Langsung ke konten utama

Res Publica




(Sebuah tinjauan filosofis)

Oleh : Andy Arya Maulana Wijaya

Dengan melihat judul dari tulisan ini kita sudah dibawah ke pada sebuah pandangan mengenai bentuk negara kita, yakni Republik. Ini dapat dibenarkan karena asal bahasa dari republik adalah res publika yang berarti adanya kepentingan bersama. Namun dalam tulisan ini kemudian akan dikemukakan mengenai asal muasal dan pengertian awal dari asal kata res publica tersebut. Dan untuk itu penulis akan melihat lebih jauh dalam pemahaman filosofisnya, maka ketika itu bisa saja kemudian kita beranggapan bahwa filosofis pasti berpikir dengan membingungkan atau sebuah pemahaman yang rumit.
Belajar filsafat memang bagi sebagian orang merupakan sebuah kerumitan tersendiri, dengan asumsi, preposisi dan postulat beserta argumennya yang rumit, ataupun kondisi berfilsafat di asumsikan berada dalam kondisi merumitkan diri dalam pengetahuan, padahal filsafat merupakan mother of sciece (ibu dari pengetahuan) namun penulis tidak akan membahasnya lebih jauh karena dengan mempertanyakan seperti itupun kita sudah menjalani sebuah proses berfilsafat.
Pemikiran tentang res pulica atau sering juga disebut sebagai republikanisme ini diawali dari pemikiran zaman yunani kuno yang kemudian mengakar hingga tradisi modern. Dan kemudian pemahaman tentang respublika atau republikanisme menjadi sebuah pemahaman dalam kehidupan politik pemerintahan dalam masyarakat. Pola-pola ini pula yang dijalankan dalam konsep negara republik ataupun partai-partai republik seperti di amerika serikat.

