Langsung ke konten utama

Proses Belajar itu Proses Memahami Diri Sendiri

Picture From Here

Dalam belajar, kita tentu akan menemukan banyak pemahaman tentang berbagai hal. Belajar menjadikan kita memahami sesuatu yang belum diketahui menjadi sesuatu yang di ketahui. Perolehan pengetahuan yang kemudian menjadi sebuah ilmu, yakni dilalui melalui proses belajar. Namun, seyogyanya belajar itu adalah akan menyadarkan kita mengenai pemahaman tentang diri sendiri. Menurut saya, belajar itu seperti apapun khazanah yang ditelusuri dalam prosesnya tapi menjurus pada satu hal, memahami diri sendiri.


Belajar adalah sebuah proses memahami, menempatkan, mengerti mengenai manusia sebagaimana manusia. Dalam belajar tersebut kemudian, kita menemukan diri dari luasnya ilmu pengetahuan. Semakin banyak kita belajar, maka kita akan diarahkan pada satu hal, yakni memahami diri sendiri. Belajar dengan tujuan mengubah dunia, maka tentu akan menuntun kita pada pemahaman bahwa hal paling utama untuk dirubah adalah diri sendiri. Pepatah cina mengatakan, seribu langkah dimulai dari satu langkah kecil.

Seperti kata Ustad AA Gym, bahwa mulai dari sekarang, dari yang kecil dan dari diri sendiri. Komponen dalam proses belajarpun, akan menuntun kita untuk dapat memahami posisi diri sendiri. Misalnya saja, belajar mengenai bagaimana membuat sebuah perubahan di masyarakat maka sesuatu yang dirubah pertama adalah diri sendiri. Disini akan ditemukan bahwa pemahaman diri sendiri adalah esensi dari sebuah pembelajar. Karena seorang pembelajar sejati adalah kemudian dapat menemukan dirinya sendiri.
Ada sebuah adagium, membaca satu buku menjadikan seseorang ingin merubah dunia namun setelah banyak buku yang dibaca semakin menyadarkan seseorang bahwa yang perlu dirubah itu adalah diri sendiri.

Saya punya pengalaman dengan ini, bagaimana saya belajar untuk memahami seseorang, teman dekat. Dengan serangkaian hipotesa saya tentang perilaku yang ditunjukkannya, melahirkan banyak perkiraan-perkiraan yang ditujukan kepada teman itu. untuk kemudian menguatkan itu, saya coba bertanya pada teman-teman yang lain untuk menguatkan proses memahami teman tadi, dalam versiku. Ternyata bisa dibilang, berbeda. Saya belajar memahami orang dengan perkiraan saya sendiri, bukan berasal dari bagaimana orang yang bersangkutan.

Padagilirannya apa yang saya persangkakan itu, yang menjadi proses saya memahami akan hal itu sangat jauh. Karena biar bagaimanapun pasti berbeda satu orang dan orang lain dalam memberikan pemahaman terhadap sebuah sikap. Saya kemudian menyadari bahwa, sesuatu yang terlupa dari proses saya memahami teman tadi adalah saya belum mampu memahami diri sendiri. Ego yang kemudian dikedepankan disini menjadi penghalang saya dalam belajar. Maka seyogyanya memahami diri sendiri dikedepankan dalam memahami orang lain.

Jika kita mengharapkan orang lain percaya pada kita, maka kita mesti percaya pada diri sendiri dahulu. Belajar memahami diri sendiri dahulu, maka mengajarkan kita pada satu hal mengenai keikhlasan. Ikhlas yang berasal dari dalam diri bukan sesuatu yang dihadirkan karena kondisi diluar diri. Contoh misalnya, tersenyum pada tetangga pada saat bertemu di jalan. Ikhlas dalam senyum tersebut adalah tersenyum karena memang tersenyum tersebut lahir dari dalam diri, bukan karena dia tetangga kita dan agar kelihatan ramah maka mesti tersenyum padanya. Karena jika didasarkan pada keikhlasan, maka tersenyum pada siapapun itu akan senantiasa hadir jika kita bertemu seseorang. Ikhlas itu mensyaratkan dirinya sendiri, bukan sesuatu diluar diri sendiri.

Contoh lainnya, yang kemudian menuntun kita pada pemahaman diri dalam belajar. Misalnya saja kita belajar tentang Negara yang mana dipersyaratkan sebuah negara ada jika terdapat wilayah, pemerintahan, dan penduduk. Kita belajar tentang negara membawa kita memahami mesti ada wilayah, belajar mengenai wilayah membawa kita memahami tentang keberadaan pemerintahan, dan belajar mengenai pemerintahan membawa kita memahami bahwa mesti ada penduduk sebagai orientasi keberadaanya. Dalam penduduklah kemudian kita menemui diri sendiri, bagaimana memahami diri sendiri kemudian memahami sebuah negara yang baik.

Semakin dalam kita menyelami proses belajar, maka kita akan lebih memahami diri. Semakin dalam kita menyelam dalam ilmu pengetahuan, kita malah akan dipertemukan dengan diri sendiri. Belajar mengenai masyarakat, semakin dalam mempelajarinya akan menuntun kita pada diri sendirilah yang menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Seperti itulah mungkin maksud dari barangsiapa memahami dirinya sendiri, maka akan memahami Allah.

Makadari itu, belajar seyogyanya menjadikan diri sendiri sebagai sumber kebijaksanaan. Karena seperti apapun pemahaman kita pada orang lain tanpa didasarkan pemahaman pada diri sendiri adalah kosong. Bagaimana mungkin kita menuntut orang untuk mengerti tentang apa yang kita katakan terhadapnya, sebelum kita mencoba bagaimana jika perkataan itu ditujukan kepada kita. Kalau memang kita sendiri tidak mengerti jika diperhadapkan dengan kata itu, bagaimana mungkin orang lain akan mengerti.

Menuntut orang lain untuk lebih memahami kita, bagaimana keinginan-keinginan kita, bagaimana kesukaan kita, tanpa terlebih dahulu memahami keinginan dan kesukaan orang lain dan sebaliknya jika berlaku pada kita. Maka janganlah mengharap orang lain untuk senantiasa tersenyum pada kita, padahal kita sendiri tidak pernah tersenyum pada orang lain. Selalu membalikkan sesuatu yang ingin atau tidak ingin berlaku pada kita terhadap diri sendiri dulu sebelum ke orang lain, adalah tindakan yang bijak.

Kalau memang dipukul itu kita merasa tidak suka, lalu kenapa kita mesti memukul orang lain? Kalau memang kita tidak suka orang lain mengatakan kejelekan kita, lalu kenapa kita mengatakan kejelekan orang lain? Berkaca pada diri sendiri dahulu sebelum melakukan sesuatu keorang lain adalah bagian dari proses belajar. Belajar itu adalah memahami diri sendiri. Maka Belajar Belajar Belajar.

_Surakarta, 19/02/2013_

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya,

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).