Selepas sholat magrib di
Masjid, seperti biasa waktu isya akan kami tunggu dengan berbincang apa saja.
Memang hari itu tidak seperti biasanya, bulan malam ini hadir lebih awal.
Bentuknya bulat utuh, dengan pancaran sinar yang berbayang karena awan
disekitarnya sedang mendung. Semoga saja tetap begitu, agar bulan tetap
menemani jiwa-jiwa petualang malam ini hingga pertemuan dengan fajar.
Seorang teman mengatakan
kepada saya, menjadi bujangan itu enak ya? Kemana-mana tidak perlu khawatir
karena cuman sendiri, tidak banyak mikir ini itu tentang istri dan anak. Karena
kebetulan teman ini sudah menikah dan kecenderungan petualangan masa mudanya
masih kuat makanya dia berkata seperti itu.
Saya jawab, tidak.
Menjadi bujangan itu tidak enak, menjadi bujangan yang enak itu hanya ada pada lirik
awal lagu bujangannya bang Rhoma Irama. Selanjutnya tidak ada enaknya, kalau
lagi susah, banyak pikiran, dan kehilangan arah, setidaknya kalau punya
pendampingkan bisa saling mengisi dan mengingatkan. Karena kalau sesama teman
lelaki, apa iya kita bisa sepenuhnya curhat dan berbagi dengan dia, apalagi
kalau sampai dekat karena sering curhat bersama, yang ada pandangan orang-orang
akan sedikit menyimpanglah kami. Ironis kawan.
Dia cuman bisa tertawa,
kemudian dia mengomentari, kamu terpancing sama pertanyaanku kawan. Ternyata
jiwamu sekarang tengah berontak untuk status sebagai bujangan yang kini masih ada
padamu. Jiwamu kini tengah terombang ambing pada pilihan-pilihan untuk
melepaskan sebuah status bujangan. Rhoma Irama? Iya, hanya Rhoma Irama yang
mempertanyakan bujangan itu enak, tapi toh itu cuman dalam lirik awal lagunya
dan kenyataanya sekarang? Siapa yang menyangkal kalau saya sandingkan Rhoma
Irama dan Poligami dalam realitas kehidupannya?
Mengumpat! Asemm....
saya kembali bertanya padanya, jiwa yang memberontak? Apakah pemberontakan itu
akan seperti layaknya pemberontakan lainnya, bahwa pemberontakan menghalalkan
segalanya? Apapun itu, dalam pemberontakan otomatis mendapat status
“dibolehkan”.
Sekarang dia terpojok,
kemudian berkomentar....tidak begitu kawan, pemberontakan jiwa yang murni dan
bagian dari sunnah-Nya itu, berbeda dengan pemberontakan karena merasa di tindas
atau pemberontakan lainnya. ini pemberontakan yang baik, bukankan menikah dan
melepas status bujangan itu adalah bagian dari menyempurnakan agamamu.
Menjagamu dari perbuatan tercela, zina. Serta menikah adalah jalan membuka
jalan rejeki yang lebih bagimu.
Hmmm...kembali menyerang
dengan pertanyaan (makanya jangan memancing di hati yang galau), tadi kamu
bilang mengenai kebebasan kawan. Apa menikah menjanjikan kebebasan lainnya,
seperti yang kita miliki pada saat bujangan? Kamu yang memulai kawan, jangan
biarkan hati yang memberontak tak memiliki papan petunjuk arah karena
pertanyaan tadi. Heheh...
Tersenyum, lalu
menjawab...iya, bentuk kebebasan lain. Bahkan lebih indah dan lebih bebas dari
yang kamu dapatkan pada saat bujangan seperti saat ini. namun saya tidak bisa
menjelaskan detailnya bagaimana, tapi saya akan meilustrasikannya padamu hingga
nanti saatnya kamu merasakannya sendiri ketika sudah menikah.
Hmmm...bagaimana itu?
(penasaran)
Menarik napas panjang,
begini kawan...kebebasan yang kamu anggap saat ini hanyalah sebagian dari
kebebasan yang sebenarnya. Ketika menikah nanti bukan berarti kamu akan
terbelenggu dengan statusmu saat itu, malah disitulah kebebasanmu menentukan
jalan hidupmu sendiri dengan pasanganmu kelak. Tidak ada yang berhak campur
tangan didalamnya, sepenuhnya berada dalam genggamanmu. Terkait kebebasan pergi
kemana-mana tanpa perlu khawatir dengan siapa-siapa, itu pandangan
individualistik. Ketika telah menikah berpergian kemana-mana akan lebih terasa
indah dengan pasangan, ada tanggung jawab yang kita pegang dan ada tangan yang
dapat kita genggam dan itu halal (ciyeeee...). dan satu hal lagi, ketika
khawatir dengan pandangan orang seperti yang kamu bilang tadi, saat itu kamu
tidak akan khawatir tentang itu, toh ada telinga yang bisa senantiasa mendengar
curhatmu, ada mata yang selalu melihatmu, dan ada tangan yang bisa kau genggam
kemanapun kamu pergi tanpa ada yang bilang kalau itu menyimpang, bukankah itu
kebebasan yang lain?.
Tertawa, sepakat dengan
argumenmu kawan...enaknya menjadi bujangan itu hanya ada pada lagunya bang
Rhoma Irama. Sudahlah jangan semakin dalam mengeruk dalam hati yang galau akan
kepemilikan status, biar yang ini selesai dulu kemudian yang itu dilanjutkan
tinggal beberapa langkah lagi kok. Asal rumah yang akan diketuk tidak berubah
jalan atau penghuni rumahnya pindah rumah ke alamat lain hahahah...
.
Ikut tertawa....semangat
kawan...semua akan indah pada waktunya kok..
Tersenyum, iya...salam untuk keluargamu kawan... dan minta
doanya, suatu saat pada masa itu tiba (cepat atau sedikit lambat) saya pasti
akan membutuhkan kamu..
...Masih ingatkah kau kawan dengan lagu dangdut yang
sekaligus mars bujangan kita dahulu, ayo kita nyanyikan bersama....masak..masak sendiri, makan..makan sendiri,
cuci baju sendiri tidurpun sendiri...hahahahah
Suara panggilan dari TOA
masjid menggema, menandakan panggilan untuk para pemenang bagi yang memenuhi
panggilan tersebut. Adzan untuk sholat Isya. Bergegaslah ke masjid, apa jadinya
kewajiban kita atas-Nya ditempatkan dibawah tuntutan kita atas-Nya....
Surakarta, 23 April 2013
(catatan atas percakapan imajiner, atau apologia
untuk sebuah curahan hati saat ini kepada masa akan datang, ironis! heheh)
Komentar