Gambar disini |
Tulisan ini ditemukembali dalam file-file yang tersebar, dibuat sudah cukup lama namun terlupa untuk dipublish ke blog. mengisi lamunan dengan sesuatu yang menggerakka jemari pada tuts notebokk sore itu. bercerita tentang peringatan hari sumpah pemuda 28 oktober 2012 lalu, yang lagi-lagi sekedar seremonia. tulisan sederhana yang tidak mengajak pada pola pikir saya, hanya saja sebagai sharing isi kepala. bisa jadi keresahan kita berada pada sisi yang berbeda, dan tertemukan pada sisi yang berbeda lainnya. bukankah membagi cerita bisa menjadi "sesuatu" yang baru untuk kita dalam menanggapi perspektif masing-masing?.
Sebuah tulisan yang hadir dalam waktu sela menunggu azan maghrib berkumandang memanggil umatNya, berdiri dari segala dudukan, berhenti dari segala rutinitas, untuk sejenak menghadap mengucap syukur kepada sang Pemberi Kehidupan. Tempat pada kolong kamar kost ukuran 3 x 3, yang selalu setia memberi dan tak jua menuntut pemberian dari penghuni kolong kamar kost tersebut, minimal mengatakan "kamu nyaman hari ini kamarku". tulisan ini kuberi nama REFLEKSI PEMUDA.
***
Duduk menyelonjorkan
kaki di atas sebuah tikar plastik
bermotifkan kotak-kotak, dalam sebuah kamar kost berukuran 3x3 meter. Ditemani
segelas kopi susu dan laptop yang sedang menyenandungkan lagu jazz Sierra
Soetedjo. Udara sore itu tidak seperti kemarin, aroma mendung dan angin pembawa
kabar akan hujan terus meniup. Tidak ada yang istimewa dengan sore ini, selain
pertemuanku dengan kawan jawa di
perpustakaan kampus siang tadi,
mendiskusikan pandangannya tentang pemuda Indonesia saat ini.
Kembali menalar
tentang pemuda, seusai melihat tayangan
berita di TV. Perkelahian Pelajar yang menelan korban, “kembali” tawuran
mahasiswa di Makassar yang mengakibatkan 2 mahasiswa tewas tertikam sebilah
badik. Terbayang flashback imajinasi saat itu, keadaan seperti yang ditayangkan
di TV sore itu, Makassar. Masing teringat ketika itu, dalam potongan yang belum
terlupa “saya pernah berada disitu”. Kuliah di makassar tentunya memberikan
gambaran pengalaman tentang itu, lebih jelas ketika hal itu menjadi
perbincangan, diskusi bersama kawan bahkan sempat berada di tempat dan waktu
yang sama dengan sebuah kejadian.
Lalu bertanya
dalam hati, bukankah ketika itu sudah banyak upaya yang dilakukan? Mulai dari
mediasi terhadap mahasiswa (organisasi), upaya preventif kampus, pengamanan.
Atau ternyata ruang dialog yang dilakukan kemudian belum memberikan
keterwakilan kepada pihak mahasiswa untuk berdiskusi? Atau kita mesti bertanya
kembali, ada sesuatu yang “masih salah”
dalam mencari ruang kosong diantara kita, pemuda, mahasiswa? Ruang kosong yang
mana, penghargaan, toleransi, pengakuan, dignity,
eksistensi, pengertian, menyanyangi dan pencarian kebahagiaan telah terbatasi secara kaku dalam ruang kuliah?
Jika seperti itu, adakah sesuatu yang terlewat dalam dialektika pemuda kita?
Kembali
menyeruput kopi susu, masih hangat beraroma. Dahulu pemuda lah yang melahirkan
semangat keIndonesiaan, Nasionalisme, diatas bangsa-bangsa, suku-suku, warna
kulit, agama. Dibawah penjajahan kolonialisme,
bagi mereka Indonesia adalah lebih penting dari perbedaan dan tekanan yang ada.
Sekarang kita pemuda, hanya karena berbeda warna, beda organisasi, beda
kelompok, beda tim sepakbola, beda cara berpakaian, beda merek motor, beda merk
HP bisa menjadi celah jurang yang besar untuk bilang kita berbeda, ya memang
kita berbeda kok. Kita seakan jarang menemukan, pemuda berdiri diatas
perbedaan-perbedaan itu untuk mengatakan kami adalah pemuda Indonesia.
