Langsung ke konten utama

Kesederhanaan Pemimpin: Berkaca Pada Khalifah Umar r.a.


 Ketika mengkaji berbagai literatur mengenai kemuliaan para sahabat Rasulullah Saw, akan ada pertemuan dengan berbagai kemuliaan dan teladan yang baik. Jika orang-orang disekitar (sahabat) Rasulullah Saw, dapat menunjukkan kemuliaan akhlak yang sedemikian indah hingga memerindingkan ketika membaca, karena kekaguman. Lalu bagaimana dengan akhlak Rasulullah Saw, yang merupakan rujukan bagi mereka para sahabat Nabi? Allahullashalli Alaa’ Muhammad wa Ali Muhammad...


Membaca mengenai perang salib, yang kemudian terjadinya penaklukkan kota suci jerusalem oleh pasukan muslim dibawah kepemimpinan Khalifah Umar r.a. bisa menjadi salah satu rujukan untuk dijadikan pelajaran kepemimpinan saat ini, ditengah kepongahan identitas kepemimpinan, perilaku dan segala macam hal yang bersisian dalam kajian mengenai sosok kepemimpinan saat ini. ternyata literatur Islam mengenai kepemimpinan ini, bukan saja bagaimana memiliki kemampuan kepemimpinan yang mapan, namun juga keelokan akhlah yang ditunjukkannya.

Salah satu hal yang dipahami dalam pembacaan hari ini, terhadap kepemimpinan Khalifah Umar r.a. yaitu kesederhanaan. Cerita ini berlatar belakang pada saat penaklukan kota jerusalem oleh pasukan muslim dibawah komando Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid, pada tahun 637 berhasil mengepung kota jerusalem. Saat itu kota jerusalem dikuasai oleh kaum Kristen. Kekuatan pasukan muslim berhasil menekan keberadaan kaum Kristen yang ingin mempertahankan kota suci Jerusalem. Namun saat itu, pasukan muslimim memegang teguh pendirian untuk menumpahkan darah di kota suci tersebut.

Perilaku tersebut diatas, merupakan perintah dari Rasulullah Saw dan diteguhkan oleh dua Khalifah, Khalifah pertama Abu Bakar r.a dan Khalifah kedua Umar r.a., pasukan muslim selama berperang diharamkan membunuh para rahib, orang tua, wanita, anak-anak, dan orang-orang non-kombatan yang bersikap damai, dilarang menebang pohon, membunuh ternak dan merusak perladangan, dilarang menghancurkan gereja dan merusak rumah dan fasilitas umum. Perilaku inilah yang kemudian menjadikan kekaguman para pastor Kristen yang berada di kota jerusalem pada waktu itu.

Namun tetap saja ada kekhawatiran dari mereka untuk menyerahkan kota suci jerusalem kepada pasukan muslimin. Untuk itu, Uskup Agung Sophronius meminta berdamai dan permintaan itu disambut baik oleh panglima Amr bin al-As, sehingga futuh jerusalem direbut secara damai tanpa pertumpahan darah oleh pasukan muslim. Cerminan ini menunjukkan sikap rendah hatinya pasukan muslimin dan perdamaian yang dipenganggnya, tentunya kaum muslimim bukanlah kaum yang kasar bukan?

Kemudian, kejatuhan kota jerusalem ini Uskup Agung Sophronius menyatakan akan menyerahkan kota suci tersebut ke tangan tokoh terbaik kaum muslimin. Ia menghendaki Amirul Mukminin Khalifah Umar Ibnu Khattab r.a. yang sepatutnya datang ke jerusalem secara pribadi untuk menerima penyerahan kota suci tersebut. Panlima Abu Ubaidah meneruskan permintaan itu ke Khalifah Umar r.a.  Disinilah kerendah hatian Khalifah Umar yang memberikan kekaguman tersendiri. Yakni setelah melakukan rapat majelis Syuro untuk mendapatkan nasehat, akhirnya Khalifah Umar menyetujui keinginan Uskup Agung tersebut untuk datang ke kota suci jerusalem.

Kepergian Khalifah Umar r.a. menuju jerusalem tidak ada rombongan yang menyertainya. Khalifah Umar r.a. hanya disertai dua makhluk, seorang pelayan dan seekor unta, yang ditunggangi bergantian. Dan tatkala mendekati desa Jabiah, dimana panglima dan para komandan pasukan muslim telah menantikan Khalifah Umar r.a., kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut. Namun, pelayan itu menolak dan memohon agar Khalifahlah yang menunggang hewan tersebut. Tetapi Khalifah Umar menolak, karena kini adalah giliran Khalifah yang harus berjalan kaki.

