Sumber Gambar Disini |
Namanya
Zahwa, siswa di salah satu sekolah menengah pertama Kota Baubau. Film DIlan,
membuat dia penasaran dengan novel yang ditulis oleh Pidi Baiq itu. Namun,
setelah melihat novel tersebut ia kurang tertarik. Apa pasal? Novelnya terlalu
banyak tulisannya, kata dia. Lalu ditambahkannya, saya suka kalau baca buku itu
yang banyak gambarnya, sa rasa sakit kepalaku liat tulisan semua satu buku
***
Zahwa
merupakan salah satu potret perilaku generasi Z kadang juga disebut iGen, atau
yang diklasifikasikan pada mereka yang terlahir pada pertengahan tahun 1999
hingga pertengahan 2000-an. Kita mungkin lebih akrab dengan istilah Generasi
Milenial atau generasi Y, yang terlahir pada tahun 1980 hingga tahun 2000. Dalam dekade terakhir juga, generasi
milenial hingga generasi Z ramai diteliti mulai dari preferensi politik,
ekonomi, hingga gaya hidupnya.
Lalu bagaimana preferensi generasi tersebut dengan
minat bacanya?, selayaknya cara zahwa memaknai membaca tadi. Boleh jadi, kini
telah terjadi proses membaca yang bertransformasi pada apa yang dibaca, bukan
pada cara membacanya. Menurut sejumlah penelitian, menyebutkan bahwa minat baca
masyarakat Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara. Bahkan menurut
Unesco (2017), data minat baca masyarakat Indonesia hanya berada pada point
0,001 atau dalam 1000 orang hanya ada 1 orang yang memilki minat membaca.
Tidak dapat dipungkiri memang minat baca kita masih
begitu rendah, apalagi hal ini jika diamati pada komunitas anak-anak. Namun,
rendahnya minat membaca tidak dapat dikaji pada seberapa banyak buku yang
dibaca. Sejatinya, variable lain juga perlu diperhatikan misalnya aksesibilitas
pada buku bacaan, Media pendukung aktivitas membaca seperti ketersediaan
perpustakaan, pendapatan masyarakat yang memungkinkan untuk bisa membeli buku,
hingga konten bacaan yang digemari oleh masyarakat kita.
Kita tidak mungkin bisa membandingkan minat baca
masyarakat di Jakarta, dengan minat baca masyarakat di Kota Baubau, kan?. Tapi,
sebagai jalan untuk mengidentifikasi sekaligus meningkatkan minat baca, kita
dapat mengkaji hal ini dari perkembangan perilaku masyarakat secara umum.
Kini perilaku masyarakat berubah, hal ini salah
satunya adalah perkembangan teknologi informasi. Menurut Data, pengguna internet di Indonesia mencapai
132,7 juta orang, Indonesia menjadi negara nomor 3 pengguna terbanyak internet.
Sementara itu, 130 Juta terkategori sebagai pengguna aktif media sosial atau
netizen, dan sebanyak 60%.nya mengaksesnya lewat smartphone mereka (goodnewsfromindonesia.id, 2017).
Dari
data tersebut juga, bahwa generasi milenial (Y) dan generasi Z, adalah generasi
sangat akrab dengan teknologi utamanya teknologi informasi, dimana sebanyak 35,2%
akses mereka pada informasi dilakukan melalui media sosial, lalu browser
internet 26,1%, Televisi 14,4%, dan sisanya melalui messenger, youtube dan
media lainnya (tirto.id; 2017). Dengan begitu, sejatinya aktivitas membaca
mengalami pergeseran yang dahulu melalui buku, saat ini membaca memiliki
berbagai media baik online maupun offline.
Dengan
mengamati kecenderungan perubahan perilaku ini, tentu dapat menjadi sarana kita
untuk kemudian merumuskan solusi dalam meningkatkan minat baca masyarakat.
Pendekatan berbasis output bisa menjadi catatan khusus untuk itu. Mengingat
bahwa, saat ini buku boleh jadi bukan saja satu-satunya sumber bacaan, namun
setiap hal yang bisa menjadi sarana untuk dapat dibaca. Music, gambar, seni,
budaya, tekstur, rasa, warna dan sebagiannya, bisa menjadi aktivitas membaca.