Sekilas Konsep Dasar Republikanisme
Republikanisme adalah sebuah tradisi modern yang memiliki akar panjang dalam tradisi klasik. Sebagai warisan pemikiran fundamental dunia politik ia merenatang sejak zaman yunani kuno dan roma oleh Aristoteles dan Cicero, kemudian ke Machiavelli di era awal zaman pertengahan hingga ke Hannah Arendt dan Philip Pettit pada abad ke 20.
Sedangkan inspirasi utama dalam prakteknya tentang republikanisme berasal dari pola-pola kehidupan polis di yunani kuno. Sebagai pandangan filsafat dan politiknya bisa didapat dari Aristoteles. Maka dari itu untuk melakukan peninjauan secara filosofis arti dari pemikiran republikanisme kita akan menyadur lebih banyak dari konsepsi yang Aristoteles.
Konsep dasar dari ajaran Republikanisme yang paling awal terkandung pada konsep zoon politikon atau homo politicus, yakni manusia sebagai mahluk politik. Aristoteles sendiri mengartikan politik sebagai upaya untuk mencapai eudamonia (hidup baik). Maka dengan hal ini ditekankan adalah bahwa manusia harus berpolitik atau mengambil peran aktif sebagai warga polis, karena berpolitik berarti merealisasikan tujuan-tujuan yang paling mulia dalam hidup manusia (Robert,2007: 8). Dunia politik zaman yunani kuno inilah yang dinamakan polis atau res publica.
Sedangkan Plato yang merupakan pendahulu Aristoteles mengartikan res publica sebagai dimana wilayah eidos (ide) direalisir. Sebagaimana kita ketahui Plato membagi dua jenis realitas yakni eidos (ide) dan morphe (tubuh). Dimana Plato beranggapan bahwa eidos itu mulia dan berketetapan dan morphe selalu berubah. Dengan begitu maka dapat disimpulkan pandangan Plato tentang Respublica sebagai sebuah upaya yang mulia dan berketetapan karena dia merupakan realitas dari eidos tersebut.
Dari argumen tersebutlah kemudian Aristoteles mengembangkan konsepsinya tentang res publica. yang kemudian prakteknya di dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu dibaginya kedalam res publica dan res privata. Ide-ide dan gagasan mengenai pembentukan dunia yang adil dan baik ditegakkan terdapat dalam res publica sedangkan urusan dalam hal ekonomi, keluarga, reproduksi diurus dalam res privata. Sehingga dari hal tersebut kemudian arena politik atau polis kemudian dipisahkan dengan arena privat. Maka konsespsi awal dari res publica kemudian di artikan sebagai arena dimana manusia merealisasikan tujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama.
Kemudian pada perjalanannya Res Publica mengalami tranformasi menjadi Republik pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf dan negarawan romawi kuno Cicero (106-43 SM). Yang dikemukakannya dalam bukunya berjudul De Re Publica, ia menegaskan bahwa re publica adalah ajaran yang menganjurkan agar pemerintahan dibentuk sedemikian rupa agar melayani prinsip-prinsip dan kepentingan warga (Held, 1996)
Dalam perjalananya pun konsep res publica (republikanisme) mengalami masa naik turun mulai dari dengan menguatnya ajaran Kristen pada waktu itu yang kemudian menggantikan istilah yang dikemukakan oleh Aristoteles yaitu homo politicus (manusia sebagai mahluk politik) menjadi homo credens (manusia sebagai mahluk yang percaya kepada Allah) perubahan ini sifatnya radikal yang menjadikan republikanisme mengalami kemunduran. Dimana untuk merealisasikan tujuan kehidupan bersama yang bahagia melalui polis atau arena politik digantikan oleh doktrin gereja sebagai perwakilan kerajaan Tuhan di bumi, dan dengan menjadi homo credens-lah tujuan-tujuan itu akan direalisasikan oleh pengaturan gereja pada waktu itu.
Hingga akhirnnya kemudian pada abad ke-11 M, yang dimulai di daerah-daerah italia yang waktu itu menjalankan kehidupannya dengan mandiri dari otoritas gereja dan kepausan dengan mendirikan dewan administrasinya sendiri (consuls) dan dikepalai oleh podesta. Hal inilah kemudian disebutkan oleh para ahli sebagai upaya kebangkitan kembali istilah republikanisme, setidaknya J.A Pocock melihat hal ini sebagai republikanisme melalui dua hal yakni adanya partisipasi rakyat dan pengakomodasian kepentingan rakyat dalam aras politik. Kemudian pada masa ini melahirkan para ahli yang menambah khasanah konsepsi dari ide republikanisme tersebut seperti Cicero, Marsilius (1275-1342) hingga machiavelli (1469-1527) yang kesemuanya menenkankan adanya kedaulatan rakyat dan didasarkan pada untuk mengakomodasi kepentingan rakyat.



Landasan Filosofis Res Publika

Ide res publika atau dikenal hingga kini dengan istilah republikanisme merupakan ide yang berdasar pada adanya kedaulatan dan pencapaian kebaikan bersama rakyat. Keinginan itulah yang kemudian menjadikan ide republikanisme menjadi topik pengkajian pada ahli di bidang politik pemerintahan mulai dari Aristoteles hingga sekarang dikenal nama Hannah Arendt dan Charles Taylor.
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon atau mahluk politik berdasar bahwa melalui politiklah merupakan aktivitas tertinggi manusia untuk menyalurkan kepentingan dan tujuan bersama mereka, hal ini juga kemudian yang menjadikan manusia bukan hanya sebagai mahluk sosial melainkan manusia mempunyai seperangkat kemampuan bahasa dan pengetahuan (logos) yang menuntut mereka saling mengkomunikasikan kepentingan-kepentingannya dalam hukum yang dipatuhi dan dengan pendidikan yang membentuk karakter masyarakat yang kemudian ditujukan untuk menciptakan kebaikan bersama dalam hidupnya (eudamemonia).
Kemudian cicero memandang manusia sebagai mahluk sosial sehingga masyarakat membentuk kelompok-kelompok bkan hanya untuk memenuhi kebutuhan material mereka namun kebutuhan untuk keluar, terlibat dan tampil. Pandangan cicero tentang republi lebih meluas ke sebuah kerangka kemitraan masyarakat yang diikat oleh hukum untuk mewujudkan keadilan. (bersambung)

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.