Langsung ke konten utama

Manifesto



Sebuah pesan yang menjadi manifesto diri, untuk dilaksanakan kelak;
“Kalau kita disini tidak usah khawatir, nak! Ini kampung kita, kamu itu yang ada dikampungnya orang baik-baik disana.
Sekalipun nanti kamu cuman punya gaji 1 rupiah disini, tetaplah kembali ke sini kampung kita. Membangun disini dan hidup disini, itu pesan terakhir (alm) Bapakmu.
Memang disana mungkin akan lebih menjanjikan kesejahteraan buatmu, tapi ini yang dari awal dibilang bapakmu. Itulah mengapa dulu, beliau tidak mengizinkan kita membangun dan tinggal di Ambon, padahal disana tempat usahanya dahulu. Karena beliau ingin, keluarganya itu semua ada dikampungnya tinggal, Butuny (Buton). Ingat itu nak!.”


Sebagian orang mungkin menganggap berkarier di daerah orang lain akan lebih menjanjikan, berbeda dengan yang didapati di daerah. kecuali bagi mereka yang punya koneksi maupun hubungan keluarga dengan kuasa di daerah. beberapa teman seringkali diperhadapkan dengan kondisi dilematis ini, termasuk saya juga kemudian seperti itu. kondisi ini didapati pada posisi sebagai pegawai negeri di daerah, ketika jaringan kekeluargaan dan kepunyaan yang tidak mampu menopang kuat, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa.

Anggapan ini berkembang secara terus menerus dalam benak generasi, bukan kemampuan yang akan dilihat dalam persaingan di daerah namun kemapanan. Terfokusnya pembagian “kesempatan” pada jaringan kuasa di daerah, tentu menjadi alasan beberapa teman yang kemudian memutuskan untuk lebih memfokuskan diri “mencari hidup” didaerah orang. Merantau atau menetap di daerah dimana mereka menuntut ilmu merupakan pilihan rasional.

Disini bisa dikatakan berlakunya adagium, “halaman tetangga lebih hijau ketimbang halaman sendiri”. Pilihan ini diambil, sebagai konsekuensi hidup, siapapun tentu memiliki alasan kuat untuk dapat berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya atau bisa jadi alasan untuk mengaktualisasikan diri. Karena mungkin saja daerah kurang memberikan perhatian pada kemampuan yang dimilikinya, ketimbang daerah lain yang membutuhkannya.

Lalu pertanyaannya kemudian, kenapa saya menuliskan diawal percakapan yang menginginkan saya kembali kederah? Keinginan ini berasal dari alm. Bapak entah apa yang menjadi rencana atau niatan untuk anaknya ini, ketika harus kembali ke daerah sekalipun itu sulit secara ekonomi. Awalnya saya berpikir bahwa ini, mungkin pada waktu itu beliau tidak ingin masa tuanya dilewati tanpa anak-anaknya disampingnya. Namun bisa jadi ada pesan moral yang sangat besar jika saya ingin menyerapi makna tersirat dari hal ini.

Pada situasi ini juga, saya sebenarnya tidak terlalu sepakat dengan adagium “halaman tetangga lebih hijau ketimbang halaman sendiri”, hal ini terjadi jika kita tidak merawat dan menyiram halaman sendiri makanya tidak sehijau halaman tetangga yang terawat. Bagaimana mungkin kita mengharapkan sesuatu itu dengan muncul sendiri tanpa usaha, bisa saja jika mau yang tumbuh itu adalah rumput dan semak belukar. Hehe..

Saya jadi teringat dengan pertanyaan teman, kita punya tambang aspal tapi kok jalan didaerah kita masih saja rusak? Bisa juga diartikan sebagai, kenapa kita memiliki sumber daya alam melimpah namun kita tidak bisa menikmatinya. Jawaban singkat yang saya berikan adalah kita memiliki SDM yang lebih memilih keluar kedaerah lain untuk berkarya ketimbang di daerah, sehingga kita tidak bisa menentukan sendiri nasib SDA yang kita miliki. Setelah memberi jawaban itu, saya kemudian kembali berpikir apa iya ya? Sebabnya apa? Lalu saya sendiri berada pada posisi yang mana?

Jadi ingat juga, dengan potongan film Habibie dan Ainun. Pada saat dimana Habibie terserang penyakit yang membuatnya harus dirawat pada sebuah rumah sakit di Jerman. Beliau menuliskan manifestonya untuk kembali dan membangun Indonesia tercinta. Makanya kemudian saya jadi ingat dan ingin menuliskan pandangan saya atas pertanyaan yang ada, dan disambungkan dengan pesan yang diberikan oleh mama ke saya sebagai pesan terakhir alm. Bapak.

