Tulisan ini Adalah Tulisan saya untuk Kolom Opini Radar Buton, dimuat pada harian tersebut di edisi Kamis, 27 desember 2012. Hanya sekedar tulisan yang menjadi keresahan saat ini terhadap pemahaman dan kesadaran kita terhadap daerah Buton.
Ketika
keluar dari Pelabuhan Murhum Baubau, pemandangan yang pertama kali dilihat
adalah patung selamat datang dan papan tulisan Bolimo Karo Somanamo Lipu, tepat
diatas perbukitan sebelah timur pintu gerbang pelabuhan murhum. Namun saat ini
masih ingatkah masyarakat dengan tulisan ini? atau bahkan makna dari kalimat
tersebut juga ikut terlupa?
Kepentingan
daerah diatas kepentingan diri, singkatnya dari kalimat diatas. Namun saat ini
nilai-nilai seperti itu entah dirasakan pada sisi mana belum ada yang bisa
menjawab. Kepentingan diri merupakan orientasi masyarakat saat ini, desakan
sosial dan ekonomi bisa menjadi alasan untuk itu. padahal dahulu kesultanan
buton dikenal dengan persaudaraannya yang erat dan didasarkan pada nilai-nilai
agama, yaitu islam.
Satu
kalimat yang memiliki makna yang mendalam, namun papan yang bertuliskan kalimat
tersebut di salah satu sudut kota Baubau, kemudian hanya dijadikan pajangan
semata. Seingat penulis pada saat sekolah dasar tahun 1994, papan reklame yang
terbuat dari besi itu sudah ada disitu. Bahkan banyak senarai yang
menjadikannya anekdot atau bahan lucu-lucuan, karena dibawah papan tersebut, terdapat
taman yang dahulu digunakan para muda mudi untuk pacaran dan nongkrong mungkin
hingga kini.
Pertanyaanya
sekarang adalah apakah saat ini kesadaran bahwa tulisan itu masih ada? Ini hal
sederhana untuk kemudian kembali memaknai kalimat tersebut dalam perilaku kita
di masyarakat. Secara sadar atau tidak saat ini, kalimat itu hanya terpasang
dengan gagahnya tanpa pemaknaan. saat ini sebagai orang hanya sibuk
mempertontonkan keunggulan dirinya sendiri, praktek nepotisme di pemerintahan
seakan menjadi rahasia umum, dan sebagainya.
Tulisan
ini berdasar pada keresahan penulis mengenai pemaknaan kalimat tersebut,
walaupun memang tulisan ini tidak bermaksud mejelaskan masalah kebudayaan
buton. Karena penulis masih banyak kekurangan dalam memaknai kekayaan budaya
buton. Hanya saja, saat ini nilai-nilai ini menjadi terlupa dalam memori
kolektif masyarakat. Bagaimana tidak, sulit kiranya saat ini memprediksi nilai
budaya dalam karakteristik masyarakat, terutama kalangan pemuda.
Internalisasi
nilai-nilai budaya hanya sebatas pada simbolisme yang dilakukan pemerintah
untuk itu, tanpa kemudian ada pemaknaan mendalam dengan hal itu. salah satu
contoh, adalah sudahkah kita mempertanyakan kenapa diwajibkan memakai pakaian
sentuhan buton pada waktu tertentu dalam seminggu? Bahkan pelajaran Mulok
bahasa wolio, hanya menjadi pelajaran “tambahan”. Padahal semestinya sebagai
basis pembelajaran budaya adalah pada aspek teoritik melalui teks dan juga
praktis melalui praktek langsung dan ini inti, sama seperti bahasa Indonesia.
Walaupun
memang pemaknaan kalimat ini masih bisa ditemui di beberapa komunitas kecil di
daerah kesultanan buton, ataupun daerah kota Baubau. Namun alangkah indahnya
kemudian jika nilai yang terkandung tersebut juga dimiliki sebagai warisan
sejarah dan menjadi spirit kolektif masyarakat. Pada gilirannya kemudian,
kesadaran mengenai keberadaan papan reklame bertuliskan Bolimo Karo Somanamo
Lipu, disertai juga dengan kesadaran terhadap makna yang ada didalamnya.
