Langsung ke konten utama

Merawat Malas




Ketika awal melakukan penelitian, semangat ini seakan selalu menyala-nyala, semangat untuk menuliskan setiap perjalanan dalam wawancara, bertatap muka dengan masyarakat atau bergumul dengan kegiatan-kegiatan masyarakat yang menjadi objek penelitian. Karena saya yakin bahwa, setiap perjalanan pasti mengandung hikmah sekalipun cuman lahir dari hal-hal yang sepele.

Namun, apa yang hendak dituliskan itu selalu saja tersendat-sendat. Seandainya keong sekalipun yang diajak berlomba untuk menyusun kata perkata hikmah yang didapati selama melakukan penelitian, niscaya si keong akan menang. Bagaimana tidak, seringkali apa yang saya ingin tulis sebagai bahan cerita, hanya tersusun rapi dalam kepala dan terceritakan disana. 

Sangat rapi bahkan ada bahasa-bahasa unik yang saya susun, tapi dalam kepala saja mudah hilang, tidak seperti menuliskannya. Karena saya percayai bahwa menulis itu sebagai proses mengikat makna. Maka itu, entah sudah ada berapa pemikiran yang sudah terlewat begitu saja. Walaupun memang ketika mengendarai motor, selalu bermunculan ide-ide tersebut namun apa daya setelah sampai dirumah kembali lupa.

Sebenarnya lupa ini bukan karena ingatan yang kurang reaktif untuk selalu mengingat, tapi karena malas. Malas yang dirawat, sehingga melahirkan alasan-alasan yang sebetulnya tidak mesti ada. akan tetapi namanya malas tetap saja akan menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan diucapkan apalagi pada diri sendiri. Saya mesti akui ini, setidaknya dengan mulai mengakuinya ada pembelajaran sedikit yang bisa diikat melalui tulisan.

Jika kemudian, malas ini tidak terawat dalam diri ini, entah sudah ada berapa hikmah yang bakal dituliskan disini. Mulai dari mimpi-mimpi para nelayan, harapan para ibu-ibu pesisir, solidaritas pekerja rumput laut, kekeluargaan yang erat dalam keluarga pesisir, kehidupan anak-anak pesisir, sampai pernyataan-pernyataan emas dari para nelayan yang nota bene tidak pernah mengeyam pendidikan. 

Tentu ini berbeda jika kemudian apa yang kita dapati dalam sekolah, seminar-seminar yang dihadiri oleh orang-orang berpendidikan tinggi, yang terkadang apa yang dikatakannya seperti apa yang dikatakan buku-buku yang dibacanya. Lalu apa bedanya dengan kita membaca buku dengan mengikuti kelas mereka, paling adalah karena kita belum sempat membaca buku itu. saya mengatakan ini, bukan untuk merendahkan namun belum banyak yang bisa berbicara dan memberi inspirasi kehidupan dari bahasa yang dipahami oleh masyarakat akar rumput.

Apapun itu, saya tidak ubahnya sama saja atau bahkan lebih dengan yang saat ini saya tidak bersepakat. Karena apa? Saya masih saja merawat malas ini, sehingga jari-jari ini ikut malas menekan tuts laptop, atau malah pikiran ini yang menjadi malas berpikir. Jika kemudian ini terawat terus menerus, apa jadinya saya? Gelaran akademik hanya akan menjadi penambah nama, bukan penambah kebijaksanaan dalam menghadapi hidup. 

Bagaimana mungkin saya dengan misi dan visi saya kedepan, jika tabiat malas ini selalu terawat?. Saya mesti bisa tegas terhadap diri sendiri. Lihat saja mereka yang hari ini menjadi besar dan sukses, mereka tidak mendapatkannya dalam semalam seperti apa yang dikerjakan bandung bondowoso dengan candi prambanannya. Tapi mereka berani bertaruh dengan waktu, tenaga dan pikiran mereka untuk sesuatu yang ingin diwujudkannya.

