Langsung ke konten utama

Menjadi Kelompok yang Sedikit; Kenapa Takut?

Gambar disini

Beberapa orang mengikuti sesuatu karena beranggapan banyak orang yang melakukan hal tersebut, terlepas apakah hal itu baik atau buruk baginya. Kondisi ini juga dicerminkan dalam sistem hari ini, dimana mayoritas adalah patokan dilakukannya sesuatu dan kecenderungan mengeyampingkan kondisi minoritas menjadi konsekuensi terjadinya hal ini.

Pihak yang sedikit seringkali menjadi bagian yang terpinggirkan, karena tidak memiliki basis dukungan yang kuat. Dalam Pemilu dan Pilkada contohnya, kelompok yang sedikit (dalam perolehan suara) diposisikan sebagai pihak yang kalah. Lalu kenapa dengan menjadi bagian dari kelompok yang sedikit? Kalau memang benar kenapa mesti takut?. Ingat bahwa pemimpin adalah kelompok sedikit, dan memiliki pengikut banyak. Para tokoh-tokoh dunia adalah mereka yang dari kelompok yang sedikit, namun mampu menjadi individu transformatif di dalam masyarakat banyak.


Menjadi kelompok yang sedikit dalam hal ini minoritas, bukan berarti tidak memiliki kekuatan. Padahal dengan kelompok yang sedikit ini, sebagai penyeimbang atau bahkan pengatur dari kelompok yang banyak. Bukankah kelompok yang sedikit selalu menjadi penentu dalam suatu komunitas, bagaimana sebuah majelis yang hanya merupakan representasi dari masyarakat, jika diperbandingkan dengan masyarakat maka akan menjadi kelompok yang sedikit, bukan?

Dalam organisasi maupun pergerakan, menjadi kelompok yang sedikit dalam kuantitas bukan berarti kelompok ini lemah. Namun selama konsisten dan tetap pada arah gerakan, bukan berarti kelompok yang sedikit ini menjadi lemah. Lihatlah bagaimana kelompok (sedikit) dari bangsa ini pada tahun 1928 melahirkan sumpah pemuda, kemudian pada tahun 1945 melahirkan Proklamasi Republik Indonesia dan banyak hal yang dilakukan sebagian (sedikit) dari keseluruhan masyarakat.

Kelompok yang sedikit ini juga memiliki kemuliaan tersendiri dalam Agama Islam, memang disadari bahwa Islam hadir dengan Kitabullah Al Qur’an sebagai Rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua). Namun beberapa ayat disebutkan bagaimana, hanya ada sebagian (sedikit) kelompok yang menjadi hamba yang tercerahkan untuk memberikan pencerahan bagi umat manusia. Para Nabi dan Rasul adalah bagian dari kelompok yang sedikit ini, para tabi’in, sohiful saleh, para ahli ibadah, ulama, adalah kelompok yang sedikit pula. Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman ;
“Dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Al Imran [2]; 104).

Dalam ayat tersebut disebutkan sekelompok, hal ini mengacu pada tidak semua jadi pada posisinya maksud sekelompok adalah bagian yang sedikit dari umat. Nah, lalu kenapa menjadi sedikit dalam pergerakan kita lalu banyak mempertimbangkan ini itu dan sebagainya karena jumlah yang sedikit, padahal diayat tersebut dikatakan bahwa itulah orang-orang yang beruntung. Dalam sebuah riwayat yang pernah saya baca, disebutkan mengenai kisah Khalifah Umar bin Khattab r.a. yaitu;

Imam Ahmad bin Hanbal, dalam bukunya Az Zuhud meriwayatkan bahwa suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan di sebuah pasar. Saat melintas, dia mendengar seorang laki-laki sedang berdoa.
Dalam pandangan Umar, orang itu berdoa dengan aneh dan tak biasa, orang itu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk kelompok orang yang sedikit.”
Merasa aneh dengan cara berdoa orang itu, Umar mendatanginya seraya bertanya, “Wahai hamba Allah, siapa yang engkau maksud dengan kelompok orang sedikit itu? dan, dari mana engkau mendapatkan doa yang demikian itu?”

