangkan identitas anak-anaknya.

Jadi saat ini, jangan heran ketika anak-anak lebih mudah menyanyikan nyanyian orang dewasa yang bertemakan galau, cinta, patah hati. Coba saja cek disekitar kita, anak-anak lebih paham dengan nyanyian orang dewasa, sebut saja separuh aku, makhluk tuhan paling suci, harus terpisah, dan macam-macam bertemakan galau lainnya.

Walaupun memang tema besar dalam festival ini bukanlah berasal dari latar budaya yang sama dengan saya, tapi setidaknya ini sebagai identitas bangsa Indonesia. kelak mungkin bukan saja di Solo yang menampilkan Dolanan ini, bisa saja di daerah saya juga akan dilakukan ini, namun dengan nama yang berbeda “Festival Magasia Tradisional”. Generasi yang bangga tampil dengan budayanya sendiri, akan lebih menjanjikan untuk membuat bangsa ini besar dengan budayanya sendiri.

Atau kita terjebak dalam dunia Idola Cilik yang senantiasa Meloww dan cukup lebay menurutku.....

(Surakarta,10.April.2013)

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.