Langsung ke konten utama

Bujangan ohh Bujangan




Selepas sholat magrib di Masjid, seperti biasa waktu isya akan kami tunggu dengan berbincang apa saja. Memang hari itu tidak seperti biasanya, bulan malam ini hadir lebih awal. Bentuknya bulat utuh, dengan pancaran sinar yang berbayang karena awan disekitarnya sedang mendung. Semoga saja tetap begitu, agar bulan tetap menemani jiwa-jiwa petualang malam ini hingga pertemuan dengan fajar.

Seorang teman mengatakan kepada saya, menjadi bujangan itu enak ya? Kemana-mana tidak perlu khawatir karena cuman sendiri, tidak banyak mikir ini itu tentang istri dan anak. Karena kebetulan teman ini sudah menikah dan kecenderungan petualangan masa mudanya masih kuat makanya dia berkata seperti itu.

Saya jawab, tidak. Menjadi bujangan itu tidak enak, menjadi bujangan yang enak itu hanya ada pada lirik awal lagu bujangannya bang Rhoma Irama. Selanjutnya tidak ada enaknya, kalau lagi susah, banyak pikiran, dan kehilangan arah, setidaknya kalau punya pendampingkan bisa saling mengisi dan mengingatkan. Karena kalau sesama teman lelaki, apa iya kita bisa sepenuhnya curhat dan berbagi dengan dia, apalagi kalau sampai dekat karena sering curhat bersama, yang ada pandangan orang-orang akan sedikit menyimpanglah kami. Ironis kawan.

Dia cuman bisa tertawa, kemudian dia mengomentari, kamu terpancing sama pertanyaanku kawan. Ternyata jiwamu sekarang tengah berontak untuk status sebagai bujangan yang kini masih ada padamu. Jiwamu kini tengah terombang ambing pada pilihan-pilihan untuk melepaskan sebuah status bujangan. Rhoma Irama? Iya, hanya Rhoma Irama yang mempertanyakan bujangan itu enak, tapi toh itu cuman dalam lirik awal lagunya dan kenyataanya sekarang? Siapa yang menyangkal kalau saya sandingkan Rhoma Irama dan Poligami dalam realitas kehidupannya?

Mengumpat! Asemm.... saya kembali bertanya padanya, jiwa yang memberontak? Apakah pemberontakan itu akan seperti layaknya pemberontakan lainnya, bahwa pemberontakan menghalalkan segalanya? Apapun itu, dalam pemberontakan otomatis mendapat status “dibolehkan”.

Sekarang dia terpojok, kemudian berkomentar....tidak begitu kawan, pemberontakan jiwa yang murni dan bagian dari sunnah-Nya itu, berbeda dengan pemberontakan karena merasa di tindas atau pemberontakan lainnya. ini pemberontakan yang baik, bukankan menikah dan melepas status bujangan itu adalah bagian dari menyempurnakan agamamu. Menjagamu dari perbuatan tercela, zina. Serta menikah adalah jalan membuka jalan rejeki yang lebih bagimu.

Hmmm...kembali menyerang dengan pertanyaan (makanya jangan memancing di hati yang galau), tadi kamu bilang mengenai kebebasan kawan. Apa menikah menjanjikan kebebasan lainnya, seperti yang kita miliki pada saat bujangan? Kamu yang memulai kawan, jangan biarkan hati yang memberontak tak memiliki papan petunjuk arah karena pertanyaan tadi. Heheh...

Tersenyum, lalu menjawab...iya, bentuk kebebasan lain. Bahkan lebih indah dan lebih bebas dari yang kamu dapatkan pada saat bujangan seperti saat ini. namun saya tidak bisa menjelaskan detailnya bagaimana, tapi saya akan meilustrasikannya padamu hingga nanti saatnya kamu merasakannya sendiri ketika sudah menikah.
Hmmm...bagaimana itu? (penasaran)

Menarik napas panjang, begini kawan...kebebasan yang kamu anggap saat ini hanyalah sebagian dari kebebasan yang sebenarnya. Ketika menikah nanti bukan berarti kamu akan terbelenggu dengan statusmu saat itu, malah disitulah kebebasanmu menentukan jalan hidupmu sendiri dengan pasanganmu kelak. Tidak ada yang berhak campur tangan didalamnya, sepenuhnya berada dalam genggamanmu. Terkait kebebasan pergi kemana-mana tanpa perlu khawatir dengan siapa-siapa, itu pandangan individualistik. Ketika telah menikah berpergian kemana-mana akan lebih terasa indah dengan pasangan, ada tanggung jawab yang kita pegang dan ada tangan yang dapat kita genggam dan itu halal (ciyeeee...). dan satu hal lagi, ketika khawatir dengan pandangan orang seperti yang kamu bilang tadi, saat itu kamu tidak akan khawatir tentang itu, toh ada telinga yang bisa senantiasa mendengar curhatmu, ada mata yang selalu melihatmu, dan ada tangan yang bisa kau genggam kemanapun kamu pergi tanpa ada yang bilang kalau itu menyimpang, bukankah itu kebebasan yang lain?.

Tertawa, sepakat dengan argumenmu kawan...enaknya menjadi bujangan itu hanya ada pada lagunya bang Rhoma Irama. Sudahlah jangan semakin dalam mengeruk dalam hati yang galau akan kepemilikan status, biar yang ini selesai dulu kemudian yang itu dilanjutkan tinggal beberapa langkah lagi kok. Asal rumah yang akan diketuk tidak berubah jalan atau penghuni rumahnya pindah rumah ke alamat lain hahahah...
.
Ikut tertawa....semangat kawan...semua akan indah pada waktunya kok..

Tersenyum, iya...salam untuk keluargamu kawan... dan minta doanya, suatu saat pada masa itu tiba (cepat atau sedikit lambat) saya pasti akan membutuhkan kamu..
...Masih ingatkah kau kawan dengan lagu dangdut yang sekaligus mars bujangan kita dahulu, ayo kita nyanyikan bersama....masak..masak sendiri, makan..makan sendiri, cuci baju sendiri tidurpun sendiri...hahahahah

Suara panggilan dari TOA masjid menggema, menandakan panggilan untuk para pemenang bagi yang memenuhi panggilan tersebut. Adzan untuk sholat Isya. Bergegaslah ke masjid, apa jadinya kewajiban kita atas-Nya ditempatkan dibawah tuntutan kita atas-Nya....


Surakarta, 23 April 2013
(catatan atas percakapan imajiner, atau apologia untuk sebuah curahan hati saat ini kepada masa akan datang, ironis! heheh)

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.