Sekarang saya mesti berani untuk tegas terhadap diri sendiri, dan saya mesti berani mengatakan hari ini saya masih merawat dengan baik rasa malas ini. bahkan mulai merambah pada kemalasan dalam ibadah-ibadah sunah kepadaNya. Kayaknya penting memperhatikan apa yang dikatakan oleh Dr. Aidh Al Qarni yang terkenal dengan bukunya La Tahzan itu, bahwa bagaimana mungkin kita mengharapkan ridha Allah Swt, kalau kita sendiri tidak ridha terhadap apa yang Allah.

Artinya apa, jika memang kita mengharapkan Allah ridha dengan segala yang kita kerjakan namun kita tidak pernah ridha dengan pemberian Allah kepada kita, dengan selalu mengeluh dan mengeluh. Lalu apa yang kita harapkan sebenarnya? 

#Ceracau Jumat Sore
28.02.2014

Komentar

Tulisan Populer

Kenangan Kambing

Entahlah kemarin pada saat selesai membaca sebuah novel berjudul Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabichara, saya kemudian terkesan dengan semangat yang dimiliki oleh Dahlan dan Teman-temannya. Ada sebuah mozaik yang tertangkap oleh zaman dan akan terus terkenang oleh masa atas sebuah pencapaian mimpi anak manusia dan disertai dengan kerja keras. Banyak hal, banyak nilai yang dicatut dalam novel tersebut salah satu kata yang paling saya senangi dalam novel ini adalah “orang miskin cukup menjalani hidup dengan apa adanya”. Novel yang diangkat dari biografi hidup Dahlan Iskan (Menteri BUMN saat ini), walaupun begitu tetaplah cerita yang ditulisnya adalah sebuah fiksi yang ditambahkan bumbu tulisan disana-sini agar menarik tapi tetap memiliki keinginan kuat untuk menggambarkan kehidupan Dahlan Iskan, yang saat ini menjadi salah satu tokoh yang banyak menjadi inspirasi. Namun ada satu aktivitas Dahlan dalam cerita ini yang langsung memberi sebuah kenangan flashback bagi saya, ...

TANGKANAPO’: MENJADI GENERASI MILENIAL KOTA BAUBAU

Jika Dilan bilang rindu itu berat, justru menentukan pilihan politiklah yang berat. Gejala ini terdapat pada mereka generasi milenial, informasi begitu deras diperoleh namun tak begitu cukup memberi kesimpulan bagi generasi ini untuk menentukan pilihan politiknya kelak. Partisipasi dan rasionalitas terhadap lingkungan mereka cukup besar, akan tetapi menjadi apatis terhadap struktur bernegara juga begitu menghantui. **

Perempuan Yang Menolak Kalah

Lokasi Foto: Pelabuhan Feri Mawasangka, Buton Tengah Seringkali orang-orang hebat itu, bukan berasal dari kilaunya lampu kamera, ramainya kemunculannya pada televisi atau riuhnya sorak sorai orang-orang saat ia muncul. Tapi, kadang kala orang-orang hebat itu berada di tempat yang sunyi, jarang dilewati kebanyakan orang bahkan pada tempat yang seringkali tidak sadari. Mereka terus bergerak, memberi nilai, merubah keadaan dan mencipta keajaiban kecil bagi lingkungannya. Pada beberapa bulan lalu saya berkunjung ke panti asuhan yang sekaligus pesantren Al Ikhlas, Kaisabu. Seperti biasa, turun dari kendaraan saya bertanya pada salah seorang anak disitu. Ustad mana? Ia jawab, di dalam ada ummi. Lalu saya masuk, bertemu ummi. Pertanyaan pertama setelah mengenalkan diri, saya tanya "ummi, ustad mana?". Beliau terpaku sebentar, lalu tersenyum kemudian menjawab "ustad sudah tidak ada". Ada titik bening disudut mata beliau. Saya kembali bertanya,"maksudnya ummi?". ...