Langsung ke konten utama

Nikah, Menjadi Bahasan Favorit




Dalam setiap kesempatan berbincang bersama teman seangkatan saat ini, nikah menjadi topik yang selalu saja mengundang simpatik untuk terus dibicarakan. Mulai dari siapa lagi teman yang akan nikah dalam waktu dekat, hingga membahas kriteria pasangan masing-masing, bahkan sampai bahasan dalam membijaki kenapa pada saat sekarang kami belum juga menikah.

Kalau dilihat dari kecenderungan masing-masing, menikah memang menjadi keinginan sekaligus bentuk kekhawatiran masing-masing. Kenapa tidak? Bagi lelaki mungkin tidak menjadi persoalan umur berapa mau nikah, tergantung dari kesiapan si lelaki untuk menikah dan membina keluarga. Namun bagi perempuan itu berbeda, umur akan sangat menentukan bagi mereka untuk melangsungkan pernikahan. Mengingat bahwa umur produktif perempuan memiliki batasan tertentu untuk memiliki anak, yang bagi pasangan dimanapun pasti dinanti untuk menggendong anak. Iya kan?

Nah, diskusi mengenai ini juga saya dan seorang teman lakukan dalam chatingan melalu media sosial. nikah seakan menjadi trending topic yang tidak ada habisnya diperbincangkan, mungkin hingga masing-masing melangsungkan pernikahannya. Komentar saya paling seputar bahwa bagi lelaki, menikah menjadi bentuk tanggungjawab yang besar baginya, makanya itu lelaki seringkali lebih banyak memakai logikanya.

Disamping itu juga, lelaki selalu diperhadapkan oleh keberaniannya mengutarakan. Jika mengutarakan pada pujaan hati mungkin menjadi biasa, karena anak SD pun mampu melakukan itu. Namun seorang lelaki untuk berani berbicara dengan orang tua pujaan hati, seringkali menjadi alasan yang selalu disembunyikan lelaki dengan berbagai alasan pembenaran yang dibuatnya. Hal serupa juga bisa terjadi pada saya sendiri kok, hehe..

Namun, perlu diperhatikan juga bahwa diskusi tentang nikah yang selalu menarik tersebut mesti dihadapi dengan bijak. Memang kekhawatiran umur, nafkah, dan sebagainya menjadi momok yang selalu mengikuti kita. Tapi mengeluh untuk itu bukanlah sesuatu yang bisa menjadikan waktu untuk kita mendapatkan pasangan idaman, dan menikah dengan segera akan tercapai tanpa usaha apapun. Saya pikir tidak, karena posisinya kita sendiri belum memantaskan diri.

Apapun komentar atau alasan kita hingga saat ini belum menikah, mestinya dihadapi dengan membijakinya untuk memantaskan diri terhadap sesuatu yang kita ingini dapatkan sebagai pasangan maupun dalam menikah nanti. Maksudnya apa, pada satu sisi memang siapapun dia akan mengharapkan mendapatkan pasangan yang baik dan membina keluarga yang baik pula, namun pada sisi lainnya jika kita menginkan kondisi tersebut berlaku pada diri, semestinya kita memantaskan diri baik dihadapan orang lain maupun Tuhan untuk bisa mendapatkan hal itu.

Bukankah jika menginginkan air dari sumur, kita mesti punya timba dan ember (atau wadah) untuk dapat mengangkut air dari dasar sumur?. Sederhanya bahwa memantaskan diri untuk mendapat seseorang yang baik, jelas bahwa kita sedang menyiapkan wadah untuk mendapatkan hal itu.

Selain itu, banyak sebagian kita yang terus bertanya kenapa waktu untuk nikah berjalan lambat. Teman-teman yang lain tidak seperti itu, mereka rata-rata sudah mendapatkan pasangannya dan menikah serta memiliki anak. Kekhawatiran akan keterlambatan nikah karena teman-teman sudah menikah wajar saja terjadi. Namun menganggap itu adalah keterlambatan, menurut saya tidak juga bijak. Karena masing-masing kita sudah memiliki waktu masing-masing untuk itu.

