Langsung ke konten utama

Maukah Kamu Memaafkan saya?



Manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari khilaf, ini seringkali menjadi pembenar bagi seseorang yang melakukan kesalahan. Tapi, bukan berarti khilaf itu adalah bagian dari harfiah manusia lalu kemudian kita sulit untuk dapat mengucap maaf, kan?. hal tersulit dari melakukan sesuatu adalah bukan pada saat kita salah melakukannya, namun bagaimana kita meminta maaf kerena telah salah melakukannya.

Seandainya semua hal yang dilakukan itu akan memberi nilainya sendiri-sendiri, mungkin kita akan tahu mana yang salah dan mana yang benar bagi orang sekitar kita. Namun, tiap-tiap orang memiliki pandangan yang berbeda dan persepsi yang berbeda. Boleh jadi, apa yang kita lakukan padanya adalah baik menurut kita namun bisa jadi buruk menurut orang lain.
Relatif, nilai yang hilang ini selalu kita absolutkan pada setiap tindakan kita karena ego. Keegoan kemudian menjadi pembenar bagi kita bahwa apa yang dilakukan sudahlah benar, tidak salah. Kita tahu setiap orang berbeda pandangan, namun kita selalu saja bilang, “toh ketika terjadi di saya tidak apa-apa kok”. Tidak salah, tapi mungkin cenderung keliru karena nilai yang kita anut bisa jauh berbeda dengan apa yang orang lain ketahui.

Saat ini entah berapa orang, berapa kali, berapa banyak, sesuatu yang selalu saja dilakukan namun tidak pernah mempertimbangkan bagaimana kondisi orang lain dengan itu?. cenderung melupa dengan apa yang dilakukan atau seringkali mengulang sesuatu, padahal itu bisa jadi menyakiti orang lain.

Pagi tadi, saya membaca sebuah sifat “mementingkan kepentingan orang lain” disambungkan dengan keutamaan akhlaq Rasulullah Saw terhadap orang lain. Saya terbawa pada sebuah refleksi atas perjalanan diri, sudahkan saya menyadari hal-hal kecil yang saya lakukan dahulu kemudian bertanya apakah itu menyinggung atau tidak terhadap perasaan orang lain? Bisa jadi banyak hal, banyak tindakan, banyak kata, banyak niat, tingkah laku yang menyakiti orang lain tanpa disadari.

Mengungkapkan kata maaf dan saya merasa bersalah, diluar ritual pada saat Idul Fitri bisa jadi hal yang berat. Bagaimana mungkin yang menurut kita baik-baik saja, lalu kemudian meminta maaf? Tapi, tidak mungkin kan menyesali setiap perilaku yang tersadar maupun tidak tersadar kita lakukan hanya pada setahun sekali, itupun kalau ingat. Ingat maksud disini adalah mengingat pernah dilakukan dan mengingat untuk tidak akan pernah dilakukan lagi.

Untuk itu, mungkin perjalanan umur saya, perjalanan pengalaman saya, perjalanan studi saya saat ini. bisa jadi pernah menyisakan sakit hati kepada orang-orang dan jeleknya, hal itu tanpa saya sadari. Dalam tingkah laku saya, dalam perkataan saya, bahkan mungkin dalam imajinasi saya, telah melakukan hal yang mestinya tidak dilakukan. Ini baru menyangkut yang tidak disadari, lalu bagaimana dengan yang disadari (sengaja) dilakukan. Padahal termasuk dosa besar adalah menyadari sebuah dosa namun tetap saja dilakukan, dengan alasan macam-macam.

Maka, saya memintakan maaf untuk setiap hal buruk tersebut. Apa yang disadari dan tak pernah saya sadari, untuk yang dikatakan dan tak pernah terkatakan. Saya biarkan ini tersalurkan dalam tulisan, yang setiap saat ini akan saya baca ulang. Untuk seseorang atau siapapun itu yang mengetahui ini, “mengakui kemudian mengatakan maaf didepanmu, mungkin akan berat saya lakukan karena egoku, dan akan membingungkan terhadapmu karena spontanitas ini. jika kamu menerimanya maka maafkanlah, jika tidak maka maafkanlah upaya ikhlas ini sehingga dilain waktu dan lain orang hal serupa tak akan dilakukan”.

You Know What I Mean, saya tahu kalian mengetahui maksud kata diawal tersebut. Maka saat ini saya bertanya “Maukah kamu memaafkanku?”. Memaafkan sesuatu yang selalu dituntut tanpa terlebih dahulu dipenuhi, sesuatu yang selalu dilakukan tanpa alasan seperti yang semestinya agar tidak membingungkan, sesuatu yang dijanjikan lalu selalu diulur bahkan dilupakan, sesuatu yang secara sadar saya melupa.

Maukah kamu memaafkanku? Dimana kelak, dengan ini akan sangat membantu mengingatkanku pada kealpaanku, memperteguh usaha untuk mewujudkan janji yang saat ini dibuat jarak diantaranya, menuntaskan niat pada yang semestinya dimintai untuk sebuah niat yang baik di masa depan, janji niat yang dihadapkan kepada Allah Swt dan Orang Tua.

Maukah kamu memaafkanku??  
[special for TM]
Surakarta, 14 Maret 2013

Komentar

Tulisan Populer

Katange dan Ekspresi Cinta Ala Orang Buton

Jika anda orang buton, tentu tak asing dengan istilah katange. Sedikit memberi penjelasan, bahwa katange itu sebutan untuk bingkisan makanan yang dibawa pulang oleh tamu setelah menghadiri hajatan. Nah, dalam beberapa hajatan masyarakat buton, biasanya katange ini menjadi aturan wajib bagi tamu untuk dibawa pulang. Pernah tinggal dan berinteraksi dengan orang jawa, selama beberapa tahun di solo untuk berkuliah. Saya pun mendapati hal seperti ini, hadiri tahlilan pulang-pulang di beri sekantong roti. Ini berkah bagi anak kost. Setidaknya kopi manis jomblo dipagi hari kita, kini gak jomblo lagi dengan kehadiran roti dari tahlilan. Entah namanya apa?, tapi di buton itu disebut katange. Saya paling suka bagian ini. Dahulu, ketika bapak atau kakek atau siapapun itu, selepas pulang dari hajatan (orang buton menyebutnya haroa) pasti menentenga tas plastik berisi macam-macam penganan khas orang buton. Sasaran incar saya, kalau bukan onde-onde yaaa....pisang goreng tanpa tepung, atau disebut

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.