Media membaca kemudian berubah dari aktivitas membaca teks dalam buku, menjadi aktivitas
apa yang saja bisa dibaca.
Lalu
apa yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan potensi tersebut, sebagai upaya
meningkatkan minat baca masyarakat secara umum?.
Secara
khusus di Kota Baubau, belum ada data yang pasti mengenai aktivitas dunia maya
maupun media sosial. Namun, kita akan mahfum dengan fenomena bahwa saat ini
hampir setiap anak dibekali oleh orang tuanya dengan gadget, begitupun orang
dewasa. Meningkatkan minat baca, sejatinya mengikuti pola perilaku yang tengah
terjadi di masyarakat secara umum. Beberapa sarana yang bisa dilakukan antaran
lain;
1. Perubahan mindset bersama, bahwa kita juga mesti memahami bahwa literasi
tidak saja membaca teks yang ada pada buku, literasi (membaca) bisa berbentuk
menyesuaikan output yang diinginkan atau diminati oleh pembaca. Misalnya,
gambar bagi sebagian orang lebih mudah dipahami dalam proses memperoleh
pengetahuan, berdasar itu literasi lalu berbentuk literasi visual. Begitu juga
pada sebagian orang yang lebih mudah memahami sesuatu pada suara (audio),
tekstur (seni/ pengindraan), budaya hingga ilustrasi kreatif dari teknologi.
Dengan begitu, literasi (membaca) saat ini menjadi sesuatu yang begitu dinamis,
sepanjang pesan dan konten masih memegang peranan penting.
2. Penyediaan sarana dan prasarana
membaca yang optimal. Adanya akses yang baik terhadap bacaan akan sangat
memengaruhi tumbuhnya minat. Perpustakaan tiap kelurahan harus dapat dihidupkan
bukan saja dengan buku-buku, namun akses internet juga diperlukan. Kehadiran
sarana perpustakaan digital menjadi penting untuk membuka keterbatasan
perpustakaan berbasis buku-buku.
3. Lingkungan rumah dan sekolah menjadi role model. Bahwa minat baca dapat
tumbuh dari lingkungan rumah yang ramah terhadap budaya baca. Pada beberapa
daerah memberlakukan jam belajar untuk anak-anak, hal ini bisa diikuti dengan
menambahkan perlu adanya kegiatan membaca 15 menit setiap kali sebelum memulai
pelajaran di sekolah.
4. Kolaborasi bersama komunitas. Dalam
hal ini, pemerintah daerah tidak bisa menutup mata dengan kehadiran berbagai
komunitas atau kelompok masyarakat. Mulai dari yang bergerak bidang sosial,
lingkungan, pendidikan sampai usaha kreatif mestinya diberikan ruang
partisipasi untuk bersama-sama mengkampayekan budaya membaca kepada masyarakat.
5. Public
space yang ramah terhadap
aktivitas membaca. Hal ini diperlukan mengingat aktivitas membaca juga
memerlukan ruang yang nyaman. Pada beberapa ruang public kita sejatinya layak
dijadikan tempat membaca yang baik, hanya saja belum ada keberpihakan khusus
mengenai tempat-tempat yang disedikan untuk membaca maupun berdiskusi yang
nyaman.
***
Zahwa
boleh jadi boleh jadi hanyalah salah satu contoh dari bagaimana minat baca
masyarakat Kota Baubau saat ini. Akan tetapi, kondisi real di masyarakat kita perlu diakui bahwa budaya membaca masih
begitu berjarak dengan kita. Pemenuhan sarana dan prasarana perpustakaan
sebagai pemicu minat baca, masih perlu adanya perubahan mindset, kolaborasi antar pihak hingga dukungan pemerintah daerah
dalam bentuk kebijakan.
Kelak,
zahwa yang sakit kepala melihat jejeran huruf untuk membaca sebuah buku. Akan
tetap mencintai membaca melalui sarana yang lain, film, music ataupun storytelling dari komunitas tentang isi
sebuah buku. Membaca kelak bukan soal mengamati teks saja, namun memahami
realitas kontekstual.
Referensi
[1]
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/02/06/inilah-perkembangan-digital-indonesia-tahun-2018
[2]
https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX
Komentar