Pictur here |
Ada sebuah pepatah yang
mengatakan Ilmu tanpa Amal ada keterkaitan erat, Ilmu tanpa Amal seperti pohon
tanpa buah, Amal tanpa Ilmu, laksana pohon tak berakar. Kesesuaian antara ilmu
dan amal ini adalah sebuah pencapaian dari seorang pencari ilmu. Selain dengan
pengamalan ilmu itu dapat menggambarkan keimanan seseorang, tapi juga dengan
berbagi ilmu akan menambah pengembangan keilmuan seseorang. Ilmu yang
senantiasa di ujicobakan melalui pengamalan akan terus berkembang dan memiliki
daya uji yang baik di lingkungan.
Tentunya dengan ilmu
yang diamalkan, akan memberikan manfaat bukan saja kepada diri sendiri namun
juga kepada masyarakat. keutamaan ilmu juga dilihat bagaimana ilmu tersebut
dapat dipraktekkan di lingkungan sosial atau yang lebih luas lagi. Tidak
jarang, saat ini banyak disebutkan bahwa pendidikan itu mesti menginspirasi.
Melalui pengamalan dari ilmu dan semakin berkembangnya ilmu tersebut, dapat
memberikan inspirasi bagi orang lain untuk mengembangkan keilmuannya.
Lalu bagaimana
pentingnya sebuah ilmu, menurut saya adalah seperti sebuah cahaya yang akan
menunjukkan jalan kebenaran bagi si pemilik ilmu tersebut. Sebuah catatan
penting diberikan oleh Syekh Aiman Sami dalam risalah bertajuk “Risalah ila Thalib
al-Ilmi”. Yaitu, tugas yang diemban oleh para pencari ilmu sangat mulia dan
terhormat. Dengan ilmu yang diperoleh, pada hakikatnya akan mengantarkan mereka
terhadap pengakuan yang kuat atas eksistensi Allah SWT.
Selain itu, orang-orang
berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah Swt beberapa derajat seperti yang
ditegaskan dalam Al Quran surah Az Zumar ayat 9 dan Mujadilah ayat 11. Bahkan
Rasulullah Saw memberi pesan bahwa para pencari ilmu itu adalah bagian dari
jihad. Sehingga perlu dipikirkan bahwa, eksistensi sebuah ilmu itu dilihat dari
bagaimana kemudian ilmu tersebut diamalkan dalam perbuatan.
Keutamaan ilmu lainnya,
bisa kita dapati dalam pesan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa ilmu itu lebih
berharga dari harta. Ilmu akan menjagamu, sementara engkau menjaga harta itu.
ilmu akan berkuasa, padahal harta akan engkau kuasai. Dan, harta akan berkurang
dengan dibelanjakan, sementara ilmu semakin bertambah jika sering disalurkan.
Namun saat ini bahwa
ilmu yang kemudian diikuti dengan amal, cenderung dinilai mulai hilang dari
sebagian orang. Lihat saja fenomena kemasyarakatan saat ini, seseorang dengan
ilmu yang tinggi berasal dari perguruan tinggi hingga mencapai gelaran akademik
yang tinggi pula, seakan-akan tidak mampu memberikan gambaran etika seorang
yang berilmu. Sebut saja misalnya para pelaku korupsi, mereka malah bukan saja
memiliki ilmu tentang “salah-benar” namun juga berasal dari institusi publik
yang mestinya memberi contoh tentang perilaku yang baik.
Aktivitas kini seakan
hampa nilai, memiliki ilmu bukan sekedar menambah pengetahuan, menaikkan status
sosial dimasyarakat, atau sejumlah penghargaan lainnya. dengan ilmu mestinya
lebih menuntun kita dalam memandang esensi keberadaan kita dengan lingkungan
sekitar dan alam semesta.
Persolannya sekarang,
ilmu etika, sopan santun, saling menghargai, toleransi, kemanusiaan dan
sebagainya seakan tidak sejalan dengan prakteknya. Seorang terpelajar dalam
bidang hukum bisa saja menjadi mafia hukum paling top, saat ini pun bisa
ditemukan dengan mudah. Ilmu kehilangan nilai etika dan adab didalamnya. Ada
klausul yang kadang dijadikan candaan yang menyatakan semakin banyak orang
pintar maka semakin banyak praktek pembodohan juga.
Sudah selayaknya,
dengan ilmu mampu membuat kita semakin menyadari keadaan diri ini dengan
realitas sekitar. Menyadarkan diri bahwa dengan ilmu ini akan membawa seseorang
kejalan yang di ridhoi Allah Swt. Dengan ilmu pula kita dapat memberikan
manfaat kepada lingkungan sekitar terutama keluarga, bukan karena akan
melahirkan penghargaan dari orang lain, namun ilmu yang akan menghargai dirinya
sendiri dengan amalan yang mengikutinya.
