Langsung ke konten utama

Perjumpaan dengan K.H Mustofa Bisri.



Gus Mus, begitu beliau biasa dipanggil. perjumpaan ini sebenarnya tidak pernah terjadi hanya saja, membaca beberapa tulisannya menjadi menarik. Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim. Beliau kyai yang bersahaja, bukan kyai yang ambisius. Beliau kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Beliau juga Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
Lalu apa yang menjadi ketertarikan saya terhadap Kyai satu ini? setelah membaca beberapa puisi dan ceramahnya. terselip kata-kata yang merupakan refleksi kritis beliau terhadap kondisi umat beragama negeri ini. Mau tahu biografi beliau silahkan baca K.H Mustofa Bisri. saya cuma akan memposting Puisi beliau, yang menurut saya menarik untuk direnungkan.

Kau Beragama Negeri Ini

Tuhan,
Lihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini.
Mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain
Di negeri-negeri lain demi mendapat ridhaMu.

Tuhan,
Llihatlah betapa baik kaum beragama negeri ini.
Mereka terus membuatkanMu rumah-rumah mewah
Di antara gedung-gedung kota
Yang ada di tengah-tengah sawah
Dengan kubah-kubah megah
Dan menara-menara menjulang
Untuk meneriakkan namaMu
Menambah segan dan jeder hamba-hamba kecilMu
Yang ingin sowan kepadaMu

NamaMu mereka nyayikan
Dalam acara hiburan hingga pesta agung kenegaraan.
Mereka merasa begitu dekat denganMu,
Hingga masing-masing merasa berhak mawakiliMu.
Yang memiliki kelebihan harta
Membuktikan kedekatannya
Dengan harta yang engkau berikan.
Yang memiliki kekuasaan
Membuktikan kedekatannya
Dengan kekuasaan yang Engkau limpahkan.
Yang memiliki kelebihan ilmu
Membuktikan kedekatannya
Dengan ilmu yang Engkau karuniakan.
Mereka yang Engkau anugerahi kekuatan
Seringkali bahkan merasa diri Engkau sendiri.
Mereka bukan hanya ikut menentukan ibadah,
Tapi juga menetapkan siapa ke surga, siapa ke neraka.
Mereka sakralkan pendapat mereka
Dan mereka akbarkan semua yang mereka lakukan
Hingga takbir dan ikrar mereka yang kosong
Bagai perut beduk.

Jadi apalagi?
Jadi apa lagi yang bisa kita lakukan,
Bila mata sengaja dipejamkan,
Telinga sengaja dituliskan,
Nurani mati rasa.

Apalagi yang bisa kita lakukan,
Bila kepentingan lepas dari kendali,
Hak lepas dari tanggung jawab,
Perilaku lepas dari rasa malu,
Pergaulan lepas dari persaudaraan
Akal lepas dari budi.

Apalagi yang bisa kita lakukan
Bila pernyataan lepas dari kenyataan
Janji lepas dari bukti
Hukum lepas dari keadilan
Kebijakan lepas dari kebijaksanaan
Kekuasaan lepas dari koreksi.

Apalagi yang bisa kita lakukan
Bila kata kehilangan makna
Kehidupan kehilangan makna
Kehidupan kehilangan sukma
Manusia kehilangan kemanusiaannya
Agama kehilanga Tuhannya.

Apalagi saudara, yang bisa kita lakukan?
Tuhan.
Kalau saja itu semua bukan kemurkaan dari Mu
Terhadap kami,
Kami tak peduli.


Sumber: Seri Orasi Budaya (30 Mei 2007)

IMPULSE
(Institute for Multiculturalism and Pluralism Studies)
Kanisius, 2007
Yogyakarta.

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.