Begitu mereka sampai di Jabiah masyarakat menyaksikan suatu peristiwa yang sanga ganjil, yang belum pernah terjadi, ada pelayan duduk diatas unta sedang Khalifahnya berjalan kaki menuntun hewan tunggangan itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar yang sangat sederhana, lusuh dan berdebu, karena dari menempuh perjalanan yang jauh.

Kesederhanaan pemimpin kaum muslim ini bahkan menciutkan penampilan para panglima kaum muslimim kala itu. diman setibanya di Jabiah penglima muslim menemui Khalifah Umar r.a. Abu Ubaidah mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan sederhana, dan Khalifah Umar r.a. sangat bersuka cita bertemu dengannya. Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid dan para komandan lainnya, berpakaian dari bahan yang halus, dan melihat hal itu Khalifah Umar r.a. menyampaikan ketidak-senangannya atas pakaian mereka yang mewah itu.
Saat ini cobalah dilihat pada pemimpin negeri ini, yang bergelimpangan harta serta tunjangan sana sini, ketamakan dalam kekayaan bahkan banyak pemimpin daerah yang kemudian terlibat praktek korupsi. Penurunan bahkan bisa disebut sebagai dekadensi moral pejabat, merupakan contoh buruk dan bahkan sangat jauh dari nilai ideal seperti yang ditampilkan oleh pemimpin kaum muslim Khalifah Umar r.a. padahal kemunculan maupun kampanye mereka, tidak segan-segan menampilkan simbol agama, songkok, gamis, menyantuni pengemis, sholat berjamaah, dsb. Hanya untuk menampilkan “sosok” religius namun bukan “perilaku” religius.

Berlanjut mengenai penyerahan kota suci jerusalem kepada kaum muslimin. Setelah pertemuan dengan panglima wilayah suriah selesai, seorang utusan kaum kristen dari jerusalem menghadap Khalifah Umar r.a. untuk membuat perjanjian. Kemudian perjanjian ini dikenal dengan perjanjian Aelia (nama lain jerusalem), perjanjian yang memberikan jaminan atas nyawa dan harta benada segenap penduduk jerusalem. Sebaliknya penduduk jerusalem diwajibkan untuk membayar jizyah (pajak bagi kaum non-muslim). Dan barangsiap yang tidak setuju, dipersilahkan untuk meninggalkan jerusalem membawa harta benda mereka dengan damai.
Kemudian memasuki kota jerusalem, Khalifah Umar r.a. disambut oleh Patriach Jerusalem, Uskup Agung Sophonius, yang didampingi oleh para pemimpin gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan muslim. Sementara para penyambut tamu agung berpakaian dengan busana mereka yang berkilau-kilauan, Khalifah Umar r.a. Amirul mukminin hanya mengenakan pakaian dari bahan yang kasar dan murah, yang biasa dipakai oleh orang Arab kebanyakan.

Sebelumnya, ketika seorang sahabat menyarankannya untuk mengenakan pakaian yang pantas untuk upacara kenegaraan itu, Khalifah Umar r.a. menolak saran itu, seraya berkata, bahwa ia mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islamnya, dan bukannya dari pakaian yang dikenakan. Melihat kesederhanaan Khalifah Umar r.a. tersebut, Uskup Agung Sophronius menjadi malu tersipu-sipu, dan kemudian berkata, “sesungguhnya Islam mengungguli agama-agama manapun”. 

Setelah upacara penyerahan kunci sebagai simbol penyerahan kota suci jerusalem ke kaum muslim, yang dilaksanakan di depan gereja Makam Suci Jesus (Church of the Holy Sepulcher) oleh Uskup Agung Sophronius. Khalifah Umar r.a. mengatakan ingin diantar kesuatu tempat untuk menegakkan sholat tasyakkur. Uskup Agung Sopronius menawarkan untuk melakukan shalat di dalam Gereja Makam Suci itu, tetapi Khalifah menolak kehormatan tersebut dengan alasan, hal itu akan menjadi preseden bagi kaum muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid.

Akhirnya sholat tersebut dilaksanakan di tempat dimana nabi Daud a.s. konon dipercayai biasa bersembahnyang. Khalifah Umar r.a. menegakkan shalat disana, dan diikuti secara berjamaah oleh kaum muslim lainnya. ketika orang-orang romawi Bizantium menyaksikan kaum muslimin melaksanakan sholat, mereka berucap, kaum yang begitu taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. Patriarch Jerusalem, Uskup Agung Sophoronius, juga tercatat berkata, “Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik”.

