(Cerita ini hanya fiksi belaka, tidak kesamaan apapun atau keinginan
apapun yang menyertainya. Sekedar fiksi dari sebuah imajinasi yang terjebak
pada rutinitas)
Suatu saat di aula walikota
disesaki oleh para pencari kerja (pencaker), lengkap dengan map dan beberapa
alat tulis. Namun bukan untuk mendaftar ataupun ujian tertulis untuk sebuah
posisi sebagai CPNSD, tapi Lelang Posisi. yaa..namanya lelang posisi CPNSD,
dimana berbagai posisi lowong (bahkan yang sengaja dilowongkan) akan dilelang
secara terbuka kepada para pencaker ini. namanya lelang, tentu mekanismenya
siapa "penawar" tertinggi maka dialah yang akan menang. Alat tawarannya
apalagi kalau bukan, Uang.
Setiap pencaker, didata
(registrasi dengan sejumlah rupiah) dahulu kemudian diberi sebuah papan tulis
ukuran 15 cm x 15 cm sebgaia instrumen lelang. ruangan semakin sesak dengan
kedatangan para pencaker lainnya dari berbagai daerah, dengan "bekal"
hasil jual apa saja tanah, kendraan, kebun, bahkan rumah untuk sebuah momen
prestisius kala itu yang dinamakan PNS (Pegawai Negeri Sipil). suara-suara
bising, ditambah aroma keringat yang bercampur dalam udara yang cuman bertukar
pada lubang-lubang kecil di langit-langit, AC waktu itu belum dinyalakan
"Sang Juri" lelang belum datang. karena dialah yang paling penting
disini.
Kondisi ruangan semakin riuh,
bisik-bisik yang membahana bahkan bisa jadi saat itu tidak menjadi bisikan lagi
tapi teriakan, karena dilakukan secara bersamaan. seorang lelaki berpakaian
rapi, cokelat dengan beberapa atribut di sisi kiri dan kanan lengan kemejanya.
semua orang tahu, dia "Sang Juri" seorang pemimpin tertinggi di
daerah dan penentu semua ini, Lowongan pekerjaan. disisinya didampingi beberapa
orang bertubuh tegap, protokoler. dan seorang dengan pakaian putih hitam, orang
ini yang akan menuntun jalannya Lelang.
Prosesi lelang dimulai dari
pidato pembuka oleh walikota alias sang juri, walaupun orang-orang tidak suka
mendengar apa yang dibilang olehnya tapi ini wajib, ini prosedur, dan ini
syarat protokoleran yang ada. Pidatonya tentang apa yang “akan” dia buat bagi
daerah, selain itu entahlah. Orang-orang disitu sudah pada tahu, bahkan pegawai
terdekatnya pun tahu kalau pidatonya itu tidak pernah berubah sejak dia
menjabat 2 tahun lalu. Katanya pidato ini
yang membuat saya lebih percaya diri, makanya suka menggunakan pidato itu. itupun
pidato tersebut disusun oleh beberapa akademisi daerah yang menjadi
pendukungnya di pilkada lalu.
Lelang terbuka dimulai, penuntun
jalanya lelang mulai membuka posisi yang lowong dan akan dilelang kepada para
pencaker ini. suara-suara riuh saling sahut-sahutan sambil sesekali mengangkat
papan kecil bertuliskan nilai penawaran yang ditawarkan. Kelihatannya bukan
angka yang kecil, karena dipapan memang hanya tertulis angka dua digit, namun
kesemuanya dikalikan dengan juta (alias 6 digit angka 0). Mencengangkan, seru,
menengangkan, ketika harapan-harapan atas sebuah posisi itu dilempar kesana
kemari mengikuti ritme besarnya nilai tawar. Beberapa telah mendapatkan posisi
lowong dengan nilai tawar tertentu. Bahkan beberapa harus kembali berpikir
untuk menambah nilai tawar yang dibawanya saat itu karena kurang, dengan berUTANG.
Rangkaian lelang selesai, yang
banyak menyisakan harapan yang harus kembali dibawa pulang. Namun beberapa
lainnya berhasil mendapatkan lowongan tersebut, walaupun harus ditebus mahalnya
nilai tawar yang harus dibayarkannya. Bahkan ada yang masih ragu atas
keberhasilannya dalam lelang dan akan diberitakan di rumahnya, sebuah lowongan
jabatan yang ditukarnya dengan nilai tawar hingga ratusan juta itu, hanya
membuatnya menempati posisi paling rendah di instansi dengan pekerjaan mengantarkan
surat dan sekedar tukang stempel. Padahal dia adalah lulusan magister dari
perguruan tinggi ternama. Bagaimana mungkin?
Begitulah, lelang. Terkadang memberi
kepuasaan atau bisa membuat kebinasaan.
Komentar