Langsung ke konten utama

Aryati

Picture Here



Aryati,
Dikau mawar asuhan rembulan
Aryati,
Dikau gemilang seribu pujaan
Dosakah hamba?
Mimpi berkasih dengan tuan
Ujung jarimu kucium mesra tadi malam
Dosakah hamba?,
Memuja dikau dalam mimpi
Hanya dalam mimpi
Aryati,
Dikau mawar ditaman khayalku
Tak mungkin dikau terpetik daku
Walaupun demikian nasibku
Namun aku bahagia,
 seribu satu malam
Aryati,

Sejenak membaca lirik lagu diatas maka akan dikira bahwa tulisan ini akan membahas mengenai lagu tersebut, tidak salah dan tidak sepenuhnya benar jika diperkirakan bergitu. Lirik lagu yang diciptakan oleh Marzuki Ismail tersebut memang cukup populer dimasanya, namun bahasan disini adalah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof.Dr.Ir. Muhammad Nuh., DEA. Pada perayaan Dies Natalis UNS ke-37 tertanggal 11 Maret 2013. Dimana pada pidatonya Pak Mentri (selanjutnya Prof. Nuh) membahas kemerosotan moral generasi bangsa dengan membandingkannya dengan mengutip lagu tersebut diatas.

Momentum Dies Natalis menurut Prof. Nuh mengandung 3 nilai yakni refleksi masa lalu, Informasi masalah terkini, dan antisipatif terhadap tantangan masa depan. Penekanan dari ketiga ini adalah bagaimana meramu suatu program untuk mengantisipasi tantangan masa depan bangsa dengan banyaknya masalah kemerosotan moral generasi bangsa saat ini.
Kemerosotan moral generasi saat ini dan penurunan nilai-nilai budi pekerti, beliau mengutip sebuah lagu karya Marzuki Ismail, dengan mengatakan bahwa bagaimana ajaran budipekerti dalam lagu tersebut yang kini hilang, “Aryati, Ujung jarimu kucium mesra tadi malam Dosakah hamba?” . Kata Beliau, Bahkan untuk mencium ujung jari Aryati dia masih bertanya Dosakah Hamba? Pun teryanta itu dilakukannya dalam mimpi. Lalu sekarang bagaimana? Bahkan bukan mimpi lagi, Silahkan menilai sendiri.

Beliau juga menambahkan bagaiman pentingnya ajaran moral budi pekerti bagi generasi bangsa, melalui Kurikulum 2013 yang saat ini sedang banyak menjadi perbincangan mencatut hal ini dengan melakukan penggabungan mata pelajaran serta penambahan jam pelajaran. Dengan menggabungkan mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman dan pembelajaran budi pekerti kepada siswa kemudian dengan didukung melalui penambahan jam pelajaran untuk itu. sehingga nanti ada mata pelajaran Agama Islam dan Budi pekerti, Agama Kristen dan Budi Pekerti, Agama Hindu dan Budi Pekerti.

Beliau menyampaikan bahwa, pemuda dan mahasiswa saat ini adalah generasi cemerlang bagi masa depan bangsa kedepannya. Mahasiswa itu seperti bayi yang memerlukan kasih sayang, perhatian dan pemenuhan kebutuhan lainnya (sarana dan prasarana). Kasih sayang dan perhatian adalah penting dalam mendidik generasi, jika tidak maka akan terbentuk sebuah generasi idiot yakni secara technical idiot maupun social idiot. Hal ini yang kemudian berkorelasi dengan kemerosotan nilai-nilai budi pekerti luhur. Sehingga tidak heran penyimpangan seringkali terjadi di generasi muda, perkelahian pelajar, tawuran mahasiswa dan sebagainya.

Generasi yang kompeten adalah hadiah yang paling berharga bagi suatu bangsa. Kompeten disini dibagi tiga yaitu menyangkut afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotorik (keterampilan). Namun yang penting menjadi perhatian disini adalah pada ranah afektif (sikap), yang pada esensinya pendidika itu untuk memanusiakan manusia. Jika pada ranah ini baik akan melahirkan kesejukan sosial yang berimplikasi pada keramahan sosial, kesantunan sosia, kesopanan sosial, indah bukan?.

