Langsung ke konten utama

Masker Beruang dan Belajar Blak-Blakan Ala Ramadan

Ditengah kehidupan sosial  yang begitu mengagungkan penampilan, aplikasi smartphone yang begitu canggih mengedit foto, dan medsos yang begitu memanjakan nalar narsisme. Nampaknya kita sulit menemukan ketulusan, yang mewujud dalam blak-blakan tentang realita.

Dari pertemuan sejenak dengan Ramadhan Ganteng Loji, hari minggu kemarin. Pelajaran tentang ketulusan yang begitu blak-blakan begitu menggoda untuk dituliskan. Apa itu?

Namanya Ramadhan, namun di akun instagramnya tertulis ramadan ganteng loji. Saya mem-follownya, lalu mulai mencari facebooknya untuk mendapat info terbaru tentangnya. Bukan karena apa-apa, atau karena standarisasi wajah ala kosmetik yang ramah mata, namun terangnya cara ia menjelaskan dirinya. Lucu, kocak namun sedikit "setengah".

Ramadan, begitu bersahabat. Bicaranya lurus, dalam artian tak ada yang ditahan-tahan, atau coba dihaluskan dengan istilah lain. Ia bicara apa adanya, apa yang terlintas, apa yang ada dihatinya, tulus. Saya pikir ini mulai sulit kita dapati di orang kebanyakan. Dimana, citra lebih diutamakan daripada realita.

Praktis, kita hari ini begitu menata foto dengan mengakali angel berfoto, menata kata dan senyum yang sejatinya kosong, lihat saja para tersangka koruptor, masih senyum dan menyapa. Tidak!, untuk ramadan yang blak-blakan.

Termasuk cita-cita ia untuk sekolah, mencari pacar, usahanya menggantikan ketenaran fildan, hingga pilihannya jatuh pada gadis bermasker bergambar beruang (untuk yang ini tak perlu penjelasan lebih lanjut).

Bagi sebagian orang, mungkin lucu dan ngawur. Tapi bagi saya itu pelajaran blak-blakan yang begitu tulus. Bukan seperti kita, suka namun malu-malu mengakui. Mau, tapi mempersyaratkan banyak ketentuan. Cinta, tapi dalam hati....ehhh.

Seperti rindu yang tertahan, gaya blak-blakan ala ramadan menampar kita atas sebuah ketulusan. Ramadhan mengingatkan kita atas topeng-topeng yang kita buat ketika berhadapan dengan orang lain.

Hari itu ada yang menarik dari ramadan, sambil berlalu bersama abang ojek. Ia menoleh dan sedikit teriak, "salamku buat si masker beruang, katanya!". Saya tersenyum, memberi dua jempol.

Menutup pelajaran tentang ramadan ganteng loji, saya ingin mengutipkan sebait puisi candra malik, buatnya;

"Mendekati kau yang menjauhi aku adalah ikhtiar risau untuk melampaui ragu.
Jika pun terpisah, bukan karena berpisah, bukan pula memisah darimu.
Bagiku, jarak dan waktu adalah gerak rindu."

Barangkali itu berguna buatnya...
Untuk tidak lupa selalu Bahagia...

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

Catatan Cucu Nonton Debat

Selain banyak hal yang coba diterka secara tajam oleh netizen. Tak begitu banyak gesture, gimmick hingga konten debat yang bisa saya analisa seperti lihainya pada netizen sekalian. Hanya saja, ada hal menarik yang saya sangat suka dengan situasi semalam. Bikin adem dan suasanya yang semula panas menjadi begitu menyejukkan, hingga akhirnya ditutup dengan lagu dari si Bintang RRI itu.

MAS LAUDE

Hari itu habis hujan, masih sedikit gerimis. Jalan masih begitu basah, kelokan jalan poros baubau-pasarwajo saat itu cukup licin. Saya berhati-hati memacu motor, untuk pulang dari mengajar di pasarwajo menuju Baubau. Pelan berjalan, saya melihat motor yang begitu familiar. Merah hitam, khas motor punya mas laude (panggilan saya pada Mustama Tamar Goqill). Tidak jauh, tepat di warung-warung tepi jalan, ia muncul sambil tersenyum.