Lelaki itu menjawab,”Aku mendengar Allah berfirman, Dan, tidaklah beriman bersamanya (Nuh), kecuali sedikit. (QS Hud [11] :40). Kemudian pada ayat lain, aku mendengar Allah berfirman, “Dan hanya sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS Saba [34]: 13). Mendengar jawaban cerdas dari lelaki itu, Umar berkata,” setiap orang lebih faqih (ahli) daripada Umar”.

Kondisi saat ini, terkadang sebagian orang merasa terkucilkan jika menjadi kelompok yang sedikit. Apalagi hal ini menyangkut idealisme pemikiran, ketika diperhadapkan dengan pilihan kelompok yang banyak padahal belum tentu juga yang banyak itu adalah pendapat yang benar, namun kita kemudian merasa terkucilkan. Apakah kita ingin menjadi copernicus dan galileo modern? Yang harus tunduk pada otoritas (kelompok banyak) atas pengetahuan yang belakangan adalah sebuah kebenaran?

Menjadi kelompok yang sedikit dalam hal kehidupan sehari-hari juga demikian, kita dipersudutkan pada gelombang yang kebanyakan. Bahasa gaulnya adalah Globalisasi dan modernisme, bahkan anak kecil mulai menggunakan kata-kata ini untuk mengejek kawannya yang penampilannya agak tertinggal dengan sebutan kampungan. Karena bisa saja dari kelompok yang sedikit ini kemudian terlahir pemimpin atau tokoh yang dapat mengubah pandangan manusia. Apa yang tidak mungkin dengan semaian bibit-bibit kebesaran oleh Sang Maha Besar bagi hamba-Nya yang berusaha?.

Memberikan pendirian pada sesuatu walaupun menjadi kelompok yang sedikit, memang tidak mudah ditengah-tengah mainstream publik yang lebih cenderung promayoritas. Namun apapun itu selama hal itu mengandung kebenaran mesti dilakukan, keterkucilan, penyingkiran, pencibiran oleh mayoritas bisa saja terjadi, namun jika dikelola malah bisa menjadi kekuatan tersendiri. Teladan Rasulullah Saw pun, dalam menyampaikan ajarannya beranjak dari hal ini namun kemudian apa yang beliau lakukan bisa dilihat hingga hari ini.

Kembali pada kisah diatas, lelaki yang mengajarkan kita tentang kemantapan iman untuk melawan kecenderungan besar berdasar nilai-nilai yang diyakini, islam. Untuk bertahan pada kondisi mayoritas seperti hari ini adalah tidak mudah. Namun kebenaran tidak perlu dijelaskan karena kebenaran akan menjelaskan dirinya sendiri. Saat ini yang sedang merasa galau karena masuk dalam kelompok yang sedikit, bersabarlah dan tetap berusaha karena janji Allah Swt kapanpun di inginkan-Nya kita tidak kuasa menolaknya.

Menjadi kelompok yang sedikit, kenapa takut? Kita sedikit bukan karena jumlah kita sedikit kemudian lemah, namun kita sedikit karena memang kebenaran hanya sedikit yang menyadarinya, jiwa-jiwa yang tercerahkan hanya dimiliki oleh sebagian yang melakukan pencarian, kesadaran hanya dimiliki oleh kelompok yang sedikit yang menambah sedikit cita rasa sabar dalam pencariannya, dan hanya bagian dari kelompok yang sedikit yang akan menjadi pemimpin, orang besar. Karena tidak mungkin dalam suatu negara semuanya menjadi pemimpin, kan?

Karena itu, bersyukurlah karena hanya sedikit orang yang diberi pemahaman oleh Allah Swt atas keberadaannya dan kebermanfaatannya di dunia ini. Dan, perlu kita sadari bahwa orang yang siap untuk melakukan demikian itu sangatlah sedikit. Maka, tak ada salahnya apabila kita berdoa dengan cara yang sama seperti lelaki dalam kisah diatas. “Allahumma ij’alni min ‘ibadika al-qaliil. (Ya Allah, jadikanlah aku bagian dari hamba-hamba-Mu yang sedikit)”. Amin.

_Surakarta,03/02/2012_

Komentar

duniasketsa mengatakan…
Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim)
Njangkroeng! mengatakan…
sketsa, iya...:)
semoga kita bisa belajar dari yg sedikit itu...aamiin

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.