Realitasnya memang
tidak mudah, dengan melakukan pengamalan ilmu yang terkadang dipandang
“setengah” oleh masyarakat lainnya. biasanya ini terjadi jika jenjang
pendidikan yang cukup tinggi, maka akan semakin resisten dengan
kegiatan-kegiatan yang membutuhkan banyak tenaga, pandangan umum mungkin
menyakini tingginya pendidikan menjadikan sedikitnya kerja. Saya kadang
terjebak pada mindset seperti ini, masa sarjana/pascasarjana melakukan itu?
Namun, dalam kondisi
yang berbeda saya sendiri belajar bahwa tidak ada batasan jenjang untuk
melakukan sesuatu. Banyak contoh kok para profesor dan doktor yang rela tinggal
di pelosok, kawasan kumuh dan lokasi yang dekat dengan realitas masyarakat
kebanyakan. Mereka menjadi contoh “pembeda” dalam melakukan dan mengamalkan
ilmu mereka untuk masyarakatnya. Intinya yang ingin dibagi adalah 3 hal yang
perlu dilakukan dalam menuntut ilmu; jangan sombong, luruskan niat dan komitmen.
Teringat sebuah pesan
dosen saya, “jangan pernah merasa sombong dalam berilmu pengetahuan.
Harta karun itu berada di bawah, dan struktur masyarakat kita itu bentuknya
seperti piramida, dan harta karun itu ada dibawah piramida bukan diatas.
Tahukan? Kalau tempat terbawah dari piramida struktur masyarakat itu adalah
kaum miskin?. Jika kamu bergaul dan belajar dari mereka yang miskin (walaupun
kita juga miskin) maka kamu akan mendapatkan harta karun itu. dan yang
terpenting jangan berpikir harta karun seperti yang ada di film-film itu, tapi
sesuatu yang lebih berharga dari itu.”
Saat ini perlu kiranya melurusan niat, belajar ya untuk
belajar, belajar untuk memperoleh ilmu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah
Swt. Segala sesuatu itu tergantung dari niat, titah Rasulullah Saw dalam hadis
riwayat Umar bin Khatab. Membersihkan niatan duniawi memang tidak mudah. Perlu
usaha keras dari yang bersangkutan. Tetapi, ini akan sebanding dengan hasil
yang akan dicapai. Dua kebajikan sekaligus akan tercapai, bila niat belajar
diikhlaskan untuk-Nya, yakni kebaikan beribadah dan ganjaran mencari ilmu.
Memang tidak mudah
untuk itu, menuntut ilmu memerlukan kesiapan dalam keterbatasan. Komitmen menjadi penting disini,
Ibaratnya seperti anak kost, serba terbatas jka diperbandingkan dengan
kehidupan di dalam keluarga kita. Tapi jika dijalani dengan ikhlas dan teguh
maka akan memberikan pengalaman hidup yang baik untuk kita kedepan. Belajar
mandiri, berkeputusan sendiri, berusaha sendiri dan banyak lagi, istilahnya
pentahapan dalam kedewasaan diri.
Dituliskan oleh tokoh
generasi salaf, Sufyan ats Tsauri bahwa Seorang pencari ilmu tentunya bisa saja
jauh dari hidup ideal, dan akan terbiasa dengan hidup prihatin. Tidak bergaya
hidup mewah, berapapun bekal materi yang ia kantongi, hendaknya dipergunakan
secukupnya. Justri, mereka yang berkecukupan biaya dan ongkos faktanya kerap
kesulitan menerima ilmu. Murid-murid berprestasi malahan banyak bermunculan
dari keluarga sederhana, bahkan serba kekurangan. “ilmu hanya akan diraih berkat
sabar dan keprihatinan, kata Imam Malik”.
Untuk itu, saat ini
bersyukurlah yang masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu di institusi
formal. Belajar dan menyerap ilmu sebanyak mungkin sebagai bekal untuk
pengamalan dan melakukan bakti ke masyarat kedepannya, menjadi insiprasi untuk
saudara-saudara yang belum beruntung untuk berpendidikan formal. Tidak mudah
memang menjalani dan menuntut ilmu disegala keterbatasan terutama biaya, namun
jika di jalankan dengan niatan yang lurus dan komitmen insya Allah jalan akan
terbuka. Pesan yang bisa diambil adalah boleh jadi hari ini kita bersusah-susah
mencari ilmu, besok lusa ketika dalam pengamalan ilmu tersebut maka ilmu yang
akan bersusah-susah untuk kita. Seperti kata Imam Ali bahwa “Ilmu akan menjaga
pemiliknya”.
[inspirasi
menuliskan ini dari rubrik Dialog Jumat Republika “Bekal Menuntut Ilmu”,
edisi
Kamis 28 Maret 2013]
Perpustakaan
UNS
28
Maret 2013 at 2.53pm
Komentar