Langsung ke konten utama

Masih, Harjuna

Dalam era medsos yang begitu ramai, pedang dan senjata bukan saja menjadi alat yang efektif untuk melukai seseorang. Namun, jari dan lidah menjadi alat yang begitu menghancurkan. Seperti setnov yang terkenal lihai dalam kasus, tinggal tunjuk maka lolos hukum.

Sebagian orang, melihat kesalahan dan kekeliruan sebagai alasan untuk mencela yang semestinya sebagai orang yang tahu kita perlu memperbaikinya, membetulkan yang sedang salah. Tapi, mencela begitu menyenangkan memang.

**
Hari ini, saya bertemu kembali dengan harjuna. Pernah saya menulis juga tentang sosoknya. Seorang mahasiswa tuna runggu, di universitas muhammadiyah buton. Kini ia adalah mahasiswa senior, mengingat beberapa bulan kedepan ia "naik" kelas karena kehadiran mahasiswa baru di kampus.

Sebenarnya pertemunnya tak disengaja, pun tak berselang begitu lama. Karena kemarinnya saya juga ketemu dengannya, hanya saja hari ini saya ingin ngobrol sama dia. Berdiri depan kampus, dan posisi saya yang sedang mencari tempat parkir motor sehabis kegiatan di luar, saya mengurungkan niat untuk memarkir motor dan menanyai harjuna mau kemana. Pulang katanya, saya menawarkan diri untuk mengantarnya.

Sepanjang jalan kami ngobrol, tanya kabar, proses perkuliahan yang dijalaninya, hingga kesulitan-kesulitan yang di jalaninya dan apa yang ia pelajari dari proses itu. Sesi curhat bisa disebut demikian, untungnya ia tidak bertanya ke saya mau curhat tentang cinta siapa lagi yang menggalaukanmu. Ahh..

Iseng sih, iya ini cukup iseng. Lalu keisengan ini membuat saya tersenyum-senyum saat pulang, bukan karena gila atau overdosis galau, tapi pelajaran yang diperoleh dari kejadian mengantar si harjuna.

Apa itu? Ini sebab kamu...iya kamuuu. Ehh...bukan dih. Tapi keheranan saya tentang harjuna. Pertama, ia mencoba menebak jenis motor saya. Pak, ini motorta motor fiz-r ka?, saya kaget. Bagaimana kamu tahu? Dari suaranya pak. Wah, wajar sih motor saya memang agak berisik juga berasap, untungnya yang ini gak disadarinya karena tak terlihat juga kan. Hanya mampu dirasakan, seperti ci***....ah..sudahlah. ehh..

Kedua, iseng ini beralasan sih. Saya cuman mau tahu bagaimana cara ia naik ojek pulang dari kampus ke asramanya. Kan abang ojeknya dan si harjuna tak saling kenal, juga mana tahu si abang ojek asrama si harjuna. Maka, saya ingin lihat cara ia mengenali bahwa asramanya telah sampai.

Dan....tepat beberapa meter dari lorong asramanya, saya coba untuk tetap stabilkan gas motor, biar tak begitu ketahuan dari suara motor bahwa kecepatan mulai menurun dan menandakan akan sampai tujuan. Tapi, dengan kaget namun tidak sampai meloncat turun dari motor. Harjuna, bilang "pak sampai disini saja, depan lorong". Ehh...harjuna, bagaimana kamu tahu kalau sudah sampai asramamu?.

Entengnya lagi, ia menjawab "insting pak". Lhaaa...apa perasaan hati yang tengah degup-degup menanti ukhti, juga bisa dibacanya dengan instingnya itu?. Tarik napas dalam-dalam, mencoba menormalkan napas biar tak terdeteksi sama insting si harjuna. Eehh..

Tapi intinya, saya salut. Tanpa melihat, ia bisa mengetahui sekitar dengan caranya. Makanya, untuk soal ini saya selalu tak bersepakat sama mereka yang bilang bahwa mereka ini kelompok yang memiliki keterbatasan. Lha...karena ukurannya pake ukuran kita, lalu membuat mereka terbatas?. Tidaklah, mereka punya sesuatu yang kita tidak punya. Seperti, seorang anak autis yang kini mengajar origami itu. Sebenarnya, siala yang terbatas?

**
Dari itu, saya belajar beberapa hal. Utamanya dari ramainya kita dalam bermedsos. Siapa yang berketerbatasan?, disaat kita bisa memberi solusi dan terlibat bergerak, tapi sukanya kita lebih untuk mencari cela dan mengkritisinya. Boleh sih, mengkritik tapi jika hanya duduk mengkritik bisa jadi kitalah yang memiliki keterbatasan.

Seperti bapak-bapak yang doyan duduk-duduk, lalau mengkritik kondisi yang ada. Namun, ketika balik dikririk malah menerbitkan hak angket jika yang mengkritik lembaga negara, atau pura-pura tak terjadi apa-apa jika yang mengkritik rakyat dimana mereka diberi hak untuk mewakili.

Catatan penting, mulailah belajar dari harjuna. Tentang kemampuannya menebak cinta dari suara dan meyakini sesuatu dari insting. Utamanya, dalam usaha mendapatkanmu...iyaa kamuu...

Ting!

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...