Barangkali setiap orang punya alasan tersendiri dalam memberi nasehat, atau bahkan menuliskan sebuah kata-kata mutiara. Memang membuat orang lain merasa nyaman dengan apa yang kita katakan, membuat orang lain termotivasi terhadap apa yang kita tuliskan itu, semacam akan timbul sebuah efek timbal balik. dalam artian bahwa orang merasa senang dan kita juga akan merasa berarti bagi orang lain dengan kata-kata itu.
Namun, pernahkan kita menyadari bahwa apa yang kita katakan adalah juga apa yang kita lakukan? atau misalnya kita menasehati orang dengan begini begitu padalah kita sendiri belum pernah mengalami hal itu? atau ada alasan yang lain, mungkin? Intinya adalah kita menjadi subjek yang pasif dari apa yang kita nasehatkan kepada orang lain.
Bahkan ketika membuka pengantar tulisan ini saya masih saja menempatkan diri sebagai subjek pasif, emm...okelah, ini lah celakanya saya.
Ketika menuliskan semua nasehat atau kata-kata indah, melalui media sosial yang saya miliki, saya selalu menjadi subjek pasif disitu. seolah-olah saya sudah melakukan itu atau saya pernah merasakan hal yang serupa. saya lupa kalau cara orang menghadapi sesuatu itu berbeda, apalagi kemudian ini menyangkut rasa? menggeneralkan mungkin bisa, namun menyamaratakan semua kejadian dengan satu jalan keluar tentu tidak bijak.
Tapi, inilah mungkin yang disebut sebagai guru yang paling baik itu adalah pengalaman. pertanyaanya adalah pengalaman seperti apa? ini dia yang menjadi pemikiran saya, apakah itu pengalaman orang lain? pengalaman sendiri? atau hasil dari bacaan berbagai sumber yang didapat?. semuanya bisa jadi memiliki nilai yang sama, bahwa referensi tersebut bisa menjadi pengalaman tapi belum tentu juga bisa menjadi pengamalan pada hal yang serupa.
Karena itu, saya ingin menuliskan ini bahwa celaka lah saya!. ketika saya selalu saja menempatkan diri sebagai orang yang sok bijak dengan permasalah orang lain, padahal disisi lain saya juga memiliki masalah yang cukup kompleks. Saya sepakat dengan peryataan bahwa berbeda orang berbeda persepsi terhadap masalah. Namun konteks disini adalah apakah saya sendiri sudah belajar dari pengalaman sendiri, sehingga menasehati orang untuk belajar dari pengalaman sendiri juga?
Celakanya adalah disini, saya selalu menganggap bahwa saya itu cukup tangguh dan banyak pengalaman untuk memberi nasehat, padahal seyogyanya saya pun memerlukan serangkaian nasehat itu juga. Pada akhirnya, ketika berhubungan dengan permasalahan seperti ini saya mencari pembenaran dengan menerangkan cela yang dimiliki orang lain, sebagai bentuk komparasi saya untuk membuat sebuah nasehat.
Olehnya itu, mulai saat ini saya akan terus berupaya belajar bahwa menyibukkan diri dengan memperbaiki diri lebih baik ketimbang mencari kesalahan orang lain, yang kemudian menjadi referensi dalam memberikan nasehat kepada orang lain.
Kalau sekarang saya sedang berdiri didepan cermin, saya akan meneriakkan "hai, bung! musuh terbesar itu bukan mereka yang kau anggap berbeda dan berdiri memegang senjata disebelah bumi sana, tapi musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri yang selalu saja mengeluh, kurang bersyukur, malas, menunda-nunda waktu, menumpuk banyak alasan, tidak jujur, dan lain-lain.
Mulai sekarang memulai memahami diri sendiri, adalah nasehat untuk diri sendiri juga.
#DO THE BEST
Komentar