Langsung ke konten utama

Sudah Sepuluh!



Sore itu tak jua menyisakan panas siang tadi yang menyengat. sisa-sisa sinar mentari masih bisa masuk di sela-sela jari-jari kamarku. saat itu kau datang padaku untuk berbicara dari hati katamu, namun ku belum siap untuk itu karena aku baru pulang dari kampus. kau duduk bersila di tepi tempat tidurku, sambil memperhatikanku memperbaiki letak buku yang kubawa kuliah tadi.

"apa yang ingin kau katakan, ayra"?, tanyaku.
"aku punya surat buat "dia", katamu.
"lalu? apa yang mesti saya lakukan dengan suratmu? kau mau memintaku untuk mengantarkannya ke "dia"? aku, kan tidak mengenalnya, tahu tempatnya ataupun bagaimana dia?"
"tidak!, kau cukup membacanya saja" katamu.
"lalu kau boleh berkomentar, seolah-olah kamu adalah "dia".
"isinya tentang apa? tanyaku lagi."
"tentang rasa, pada usia, dalam waktu, katamu"
sambil duduk disampingmu, dengan raut muka masih bingung dan serius,
aku bertanya, maksudnya?" aku bukan orang yang cepat mengerti tentang itu.
"ya, tentang rasa yang bersama dalam "sepuluh" katamu.
"bacalah terlebih dahulu, semoga saja kau mengerti maksudku".
sambil memperbaiki duduk, saya mengambil kertas yang kau berikan padaku.

judulnya " sepuluh"