Lagu berganti,
saat ini suara Sierra Soetedjo menyanyikan lagu The Only You. Masih dengan suasana sore yang mulai sedikit mendung.
Entah sekarang dimana sekarang semangat
Pemuda berjiwa Nasionalis, tiap hari kita dijejali oleh tayangan pemuda yang sungguh disayangkan. Atau kita
mesti bertanya kemedia, apa pemuda kita semuanya seperti itu? Yaa..ketika kita
ingin berpikir positif, mungkin masih ada kok pemuda yang masih berpikiran
untuk kebaikan bangsa Indonesia. bisa jadi kan, berita ini hanya bagian dari
upaya peningkatan rating berita TV. Ah..iya, masih ada kok pemuda itu, pemuda
yang diinginkan Soekarno dahulu “berikan aku 10 pemuda maka akan kugoncang
dunia”. Momentum sumpah pemuda 1928, lalu peristiwa lainnya yang dimotori
pemuda misalnya gerakan 1998, akankah hanya menjadi catatan sejarah bangsa
dalam buku-buku sejarah disekolah. Mungkin kita mesti kembali membakar semangat
untuk itu, toh saat ini bangsa sedang tidak baik-baik saja kan? Atau kita
sekarang tengah berada pada posisi “melupa” pada sejarah?
Peristiwa Pemuda
Tahun 1928, kongres pemuda II yang dilakukan pada tanggal 27-29 Oktober di
tiga tempat berbeda yaitu Katholieke Jongenlingen, Oost Java Bioscoop, Indonesische Clubgebouw. Para peserta Kongres Pemuda II ini
berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu,
seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, serta beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat. Mereka berdiri diatas
perbedaan-perbedaan yang ada untuk sebuah pandangan tentang nasionalisme,
tentang Indonesia. meminjam istilah John Couteau mereka tampil sebagai
konstruksi kebersamaan yang meski disertai perjuangan, pada dasarnya bebas
paksaan.
Kembali menyeruput kopi, yang mulai dingin. Entah apa
yang semula dipikirkan para pemuda atau jong Indonesia pada waktu itu, yang
jelas saat ini mereka adalah tonggak sejarah kebangsaan, nasionalisme yang
dilakukan pemuda. Saat itu Muhammad Yamin yang menulis pada secarik kertas yang
kemudian diberikan kepada Soegondo
(Ketua Kongres Pemuda) sambil berbisik Ik heb een eleganter
formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang
lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang akhirnya teks itu kita kenal
sebagai Sumpah Pemuda.
Pengakuan untuk bertanah air satu, berbangsa satu,
berbahasa satu, Indonesia. adalah sebuah pengakuan Nasionalisme, yang disadari
bahwa tidak mudah untuk itu, dimana pada saat itu ada pengertian kebangsaan
sempit yaitu kebangsaan berlandaskan agama atau kebangsaan yang berlandaskan
ras. Namun saat itu peleburan ide menjadi ide kebangsaan adalah sebuah tonggak
kelahiran bangsa Indonesia.
Disisi yang lain gerakan pemuda dikenal pada saat
pemuda Indonesia yang memaksa untuk segera memproklamasikan Kemerdekaan
Indonesia. periststiwa ini kita kenal dengan peristiwa penculikan Soekarno
Hatta di rengasdengklok yang akhirnya melahirkan proklamasi Indonesia.
bentuk-bentuk perjuangan ini kemudian seakan menjadi hilang dengan kondisi
pemuda saat ini yang lebih banyak melakukan peniruan terhadap gaya atau model
dari bangsa lain. Yaa.. kayaknya kita tengah berada pada posisi melupa pada
sejarah? Atau ada sesuatu yang lain dari kita? Entahlah, namun saat ini imaji
tentang kondisi pemuda seperti itu.
Generasi TV, anak alay, budaya populer, budaya K-Pop
dan lain-lain, lebih banyak kita dengar ketimbang prakarsa pemuda berprestasi
nasional maupun Internasional. Hampir setiap hari kita deperhadapkan dengan
kondisi ini, pemberitaan pun lebih senang untuk mengangkat tema seperti itu.
