Langsung ke konten utama

Riset itu Perkara Ikhlas dan Giat, Bukan Urusan Ringkas dan Pangkat.

"Negara kita butuh pakar-pakar *gila* untuk Riset"
= Prof. Mien A Rifai =

Penggalan kalimat diatas, adalah pesan terakhir eehh...bukan, maksudnya pesan sebagai nasehat di akhir kegiatan klinik penulisan karya ilmiah. Pesan ini begitu menghentak menurut saya, kok bisa sih riset di asosiasikan sama kata "gila". Apa iya, harus jadi gila untuk jadi periset?.

Ini catatan hari ketiga mengikuti klinik. Membuka forum, kami langsung di perhadapkan pada prosesi "terapi" naskah kita. Saya sekaligus meminta nasehat kepda pembimbing saya, Prof Ali Saukah yang begitu sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan kami, sekalipun kadang-kadang begitu tidak nyambungnya.

Nah, dalam prosesi penutupan yang saat itu dihadiri oleh Dir. Pengelolaan Kekayaan Intelektual dan juga Ketua LPPM Undhyra Bali yang begitu "good looking". Ada pesan-pesan nasehat yang beliau sampaikan, dan tentu akan saya bagikan dalam tulisan pendek ini.

Pertama; Riset untuk pengembangan. Saya ingat betul perkataan beliau tentang, kenapa kita masih begitu tertinggal dalam hal pengelolaan kekayaan alam kita yang begitu melimpah. yaa..karena memang kita enggan melakukan riset untuk mengembangkannya. Beliau mencontohkan, ada tanaman obat asli Indonesia yang akhirnya menjadi hak paten negara lain karena kita tak pernah menjadikannya objek riset. Lainnya, banyak yang berlaku demikian. Untungnya Onde-Onde khas buton, belum dipatenkan oleh negara lain.

Kedua; Jangan Malas Bertanya, Untuk Mendapatkan banyak info. Sebagai peneliti ini penting, pesan beliau. Bertanya tidak akan menjadikanmu nampak bodoh, namun kita akan mendapatkan banyak wawasan. Lalu, biasanya inspirasi riset juga bisa berasal dari situ, tinggal dibarengi juga dengan kemampuan membaca dan menulis yang baik.

Ketiga; Jadikan tiap butir tulisan menjadi manfaat. Sebenarnya ini pertanyaan penting dari proses riset kita, seperti apa manfaat riset kita?. Pesan beliau, jadikan tiap butir dalam riset kita itu menjadi manfaat. Intinya, ikhlas lah dalam riset. Riset itu untuk mencerdaskan bangsa, bukan kejar-kejaran pangkat dan penggugur kewajiban.

Keempat; Harus "Berani". Ada pesan yang begitu powerfull, disamping pembawaan Prof. Mien yang begitu asyik, terbuka dan juga kritis pedas. Kata-kata ini mendapat sambutan meriah dari peserta dan panitia, apa sebab?. Pernyataan ini cukup berani, karena beliau menantang kami untuk berani merubah keadaan yang begitu mapan di kalangan riset dosen. Rubah paradigma dalam riset kalian, bukan banyaknya namun manfaatnya, dan itu dilihat dari seberapa banyak yang menvisitasi (merujuk) hasil riset anda.

Lalu, bagaimana dengan status quo di kampus masing-masing. Kata beliau, jalani saja dulu jika itu sukar dilakukan bersamaan. Toh mereka yang tidak mau berubah itu bakal pensiun juga, kata beliau. Semua peserta bertepuk tangan. Beliau menambahkan, kompetisi kedepan seorang dosen bukan tentang dengan siapa ia berkompetisi, namun bagaimana ia berkompetisi dengan dirinya sendiri.

Kelima; Pengalaman Lintas Sektoral. Kata beliau, jangan tabu dengan keilmuan orang lain, kolaborasi tidak masalah. Pengalaman kita dengan keilmuan yang tidak terbatasi pada satu sektor saja, juga penting membangun kepakaran. Saya melihat dari sosok Profesor yang satu ini, apa yang kita tanyai, beliau dapat menjawabnya, padahal saya tahu keilmuan beliau adalah biologi.

Namun, sejatinya selain pesan-pesan menggugah tersebut. Ada satu hal yang begitu, menggugah hingga alam bawah sadar saya tentang beliau, apa itu?. Rahasia. Tentu ini buat diri saya sendiri.

Tapi, jika penasaran juga dengan itu. Mulailah melakukan riset yang berdampak dan manfaat. Karena ada kata orang bijak, kita akan bertemu dengan orang yang se-frekuensi dengan kita. Mungkin dengan riset, kita akan menemu banyak tokoh-tokoh riset di Indonesia. Semoga saya bertemu lagi dengan beliau. Sehat selalu prof..

Kamu...iyaa..kamu mau ketemu, Coba saja...sama-sama mulai menulis..:)

Terakhir, pesan beliau "Riset itu pesan konstitusi kita, mencerdaskan kehidupan bangsa".

Semoga bermanfaat..

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...