Sisi Lain
Kembali
mengajak penyadaran terhadap kalimat Bolimo Karo Somanamo Lipu, bukan kemudian
meminggirkan falsafah yang lain. Hanya saja menurut penulis kalimat ini
terpapar dengan jelas di papan reklame, siapapun yang datang dan berkunjung ke
Kota Baubau bisa saja mempertanyakan makna kalimat itu. lalu ketika hanya
menyebutkan artinya apa dirasa belumlah cukup, pemaknaan sebagai bagian
kognitif masyarakat perlu disertai dengan pemahaman pada ranah psikomotorik.
Budaya
adalah identitas, saat ini budaya bangsa diperhadapkan dengan kebudayaan
global. Tentunya kehilangan budaya sendiri adalah sebagai bentuk kehancuran
diri, karena karakter sebuah masyarakat sangat ditentukan dengan bagaimana
memaknai kebudayaan daerah tersebut. Tentu kita sadar dan geram dengan
pengakuan hasil kebudayaan bangsa yang kemudian diakui oleh bangsa lain. Namun
hal yang seringkali luput disadari adalah, bagaimana menjaga kebudayaan
tersebut dengan mamaknainya dalam kehidupan sehari-hari.
Merujuk
kepada kalimat tersebut, keresahan lain dalam penyadaran ini adalah perasaan
kepemilikan budaya dan perasaan bangga memilikinya di kalangan generasi muda
mulai luntur. Bagaimana tidak, tekanan budaya global yang kemudian mereduksi
nilai-nilai budaya lokal. Contoh kecil misalnya adalah permainan masyarakat
lokal di Buton (Baubau.red) dikalahkan dengan permainan Game online ataupun
playstation. Dimana ase’, enggo, bente, tiga lobang, pocis, kampa-‘mpa,
ulu’-ulu’ dan lain-lainnya di permainan generasi muda Kota Baubau kini?
Sisi
lainnya adalah, penggunaan bahasa wolio yang mulai meredup. Mungkin hanya
sebagai masyarakat yang masih menggunakan ini, dikalangan pemuda pun bisa
dikatakan kurang. Karena banyak penutur bahasa wolio yakni di kalangan
masyarakat tua (orang tua/ dewasa) saja. Jadi bukan tidak mungkin kemudian,
prediksi bahwa dalam 20 tahun kedepan penutur bahasa wolio akan punah, dan bisa
jadi bahasa wolio hanya kita temukan dibuku pelajaran mulok saja. Bahkan saat
ini di Sulawesi Tenggara dengan etnis terbesarnya adalah buton, namun untuk
penutur bahasa lebih banyak adalah penutur bahasa muna.
Pemaknaan kalimat Bolimo Karo Somanamo Lipu, bukan saja kemudian
hanya sebagai alasan karena kalimat itu terpampang disana, atau hanya
perjanjian diri saja. Karena seyogyanya
bahwa falsafah hidup masyarakat buton, yang menjunjung
tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi. Sebagai kalimat terakhir, ada falsafah Buton yang
menyatakan Yinda
yindamo arata somanamo karo (korbankan harta demi keselamatan diri), Yinda yindamo karo somanamo lipu (korbankan diri demi keselamatan
negara), Yinda yindamo lipu somanamo syara (korbankan negara demi keselamatan pemerintah), Yinda yindamo syara somanamo agama. (korbankan
pemerintah demi keselamatan agama).
Sekarang sadarkah kita ada bagian terlupa dari
sudut Kota Baubau tersebut? Hal ini memang tidak dapat menjawab semua
permasalah yang ada, namun setidaknya dimulai dari sisi sudut yang selalu
ditemui ketika datang atau akan meninggalkan Kota Baubau, namun seringkali
terlupa. Pertanyaanya sekarang, kenapa kalimat itu di tempatkan disana tepat
diperhadapkan kepada siapapun yang akan masuk dan keluar dari Pelabuhan Murhum
Baubau? Bisa jadi, kita selalu diingatkan untuk mementingkan daerah di atas
kepentingan diri (Bolimo Karo Somanamo Lipu), disaat kita akan pergi maupun
datang ke Kota Baubau.
Surakarta, 26 Desember 2012
Komentar