Langsung ke konten utama

Bahasa Wong Cilik, Bahasa Kita



Pernah liat dibelakang mobil pete-pete (angkot.red), truk atau mobil box barang disekitar kita, biasanya ada tulisan-tulisan cukup nyeleneh di tuliskan di bagian belakang mobil tersebut. sebut saja misalnya, gembel elite, pulang malu ngaak pulang rindu, satu hati dua cinta, cintaku berat diongkos, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan kata-kata itu, namun jika kemudian ditelusuri bisa jadi ada pesan-pesan tersirat dari apa yang dituliskan tersebut. bahkan, pernah saya baca disuatu skripsi mahasiswa Universitas Hasanuddin, yang kemudian membahas mengenai fenomena kata-kata di belakang truk tersebut. saya tidak terlalu banyak mengingat apa yang di kaji dan dianalisis dalam skripsi tersebut, hanya saja ada beberapa hal alasan orang-orang menggunakan itu diantaranya sebagai bentuk pencitraan dan penarik perhatian orang-orang, disamping itu juga adalah bentuk curahan hati dari para pemilik truk tersebut.

Menariknya dari apa yang dituliskan itu bisa jadi sebagai bentuk bahasa wong cilik kita, bahasa masyarakat akar rumput yang lebih memberi kesan dari yang membacanya, selain itu kata-kata tersebut memiliki makna kelucuan tersendiri. Perlu juga diperhatikan bahwa, bisa saja media inilah yang kemudian lebih mudah menarik perhatian masyarakat khususnya di tataran akar rumput.

Sama seperti lagu dangdut yang lebih dekat dengan komunitas akar rumput atau wong cilik kita, atau saat ini yang lagi membahana adalah joged. Dengan bahasa dalam artian bagaimana mengkomunikasikan sesuatu kepada masyarakat wong cilik akan lebih mudah dengan hal ini. lihat saja, ketika ada konser dangdut misalnya atau ada ajang acara atau lomba joget, seakan-akan masyarakat kita lebih mudah dipengaruhi terhadap hal itu, maksudnya adalah perhatian publik lebih mudah didapati pada hal-hal seperti tersebut.

Menjadi catatan penting disini adalah pada ranah kebijakan publik maupun bagaimana mengelola pelayanan publik. terang saja, di daerah saya (Baubau) persoalan pelayanan boleh di bilang masih sangat problematik. Apa yang seringkali disebut sebagai patologi birokrasi memang terjadi di pelayanan publik kita, sehingga masyarakat akar rumput atau wong cilik membangun pikiran mereka bahwa berhubungan dengan pemerintah itu rumit.

Pernyataan itu cukup berasalan, beberapa bulan melakukan penelitian dengan secara berkala bertemu, bertatap muka, dan mewawancarai masyarakat dengan kegiatannya. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa berurusan dengan pemerintah itu rumit, susah memahami apa yang dimaksudkan pemerintah katanya. Pada gilirannya, pemahaman ini menjadikan apa yang diprogramkan pemerintah (mis. Pemerintah Kelurahan) terkadang menimbulkan resistensi dalam artian apatisme masyarakat untuk terlibat secara aktif didalamnya.

Disisi lain, kondisi ini menjadikan apa yang sudah dibangun atau dilakukan di tingkat komunitas kelurahan hanya berjalan secara rigid (kaku), tidak ada partisipasi maupun perhatian masyarakat. pada akhirnya, apa yang sudah dibangun oleh pemerintah seperti fasilitas umum akan rusak tak terawat. 

Artinya apa? Bahwa masyarakat tidak merasa memiliki apa yang sudah dibangun oleh pemerintah sebagai bagian dari kepemilikan mereka. Sudah selayaknya kemudian, kondisi ini dilihat sebagai sebuah pekerjaan rumah manajemen pemerintahan kita. Dengan lebih membangkitkan kepemilikan bersama dengan masyarakat (wong cilik) dalam artian penyelenggaraan pemerintahan, akan menjadikan sesuatu tersebut berjalan baik dan terawat.

Kaitannya dengan kata-kata di truk atau musik dangdut atau joget tadi, adalah bahasa yang dipakai publik kita. Pemerintah mesti dapat menangkap potensi tersebut, berbahasa sesuai dengan publik disekitarnya akan sangat diperlukan. Dalam artian bahwa bukan melafalkan bahasa mereka atau meniru bahasa mereka, namun pada sesuatu yang memang menjadi tugas pemerintah adalah pelayanan melalui program.

Maksud dari berbahasa seperti bahasa mereka adalah bahasa kebutuhan, identifikasi kebutuhan masyarakat akan sangat berarti bagi mengundang partisipasi masyarakat terhadap suatu program. Memang, terkadang masyarakat enggan untuk berpatisipasi karena menganggap pemerintah itu orang pintar, dan mereka tidak paham karena tidak sekolah. Maka dari itu, memahami mereka sebagai bagian dari suksesnya program pemerintah akan sangat diperlukan dalam artian menjadikan masyarakat bukan saja menjadi objek pembangunan, akan tetapi mereka adalah subjek dari pembangunan daerah.

Berbahasa seperti masyarakat tentu dilakukan tidak dengan meninggalkan apa yang menjadi bahasa yang digunakan pemerintah dalam bentuk SOP atau Juklak Juknis, mempertemukan atau menjebatani (bridging) kedua hal itu sangat diperlukan saat ini. good governance yang sering digaungkan akan tidak efektif jika ternyata secara teori melibatkan masyarakat, namun secara faktual pelibatan itu diterjemahkan dari kehadiran dalam rapat-rapat, bukan dalam kehadiran masyarakat untuk bersama merasa memiliki setiap program pemerintah yang ada di daerahnya.

Saat menuliskan ini, saya membayangkan sebuah tulisan di depan meja kelurahan atau bentuk instansi pelayanan lainnya bertuliskan “apa kebutuhanmu ka? Ceritakan pada kami”.

#Ceracau Jumat, 28/02.2014

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.