Kesederhanaan beliau, ketaataan beliau Khalifah Umar r.a. bahkan memberikan kekaguman kepada kaum kristen pada waktu itu. cerminan kepemimpinan kaum muslimin yang patut menjadi cerminan, disamping kemampuannya dalam hal pemerintahan. Dari petikan cerita diatas saya belajar mengenai kesederhanaan. Walaupun ini hanya satu dari masih banyaknya petikan tauladan yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. dan para Sahabat.
Bahwa Kesederhanaan adalah bukan karena memiliki sesuatu atas tuntuntan-tuntutan yang menyertainya. Namun kesederhanaan adalah perasaaan kepemilikan diri (identitas) terhadap sesuatu yang lain diluar diri (the others), yang kemudian ditunjukkan dari bagaimana cara bersikap kepada lingkungan. Seperti Khalifah Umar r.a berkata “bahwa ia mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman Islamnya, dan bukannya dari pakaian yang dikenakan”.



Terakhir dari kutipan sederhana ini, penulis ingin menampilkan isi khotbah Khalifah Umar r.a. yang singgah di Jabiah dalam perjalanan pulang ke Madinah. Yang sayang kalau dilewatkan untuk dapat mengambil hikmah dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin. Yaitu :

“Wahai kaum muslimin, aku nasehatkan kepada engkau sekalian untuk membaca al- Qur’an. Upayakan untuk memahami dan merenungkan isinya. Reguklah isi ajaran al- Qur’an itu. kemudian amalkan apa yang diajarkan al-Qur’an. Al- Qur’an bukan sekedar ajaran teoritis; ia harus menjadi sikap hidup yang wajib diamalkan. Al- Qur’an tidak membawakan pesan-pesan ukhrawi belaka; ia terutama ditujukan untuk menuntun engkau sekalian dalam kehidupan di dunia ini. bangunlah kehidupanmu sesuai dengan ajaran islam, karena itulah jalan hidup bagi keselamatanmu. Bila mengikuti jalan lain engkau hanya akan mengundang kehancuran.

“Bertaqwalah akan Allah, Tuhan Yang Maha Benar, dan apa pun yang engkau sekalian harapakan, mintala hanya kepada-Nya. Seluruh ummat manusia mempunyai kedudukan yang sama. Jangan sekali-kali menjilat mereka yang berkuasa. Jangan mencari ridha dari orang lain. Dengan perbuatan itu engkau sebenarnya memperhinakan dirimu sendiri. Dan ingatlah, engkau sekalian tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah ditetapkan bagimu, dan tidak seorangpun mampu membari apapun kepadamu yang bertentangan dengan kehendak Allah. Lalu, untuk apa mencari keridhaan dari orang lain yang mereka sensiri tidak memiliki kekuasaan apa pun atasnya? Sembahlah Allah, karena hanya Dia Yang Maha Kuasa.

“Dan sampaikanlah kebenaran. Jangan ragu-ragu mengatakan apa yang engkau pertimbangkan benar. Katakan apa yang engkau pikirkan. Jadikanlah nuranimu sebagai penuntunmu. Jadikanlah semua niatmu itu baik, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan niat hatimu. Karena semua amalmu akan ditentukan oleh niatmu. Bertawaqwalah kepada Allah, jangan engkau takut kepada siapa pun juga. Mengapa harus takut kepada seseorang, padahal engkau mengetahui segala kenikmatan yang dikaruniakan kepadamu oleh Allah niscaya akan engkau peroleh dalam keadaan apapun? Dan lagi pula mengapa harus takut, padahal engkau mengetahui maut hanyalah ditentukan oleh Allah semata, dan saat itu hanya akan datang bila dikehendaki-Nya?

“Allah sementara ini menjadikan aku pemimpinmu. Tetapi aku tidak lain hanyalah salah seorang diantara kamu. Tidak ada hak-hak istimewa bagi seorang pemimpin. Aku mempunyai beberapa kewajiban di atas bahuku, dan dalam hal ini aku meminta bantuanmu. Kekuasaan adalah amanah yang suci, dan menjadi kewajibanku untuk tidak sampai mengkhianati amanah itu dengan cara apapun. Untuk menjalankan amanah itu aku harus waspada. Aku harus keras. Aku harus menegakkan disiplin. Aku harus menjalankan pemerintahan tidak berdasarkan kecenderungan pribadi; aku harus menjalankannya demi kepentingan umum dan meningkatkan kemaslahatan umum. Untuk itu kita memiliki petunjuk berupa Kitabullah. Apa pun perintah yang aku sampaikan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari harus sesuai dengan al Qur’an. Allah telah meridhai kita dengan Islam. Ia telah mengirimkan utusan-Nya, Muhammad S.a.w. Ia telah memilih kita untuk menjalankan kewajiban. Marilah kita laksanakan kewajiban itu, kewajiban itu ialah da’wah Islam. Dalam Islam terletak keselamatan kita; sekiranya kita sesat, kita niscaya akan hancur.”


[sebagian besar materi tulisan ini disarikan dalam Buku Mengapa Barat Memfitnah Islam (Bab III: Dendam), karya Z.A, Maulani Penerbit Daseta Jakarta; 2002]
selebihnya kisah Khalifah Umar r.a bisa dibaca disini , disini dan disini

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.