Intinya adalah tidak ada yang terlambat dalam menikah, semua punya waktu dan kondisi masing-masing untuk melangsungkannya. Tidak bisa kemudian kita mengambil standar seseorang dengan umur tertentu melangsungkan pernikahannya, untuk standarisasi lama atau tidaknya seseorang yang lain untuk menikah. Ingat bahwa masing-masing punya waktu yang ditentukan oleh Tuhan untuk menikah, bukankah rencana paling baik adalah dari Dia?, yakini ini dahulu.

Seorang teman (daya) mengatakan dan meyakini bahwa yang baik tentu akan dapat yang baik, namun yang baik seperti apa? Itu masih menjadi diskusi panjang. Karena sifat baik pada posisi yang sama, hanya akan memosisikan keduanya pada sifat yang monoton atau kaku. Seperti kutub magnet, jika kutub yang sama akan saling tolak menolak dan kutub yang beda akan tarik menarik. Padahal jodoh itu tidak mesti sama kan? makanya, nikah menurut teman itu adalah pelengkap.

Artinya apa, sama-sama baik itu adalah sifat yang termanifestasi pada perbuatan baik pada kekurangan yang ada dipasangannya dan sebaliknya juga begitu. Pelengkap tersebut dilihat pada saat salah satunya sakit, disaat susah, disaat bahagia, disaat kondisi paling buruk sekalipun mereka saling mengisi saling mengutuhkan. Sederhananya adalah disaat yang satu menangis maka yang satunya menenangkan, bukannya ikut menangis. Ini tafsiran awam kami yang belum menikah ini terhadap sebuah kata pelengkap!.

Banyak contoh tentang pelengkap ini dalam bahasan kami, daya menunjukkan pengalamannya dalam pelayanan rumah sakit. Pasangan tua yang saling menunggui disaat yang satu sakit, walaupun kemudian harus menerima dengan ikhlas ditinggalkan duluan dengan jawaban “saya ikhlas, sudah cukup juga usaha yang saya lakukan untuknya”. Atau pernah mendengar cerita tentang dua orang tua yang selalu bersama saling menemani, atau seorang istri yang ditinggal suaminya di usia yang masih sangat muda dan anak-anak kecilnya, namun si istri tidak menikah lagi karena tetap menjaga kesetiaan terhadap almarhum suaminya.

Ada kata-kata mutiara yang mengatakan, “jika saat itu saya ikhlas mencintaimu, maka saya juga mesti ikhlas ditinggalkan olehmu”. Bisa dibilang mungkin ini cinta sejati, namun saya sendiri dan kami tidak terlalu paham dengan makna cinta sejati tersebut. wajar saja diskusi kami akan sangat subjektif karena kami sendiri belum mengalaminya atau malah memahaminya. Namun saya juga mengakui subjektivitas ini karena bacaan dan beberapa cerita pengalaman yang pernah ditemui. Setidaknya hal ini bisa menjadi pengalaman bagi kami nantinya.

Haidar Bagir pernah mengatakan bahwa cinta sejati itu adalah kapituasi (penyerahan, menyerah) diri total tidak kondisional. Artinya apa, ketika manusia dihinggapi cinta sejati apapun akan dilakukannya terhadap kekasihnya, tidak perduli berbagai kondisi disekitarnya seperti apa. Wajar jika kita terkadang kita diperhadapkan oleh orang-orang yang rela hujan-hujanan untuk menunggu kekasihnya dan sebagainya.

Namun apapun itu, yakinlah bahwa menikah itu pelengkap. Tidak ada yang terlambat atau terlalu cepat menikah. Semua sudah punya waktu masing-masing untuk melakukan hal itu, semua sudah punya rekayasa Tuhan yang kita sebuat sebagai takdir. Terakhir, dalam sebuah film mengatakan jika kita menyadari yang terjadi di hidup kita adalah takdir-Nya, maka hidup kita akan sangat mudah kita jalani, tanpa mengeluh apalagi kecewa dengan hidup.

Mari merenungkan....

#Ceracau Minggu
2.03.2013

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.