Pikiran saya kemudian mengarah pada hal tersebut, ini adalah sebuah pesan sekaligus sebuah manifesto yang dititipkan alm. Bapak untuk saya, anaknya. Seperti apapun kondisinya nanti, kembali ke daerah (Buton) adalah sebuah pilihan yang harus diambil dan dijalankan. Membaca novel Anak Kampung karangan Damien Dematra, yang berkisah tentang Guru Bangsa Buya Syafii Maarif, memberikan pencerahan atas sebuah pertanyaan-pertanyaan tersebut. Disitu dikatakan :
“Dalam sejarah dunia, mengamati kehidupan para tokoh penentu nasib manusia-pada kenyataanya, banyak orang besar yang dilahirkan dari tempat-tempat terpencil, dan Calau adalah salah satunya. Bagaimanapun terpencil dan terpelosoknya sebuah tempat-tidak ada terlalu terpencil bagi Sang Khalik Semesta. Ia yang bahkan mengetahui setiap detail yang terjadi di seantero jagad ini, dapat menyebarkan bibit-bibit rencana-Nya dimanapun Sang Khalik menginginkannya.(p.17)”

Sebuah kata yang langsung pada inti persoalan, menurut saya. Kenapa tidak, ketakutan kita saat ini adalah; bahwa saya mau jadi apa didaerah terpencil, apalagi ditambah dengan kemampuan bukanlah jaminan keberadaan namun, kemapanan.! Tapi apapun itu, dari kata-kata diatas bahwa Sang Khalik itu Maha Besar, dimanapun kamu berada dia tetap akan menjadi Maha Besar. Bukankah rekayasa-Nya selalu lebih indah dari yang kita bayangkan?.

Hari ini ketika kita masih saja membelenggukan diri pada capaian “anggapan” orang lain terhadap pencapaian, maka kita akan menjadi seperti sangkaan mereka dan bukan tidak mungkin hilanglah keberadaan identitas kita. Kita semestinya yang menentukan identitas kita mau menjadi seperti apa, bukan terhadap apa yang disematkan dikita sebagai konsekuensi keberadaan anggapan orang lain. Ingat bagaimana Habibie dengan gayanya yang khas, kemanapun beliau pergi dan bagaimanapun kondisinya, seluruh rakyat Indonesia hafal betul gaya beliau, cara berjalan, cara berbicara, mimik tubuh dsb.

Lalu apakah kondisi daerah yang terpencil dan dikuasai oleh sebagain kelompok kuasa dapat membelenggu kita yang berasal dari bagian dari keluarga kecil di daerah? saya pikir, anggapan ini cukup keliru. Berusaha semaksimal mungkin didaerah bukan berarti membelenggu kita dari masyarakat global. Hal ini terbukti melalui catatan sejarah kok, bagaimana kesultanan buton pada masanya dapat menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan belanda. Padahal kalau dipikir saat itu perhubungan dan teknologi masing sangat terbatas, lalu antara sudut asia dan sudut eropa bisa bertemu?. Lalu sekarang, dengan kondisi teknologi yang semakin maju, kenapa tidak? Di daerah berusaha?

Tidak banyak memang yang sepakat untuk berani sedikit “susah” didaerah, untuk kemudian dapat berusaha dan membangun daerah menjadi lebih baik. Tentunya dapat dikenal oleh khalayak nasional, dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki daerah. intinya disini bahwa, dimanapun kita memutuskan untuk hidup pada dasarnya usaha yang maksimal dari apa yang kita miliki, adalah prasyarat utama.

Pesan yang mengatakan “Sekalipun nanti kamu cuman punya gaji 1 rupiah disini, tetaplah kembali ke sini kampung kita”. Bukan menakut-nakuti bahwa kondisi ini akan terjadi, ini bisa jadi hanya sebagai kalimat penegas untuk tetap dapat memberikan kontribusi untuk daerah. bisa jadi, ketakutan kita malah lebih besar dari masalah kita. Hari inipun saya dapat sampai ke tanah jawa, bukan karena diusahakan melalui jalur tempat kuliah saya Makassar. Tapi murni dari kampung saya, Baubau (Buton), pada waktu itu saya cuman mencoba yang dalam pikiran saya, daerah terpencil pasti lebih diperhatikan dan Alhamdulillah sekarang setidaknya dapat menginjakkan kaki ke tanah jawa (lebay sih, heheh).

Konon dalam sebuah riwayat yang pernah saya baca, masyarakat buton itu terkenal dengan semangat kebahariaanya (sama seperti rivalnya, makassar). Namun jika untuk melakukan perkawinan selalu akan pulang ke tanah buton untuk melaksanakannya. Jadi sejauh apapun nanti keberadaanmu kembalilah untuk membangun kampung kita buton. Inilah kemudian yang menjadikan alasan saya untuk menuliskan manifesto ini.

Saya akan kembali ke kampung, membangun kampung. Menemani mama pada masa tuanya nanti, merawatnya sebagai pengabdian saya untuk “sedikit” pengorbanan beliau pada anak-anaknya. Sedikit banyak yang didapat nanti tidak menjadi masalah, toh Sang Khalik Maha Kaya, Maha Mendengar, Maha Besar, Maha Pemberi pada hamba-Nya yang meminta.

Bukan besar dan kecilnya yang didapat dijadikan orientasi usaha, namun seberapa keras, tekun, teliti dan sabar dalam mengusahakan dan melaksanakan suatu usaha. Dengan begitu segala sesuatunya akan terjalani dengan Ikhlas dan Ikhlas adalah pangkal mengikutnya berbagai macam keajaiban semesta atas janji-Nya pada hamba yang mau belajar dan berusaha.

_Surakarta,3/2/2013_

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.