Langsung ke konten utama

Logika Perut Kosong

gambar dari baidu.com
Ada yang bilang kalau logika tanpa logistik, kegiatan tidak akan berjalan dengan baik. Begitu kira-kira yang seringkali dikatakan dalam beberapa kegiatan, seringkali logistik dalam hal ini makanan bisa menjadi sarana bagi bertumbuhnya ide-ide. Apalagi memang suasananya dalam perumusan rencana kerja sebuah organisasi, logistik akan sangat mendukung ide-ide yang akan bermunculan.

Maksud dari ide-ide yang muncul disini bukan karena adanya hukum kausalitas yang berlaku antara logika dan logistik tadi, namun pada bagaimana kemudian forum terkelola dengan baik jika perut tidak kosong. Karena bisa jadi teriakan perut yang lapar akan mempengaruhi besarnya teriakan suara, sehingga konflik bisa terjadi kapan saja. Mungkin ini yang orang-orang bilang dengan diplomasi meja makan, yang kebanyakan berakhir dengan kesepakatan bersama.

Namun maksud saya disini bukanlah pada konteks merumuskan program kerja seperti diatas, namun bagaimana menimbulkan ide-ide dalam menuliskan sesuatu. Menurut saya, ketika menulis dan logistik bisa saling mempengaruhi. Dalam artian bahwa ide menulis bisa muncul dengan atau tanpa dukungan logistik yang mumpuni. Karena jika logistik kemudian menjadi daya dukung paling kuat untuk itu, mengantuk dalam progres menulis adalah keniscayaan.

Sungguh! Ini berlaku dari saya sendiri yang saat ini sedang menulis tesis. Ketika berusaha mencari ide untuk memulai menulis tesis, biasanya saya memulainya dengan membuat kopi atau teh dan ditemani dengan sedikit makanan. Malah kemudian yang ada, rasa kantuk merajelela ketika melihat jejeran data-data penelitian. Praktis mau memulai menulis lewat sisi mana hanya menjadi luapan ngantuk pada mata, dan jelas ide takluk dibelaian ngantuk yang selalu ingin mempertemukan kelopak mata atas dan bawah saya.

Berbagai cara saya lakukan untuk ini, antara lain saya suka memikirkan ide-ide sambil jalan-jalan keluar. Saya mengistilahkan ini dengan berbicara pada alam, entahlah ini mungkin karena ide otak saya yang mulai krisis kata atau saya yang mulai tidak waras. Pada akhirnya, ide memang bermunculan namun saya kayak orang yang berjalan tanpa rasa, kayak orang menghayal disepanjang jalan. Jelas, pikiran saya bukan dijalan namun pada apa yang cocok dibahas dalam tesis bagian ini, apa yang kurang, apa yang mesti dicari lagi, data saya sudah cukup tidak.

Parahnya lagi, pernah suatu kali di lampu merah saking banyaknya ide yang bermunculan saya tidak memperhatikan lampu hijau yang sudah bermunculan dan akan segera berganti merah kembali. Padahal saat itu, saya lagi membonceng mama dari menemaninya kerumah teman beliau. Ketika sadar, karena mama menegur saya kalau lampu sudah hijau namun saya masih dalam keadaan loading, makanya lampu sudah berganti jadi merah kembali. Biar tidak nampak kalau saya menghayal, yaa...apa boleh buat lampu merah saya terobos saja, mumpung disisi lain jalan belum bergerak maju.

Apapun itu, saya pikir memang mesti ada pergantian lingkungan atau keluar dari zona nyaman. Rumah memang sangat sangat menjadi zona nyaman bagi saya, betapa tidak? Untuk seorang yang saat ini hidup kost-kostan di daerah orang, tentu makan dengan segala keterbatasan rasa dan kuantitas sudah pasti. Makanya rumah adalah bagai seorang musafir di yang menemukan oase dipadang pasir tandus, pokoknya maunya nyantai dan menikmati setiap masakan mama adalah rutinitas nomor satu dalam agenda pribadi dirumah yang belum sempat saya tuliskan, karena itu tadi namanya zona nyaman.

Pada akhirnya memang, ide ini harus dijalankan. Makanya keputusan untuk kembali kekost untuk melanjutkan kuliah adalah pilihan paling jitu. Mungkin dekat dengan gudang ilmu, bisa menjadi stimulus positif untuk menuliskan tesis saya yang mati suri ini. Namun, memang efek zona nyaman dirumah masih saja mengikuti, yang ada memang tesis hidup untuk diliat dan dibaca namun baru beberapa lembar saja sudah cukup membuat dua kelopak mata ini saling merindu lagi, ooohhhh....tempat tidur, bantal seperti busa yang sangat nyaman untuk berbaring.