Beliau menambahkan lagi, kalau pada saat mahasiswa-lah yang penting dalam penerapan itu semua. Karena tidak ada institusi pendidikan tertinggi lagi setelah perguruan tinggi, kalau SD, SMP dan SMA itu masih disebut sebagai siswa tapi di perguruan tinggi ditambahkan kata “maha” menjadi mahasiswa. Dengan bercanda beliau mengatakan “Lurah itu kuasa, camat itu kuasa, walikota itu kuasa, presiden itu kuasa tapi kalau bertemu yang Maha Kuasa, maka habislah!”.

Dibutuhkan sebuah bangunan creatif mind atau dalam bahasa agamanya ijtihad, bangsa ini membutuhkan generasi yang bisa melakukan hal tersebut. Karena setiap persoalan tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan pengetahuan saja. Misalnya perspektif terhadap suatu persoalan maka dalam ranah hukum akan mendasarkan pada baik dan benar, sedangkan ranah ekonomi akan mendasarkan pada untung rugi. Untuk itu diperlukan adanya berbagai pendekatan keilmuan dan termaktub dalam kerja creatif mind tersebut.

Ditambahkan, bahwa dalam creatif mind tersebut akan melahirkan sebuah kreatifitas, dan konsekuensi dari sebuah kreatifitas adalah perbedaan, keanekaragaman dan jika semakin banyak perbedaan tersebut maka potensi “class/konflik” semakin besar pula. Pada posisi ini maka diperlukan sebuah sikap saling menghargai. Nah disinilah peran penting dari nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan kepada generasi muda.

Bahasan mengenai perbedaan ini, beliau menyoroti kekayaan bangsa ini yang berdiri diatas perbedaan suku, ras, bangsa dan agama. Hal tersebut diyakini sebagai sebuah kekayaan yang perlu dihargai sebagai potensi kedepan bangsa. Menilai banyaknya issue mengenai pemisahan daerah karena perbedaan suku bangsa, beliau mengatakan “Indonesia itu ada karena perbedaan-perbedaan yang ada, bukan Indonesia kalau tidak ada Madura, Dayak, Papua, dan sebagainya. Juga bukan Indonesia kalau tidak ada Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Islam”. Untuk itu kita memerlukan pola pikir berbasis etika, untuk menghargai perbedaan yang ada dalam saking menghargai satu sama lain.

Terakhir beliau berpesan, bahwa UNS itu berbeda dengan kampus-kampus lainnya. UNS dengan usia yang masih cukup terbilang muda sudah mampu menunjukkan berbagai prestasi dibidangnya. Dan kata beliau “pemenang itu pasti beda” jadi jika mau jadi pemenang berebedalah dengan yang lain, dengan upaya creatif mind dan tidak lepas dari nilai berbasis etika tadi.

Menyinggung judicial review UU No 12 tahun 2012, karena kebetulan hadir pula ketua Mahkamah Konstitusi Prof Mahfud MD. Dimana beliau berpesan bahwa agar perguruan tinggi terutama UNS memberikan perhatian terhadap potensi serta kemampuan para generasi bangsa yang mampu secara intelektual namun kurang mampu dalam ekonomi untuk dapat diberikan keringanan dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. “berikan karpet merah bagi mereka yang pintar dan berasal dari keluarga kurang mampu, dan untuk judicial revies UU no.12/2012 yang mencantumkan  20% disisihkan untuk memberikan pembiayaan kepada mahasiswa kurang mampu tersebut tidak dicabut. Dengan bercanda beliau mengatakan “jika UU tersebut dicabut, entahlah bagaiman diakhirat mereka yang mencabut hak-hak anak keluarga miskin untuk bersekolah”, sambil disambut tawa para hadirin.

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.