Padahal bagaimana dengan keadaan pemuda (Pelajar/Mahasiswa) yang mendapat juara
olimpiade Internasional, atau Pelajar SMK yang berhasil membuat mobil dan lain sebagainya. Paling ketika kita
ditanya, jawaban yang familiar adalah “begitulah Indonesia”.
Gambar disini |
Sore telah menua, sebentar lagi maghrib. Tapi
persoalan kekerasan yang terjadi di pemuda akankah seperti ini terus menerus?
Serangkaian pemberitaan menayangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalah hal
ini kementrian pendidikan, DPR, bahkan dijadikan tema dalam serangkaian dialog
di TV. Masalahnya sekarang, pemuda yang terlibat dalam serangkaian peristiwa
ini adalah pemuda yang tengah menuntut
ilmu, pendidikan. Namun tetap saja perhatian pada kurangnya pengawasan institusi
pendidikan terhadap gerakan pemuda dalam hal ini pelajar dan mahasiswa. Bukan
pada instropeksi dunia pendidikan kita, atau instripeksi peran daripada aktor
pendidik kita.
Kita tahu bahwa peristiwa ini bukan satu-satunya,
namun sudah kesekian kalinya dan terus berulang. Contoh misalnya tawuran
mahasiswa di makassar masih dalam institusi pendidikan yang sama, namun berbeda
dalam “warna” organisasi. Dan hal ini menjadi rahasia umum ketika perbedaan
“warna organisasi” adalah alasan pertama yang muncul ketika terjadi tawuran.
Teringat dengan perkataan dalam tulisan Irfan tokoh pemuda pendiri Peace Generation, bahwa perkelahian
pelajar atau tawuran mahasiswa terjadi karena ketiadaan pengakuan, penghargaan,
dignity dalam institusi pendidikan.
sehingga mereka mendapatinya dalam ruang yang lain yakni perkelahian, tawuran
dan bentuk kekerasan lainnya.
Azan magrib tengah berkumandang memanggil umatNya,
tulisan ini mesti diselesaikan segera. Pertanyaannya sekarang apakah kita ingin
seperti ini terus? Kita pemuda yang tidak menghargai upaya para pemuda dahulu
untuk membangun bangsa ini demi kita? Soekarno pernah bilang bahwa perjuangan
terberat dari memperoleh kemerdekaan adalah perjuangan untuk mengisi
kemerdekaan itu sendiri. Kita mesti kembali mengadakan refleksi dan instropeksi
tehadap apa bisa kita berikan pada bangsa ini, bukankah perbedaanlah yang
membuat Indonesia ada. Karena Indonesia bukan hanya milik golongan tertentu
atau warna kulit tertentu atau suku tertentu. Indonesia itu Nusantara dari
sabang sampai merauke.
Akhirnya tulisan ini sampai disini dulu, ruang diskusi
masih terbuka lebar untuk hal ini. Saya terlalu banyak menulis, lupa mesti
melakukan sesuatu yang lebih nyata terlihat. Kepada setiap pemuda Indonesia
selamat hari Sumpah Pemuda, sudah 84 Tahun tentunya bisa menjadi semangat luar
biasa untuk Indonesia dan itu semangat pemuda. Banyak hal yang bisa dilakukan
pemuda kini, mengisi kemerdekaan dengan saling menghargai, kasih sayang,
toleransi, mengawal proses demokratisasi didaerah, dan banyak hal lainnya. karena
mendidik pemuda adalah mendidik generasi.
Lalu untuk pemuda di Kota saya, Kota Baubau atau
Buton umumnya, tentunya banyak pelajaran
yang bisa dijadikan hikmah dari gerakan pemuda yang lalu dan dijadikan sumber
gerakan selanjutnya untuk daerah. Mengawal proses demokratisasi, memberdayakan
masyarakat, menjaga kebudayaan, menghargai warisan orang tua dahulu dan lain
sebagainya. Teringat dengan perkataan kakak kelas, “bahwa pemuda Baubau/Buton
itu menggunakan organisasi hanya sebagai ranah aktualisasi diri saja, maka
tidak heran organisasi pemuda hanya begitu-begitu saja”. Sehingga bisa dilihat
bahwa pemuda bisa menjadi lahan politik daerah yang potensial. Apakah anda
pemuda (khusunya Baubau/ Buton), sepakat dengan hal ini? Mari kita tanyakan
dalam diri masing-masing.
Komentar