Disinilah kemudian perlu dilakukan sesuatu yang lebih bernas, apa itu? Mengerjakan tesis dengan perut kosong. Ternyata efeknya cukup mumpuni, buktinya dalam sehari bisa dituliskan beberapa lembar dan ini berlangsung terus menerus dari hari ke hari. Praktis dalam seminggu saja, tesis setebal 100.an lembar itu takluk di atas layar lcd netbook saya. Sekalipun pengeditan itu belum dilakukan, setidaknya saya sedikit puas karena bisa sampai pada fase itu.

Tidak kalah mendukung adalah jika kita memiliki lawan, dalam artian bahwa partner dalam menulis tesis dan saling melaporkan progres masing-masing. Saya memiliki teman dengan kondisi serupa, dan sepakat menjadi sparingpartner untuk ini. Setidaknya saya memiliki motivasi dari teman ini, bahwa harus ada yang saya tuliskan hari ini biar besok tidak terlalu mengecewakan dalam pelaporan progres tesis. Makanya, walaupun rutinitas di kampus dijalankan, namun tetap tesis adalah semacam cemilan disela-sela waktu untuk dilahap. Padahal mestinya pada kondisi ini, tesis mestinya menjadi menu utama ya...heheh.

Kembali pada logika perut kosong tadi, ini menjadi point penting dari tulisan ini. Dalam mengerjakan sesuatu biasanya kita lupa makan? Atau sebaliknya karena kita makan maka kita lupa mengerjakan sesuatu?. Tidak perlu pake riset, memang ternyata tidak makan alias membiarkan perut kosong sejenak, akan lebih mudah ide-ide bermunculan dan bisa dituliskan.

Tapi perlu diingat juga, perut kosong maksud saya ini adalah tidak dilakukan dengan radikal, bahwa tidak mau makan dulu sebelum semuanya selesai, yang ada kita yang selesai kalau begitu. Karenya perlu bijak juga dengan ini, biar bagaimanapun diri ini perlu juga diapresiasi atas pekerjaan yang kita bebankan. Mata perlu istrahat, jari perlu istrahat, otak perlu refreshing dan tentu perut perlu diisi.

Lalu bagaimana caranya, logika perut kosong maksud saya adalah dengan berpuasa. Tidak perlu tiap hari juga, puasa senin-kamis juga sudah cukup memberikan banyak gambaran ide-ide segar kok. Percaya tidak percaya sih, cuman kalau kita rajin melihat riset-riset dalam dunia kesehatan tentang puasa, pasti kita bisa lebih paham akan hal ini. Kata salah seorang guru saya, puasa itu seperti sebuah meditasi diri untuk membuka berbagai pikiran kreatif.

Kenapa? Karena puasa itu menyangkut pada 3 organ kita, yakni lambung, hati dan otak. Ketika lambung dalam hal ini perut dipuasakan, maka energi tidak akan banyak terpakai hanya untuk mencerna makanan, dan energi ini kemudian dipakai buat tubuh menyerap oksigen sehingga darah lebih lancar mengalir didalam tubuh. Praktis hati akan memiliki asupan oksigen yang baik untuknya menghasilkan hormon yang kemudian menimbulkan perasaan rileks dalam otak (mungkin seperti ini juga reaksi hati ketika jatuh cinta, ecieee). Nah, disinilah kemudian ide-ide untuk menulis tercipta.

Pada intinya, logika perut kosong ini bukanlah seperti pengertian bahwa perut harus kosong. Namun mesti punya tujuan, puasa adalah tujuan paling baik dan juga berpahala serta membuka jalan rejeki kok. Karennya, bisa dicoba kok bagaimana kita belajar terus sambil meniatkan untuk puasa sunah, yakin aja pasti pelajaran lebih mudah diresapi dan dipahami. Ini hanya salah satu contoh, mungkin bisa juga berlaku pada kondisi lain.

So, buat kalian yang merasa sulit meresapi pelajaran, sulita mencari ide, atau dalam keadaan galau, cobalah untuk berpuasa. Bukankah puasa juga salah satu cara menahan nafsu sekaligus mendekatkan diri sama Allah Swt. Kalau kita dekat dengan Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, masa iya kita tidak mendapati itu.??
Wallahualam..

#Ceracau Jumat

18.04.14 

Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.