Genap sudah sepuluh bulan sejak saat itu, saat pertama kali kuberniat untukmu. Ketika semua yang saat itu kujadikan senjata buat bisa terlihat tidak terlalu kikuk di depanmu. Pasti kau merasa risih (sedikit) untuk seseorang yang belum lama kau kenal, datang dengan “sok” berani bicara tentang rasa.
Sepuluh, menurutku waktu yang bulat.artinya dia bisa dibagi dua sama rata sama banyaknya. Anak sekolahan senang sekali ketika ibu guru mereka memberinya nilai ini, sepuluh. Saya juga saat ini bisa jadi seperti anak sekolahan tadi, mendapat nilai sepuluh dari jawaban yang kuniatkan untukmu saat itu.
Sepuluh, waktu yang cukup lama jika dia dinominalkan dalam bulan kalender. Waktu yang cukup juga untuk berbuat sesuatu, baik dan buruknya sudah pasti senantiasa mengiringi. Tapi ketika sepuluh yang kita jalani itu masih memberi “senyum”, maka baik dan buruk tadi bernama hikmah. Dan mari mengambil beberapa pelajaran di dalamnya.
Sepuluh, rentetan jalur yang cukup panjang. Di dalamnya bukan berarti selalu berada di jalur yang membuatmu senang atas tindakanku. Masih ingat saya dengan janjiku dulu, saya akan menjadi yang baik buat kamu karena saya tak akan bisa menjadi yang terbaik buat kamu. Begitu kataku dengan berani padamu. Tapi mungkin ada kelakuanku yang selalu membuatmu jengkel, marah ataupun cemburu terhadapku. Aku akui bahwa saya tidak terlalu bisa menangkap semua kebiasaanmu kini, saya masih perlu belajar tentangmu.
Sepuluh, itu sempurna. Tapi mungkin saja apa yang saya lakukan terhadapmu belum sempurna. Kalau kata mutiara bilang “saya orang yang tidak sempurna tapi mencintaimu dengan sempurna”, saya mungkin tidak keduanya. Saya sadar ketika membuat kamu jengkel dengan kelakuanku, namun malah saya yang kemudian marah padamu. Mestinya saya jadi orang yang menerimamu dengan apa adanya kamu. Saya selalu banyak menuntut padamu, banyak malah sehingga sering saya memarahimu untuk itu.
Sepuluh, bagi orang-orang mungkin tidak terlalu berarti. Tapi bagiku sepuluh dan dikaitkan ketika “bersamamu”, itu istimewa. Berlebihan memang, tapi entahlah saya tidak bisa membohongi perasaanku. Oh iya....ketika kamu mempertanyakan keyakinanku dan kamu merasa saya tidak yakin, bukan keyakinanku kepadamu yang tidak ada tapi keyakinanku terhadap diriku yang belum ada. Masih banyak hal tentangmu yang belum saya tahu, masih banyak.
Sepuluh, sudah cukup lama ya.., saya sadari memang sudah selama itu namun ketika ditanya apa yang kuperbuat untukmu? Sepertinya belum ada. Saya sadar belum bisa menyenangkanmu, apalagi mengerti tentangmu. Terkadang saya mencoba memecah suasana, harapannya untuk menyenangkanmu tapi malah hal itu membuatmu jengkel ataupun marah terhadapku. Mungkin kelakuaku terlalu berlebih, maaf ya..
Sepuluh, entah ada apa dengan sepuluh. Saya belum bisa mempersembahkan sesuatu yang berarti untukkmu. Mungkin omongaku saja yang besar tentang inidan itu, tapi selalu saja ada alasan untuk mengingkari itu semua. Entahlah perasaanmu terhadapku bagaimana dengan itu, kau boleh mengataiku apapun. Tapi ajari saya dengan sesuatu yang baik, yang menurutmu patut saya lakukan untukmu.
Sepuluh, pengharapan yang panjang jika menunggu. Saat ini selalu mengaharapmu untuk bisa sama-sama terus, entahlah saat ini pandanganmu bagaimana? Saat ini mungkin keberaniaku seperti ini, belum mampu untuk seperti yang diajarkan agama kita (melamarmu). Bukan karena saya tidak mau terhadap itu, saya mau cuman saya sadari belum bisa mencukupimu saat ini. Kamu tahu alasan saya tentang itu, pernah saya cerita tentang itu bukan.
Sepuluh, semoga di panjangkan. Maaf ya...jika selama sepuluh ini saya lebih banyak menuntut padamu, selalu menyakitimu, selalu buat kamu jengkel. Saya bukan raja gombal , jadi maaf kalau tulisan ini kayak curhatan padamu. Cuman saya merasa kalau kamu itu istimewa dan perlakuaku belum menyadari itu. Maaf lahir batin, saya tidak mau ini jadi hubungan yang sia-sia saja. Kalau bisa, tanpa memaksa tuhan “biar kamu saja yang akan bersama-sama saya nanti jika panjang umur”.
Sepuluh, makasih ya....sudah mau menemaniku hingga waktu ini. Semoga kamu sehat selalu ya. Segala urusannya dimudahkan olehNya. Maaf ya..klo selama ini sudah menyusahkanmu, terserah deh mau di hukum bagaimana saya ini? Toh terkadang saya lebih mau dimengerti ketimbang mengerti kamu. Kamu pasti lebih mengerti tentang kita dan nantinya. Kamu pasti mengira saya orang yang aneh, karena saya orang yang aneh memang heheh..
Maaf ya....untuk belum bisa sepenuhnya membuat senyum diwajahmu, membuat nyaman di setiap hari-harimu. Saya hanya bisa menuliskan ini untuk kamu, karena saya hanya bisa ini. Saya tidak punya bunga ataupun apapun yang bisa dibilang itu romantis, saya cuman punya ini. Maaf ya...harapan awalmu masih belum bisa saya jawab dengan tindakanku.
Sepuluh, doaku untukmu semoga sehat selalu tidak kekurangan apapun, keluargamu pun begitu sehat dan selalu diberi hidayah olehNya. Semoga segala usaha dan urusanmu dimudahkan ya...maaf jika terkadang (sering malah) memaksamu melakukan sesuatu, memonitori makanmu, menanyai apa yang kamu bikin, saya cuman ingin merasa “dekat” denganmu dalam pertanyaanku. Maaf ya...


aku terdiam, entah apa yang ingin kukomentari dari rasa yang kau tuliskan ini ayra.
anak seumuran dirimu menuliskan ini, sudah ku katakan aku tak begitu mengeti dengan yang beginia.
"kau, tersenyum. makanya tulisan ini kuberi ke kamu"
"lho?, terheran"
"iya, jika kuberikan kepada yang mengerti, lalu buat apa kutuliskan ini untukknya? toh dia sudah mengerti?" iya kan?"
"betul juga, kataku! bukankah ketika kita berbeda maka itu kita bersama?"
kamu tersenyum ayra!
"ayo makan, dulu di depan. mie ayam, ajakku.."
.......



Komentar

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.