Langsung ke konten utama

REJECTED!

Mereka Yang Risih Untuk Berubah

Saya masih ingat betul dengan diskusi kala itu dengan seorang dosen favorit saya, beliau bilang setiap hal pasti berubah nak, sekecil apapun itu, hanya saja kita tidak begitu memiliki kesadaran tentang itu. Perubahan itu pasti, yang tidak pasti adalah perubahan itu sendiri. kata beliau, menutup diskusi.

Ini penggalan diskusi lampau yang hingga kini masih saya ingat betul, pun ketika hari ini bercerita tentang sedikit curhatan teman tentang perubahan. Tepatnya, tentang usahanya untuk meyakinkan berbagai pihak di instansinya tentang konsep efisiensi kinerja yang tengah dijalankan disosialisaikannya.

Dari itu juga, saya kemudian mengingat-ngingat kembali beberapa buku yang membahas tentang ini. Dan, buku karya Rhenal Kasali (2017) “Disruption”, sepertinya memberikan gambaran tentang cerita teman ini. Tentang perubahan, dan tentu perubahan pasti melahirkan dua pihak yang bersebrangan, menerima (accepted) atau menolak (rejected).

Tanpa niat untuk menggurui, mengingat teman ini lebih tua dari segi umur beberapa tahun, juga tentu telah banyak mengoleksi pengalaman. Saya mah apa atuh?, hanya saja memberi masukan sebagai bentuk kepedulian dan dukungan, sepertinya perlu. Tentu memang, setelah ia meminta untuk diberikan masukan.

Banyak hal yang terjadi, tentu perlu diikuti cara kita menyikapi kejadian tersebut. Begitupun dengan sebuah perubahan, siap tidak siap mentari besok akan tetap terbit dan tentu bilangan tanggal pun ikut berubah. Begitu sederhanya gambafan perubahan. Lalu, bagaimana dengan sebuah kinerja pada instansi?, tentu saja akan ikut berubah.

Perubahan tentu mendekati banyak hal, mulai dari tuntutan terhadap kinerja hingga sejumlah faktor eksternal atau lingkungan yang turut memberi pengaruh terhadap kinerja sebuah instansi. Sebut sajalah dalam pengelolaan organisasi, yang berinteraksi secara langsung dengan publik. Semakin efisien tentu mendongkrak persepsi positif publik terhadap instansi kita. Penjelasan saya ini masih begitu terpengaruh latar keilmuan saya.

Saya coba menyederhakan konsep, karena perubahan yang dijalankannya berhubungan dengan pihak-pihak yang belum begitu mengerti manfaatnya, namun sudah enggan untuk menyelidikinya terlebih dahulu. Yang dihadapi pada persoalan ini adalah,mindset untuk rejected atau penolakan. Sekalipun hal ini tentu tidak terang-terangan, namun banyaknya alasan sudah bisa menjadi indikasi untuk itu.

Perubahan ke arah efisiensi kinerja tentu baik, bagi siapa saja utamanya konsumen atau masyarakat. Namun, namanya efisiensi tentu akan “memotong” banyak hal. Dulunya, kinerja melewati beberapa “pos” yang tentu berkonsekuensi pada ketersediaan “kue” yang terbagi. Siapa yang paling merasakan hal ini?, kalau kata Rhenald Kasali tentu para incumbent. Siapa mereka?, tentu mereka yang risih untuk berubah, karena sudah begitu nyaman dan beruntung dengan situasi yang dulu.

Tatkala, soal-soal berhubungan dengan periuk dan panamba, saya percaya bahwa akan ada ruang yang begitu berdinamika. Seperti contohnya, program efisiensi kinerja yang teman saya tawarkan. Disaat ada beberapa oknum yang bisa memanfaatkan jalur lambat atau lama ini, sebagai keuntungan sedikit terganggu, maka penolakan akan terjadi. Siapa sih yang mau porsi kue di piringnya tiba-tiba dikurangi?, tidak laa...

Saya lalu teringat sama penggalan buku Rhenal Kasali tentang ini, ketika perubahan itu menawarkan efisiensi, tentu mensyaratkan proses belajar kembali terhadap sistem, dan proses belajar ini yang sedikit banyak dipertimbangkan, apalagi jika telah muncul rasa cukup belajar dalam diri. Tentu, penolakan, alasan dan konvrontasi bisa saja terjadi dengan ide teman ini.

Dengan berusaha untuk tetap proporsional, saya mencoba membei motivasi sedikit. Saya teringat sama dosen pembimbing sewaktu mengikuti klinik penulisan karya ilmiah tempo hari, beliau bilang “dibalik sebuah perubahan besar, mesti ada orang-orang yang cukup “gila” untuk mengawal perubahan tersebut. Ini bukan tugas mudah, makanya yang waras tak begitu diperlukan, ketimbang yang gila”.

Sekalipun, tidak berhubungan langsung dengan hal itu. Saya merasa untuk bisa menentukan sikap, saya siap jadi orang gila juga untuk membersamai perubahan ini. Jika hari ini pendapat mereka dirasa sulit, toh itulah gunanya sistem yang telah di buat. Memberikan pemahaman kepada masyarakat, untuk selanjutnya melakukan sendiri.

Saya juga sebenarnya tak habis pikir sama penolakan terhadap sebuah perubahan, tentu teman ini tidak sedang bermain-main tanpa perhitungan. Saya percaya itu, dan tentu ia punya analisa tertentu terkait hal ini. Namun, namanya menuntun perubahan, maka berdiri di garda terdepan untuk itu tentu tidak sedikit menerima berbagai macam kritikan.

Namun, tak ada yang begitu mampu bertahan lama tanpa berubah (kecuali iklan cat ternama itu), hanya kecuali pada perubahan itu sendiri, bukan?. Boleh jadi hari ini, perubahan dirasa begitu memberi beban lebih namun kedepan perubahan ini justru menjadi hal yang begitu dicari-cari.

Terakhir, saya berucap padanya. Jika penolakan berada pada kelas menengah dalam institusi, maka sikap pemimpin akan sangat diperlukan. Jika ia sebagai pemimpin berani berdiri paling depan mendukung hal ini, tentu yang lain spontan mengikuti. Tantangannya, apakah teman ini bisa meyakinkan pemimpinnya?.

Pastinya, dalam urusan publik. Tentu, pro kontra akan ada. Para pengabai perubahan ini harus ikut berubah, jika tidak mau tetap berdiri di tempat, lalu hilang tertinggal oleh perubahan. Menurut saya yang kita perlukan itu adalah mulai menyadari tuntutan publik, yang mana meninabobokkan dan yang mana mengajarkan. Perubahan mindset, adalah hal yang pertama kali.

#my1stbook
#njangkroeng!
#freewriting_matilampu

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.