Langsung ke konten utama

Mandiri Itu Bukan Usia




Dahulu aku menganggap kemandirian itu adalah salah satu wujud kedewasaan, ketika dewasa berati memiliki ciri-ciri fisik yang sudah dewasa juga tentunya. anggapan-anggapan ini berputar-putar dikepalaku, bahwa kemandirian dimulai saat kita telah beranjak dewasa. saya lupa kedewasaan itu pilihan bukan keadaan.


Saya punya cerita dengan masalah kemandirian ini. saat itu dalam perjalanan malam menggunakan kereta apai menuju ke kota Malang dari Kota solo. kebetulan saat itu adalah pertama kali saya naik kereta apai dengan perjalanan jauh, sebelumnya saya pernah naik kereta apai namun dengan jarak tidak terlalu jauh Jogja-Solo. pada saat itu, saya membeli tiket kelas bisnis dengan asumsi biar bisa istrahat nanti diatas kereta, maklum perjalanan Solo-Malang yang menyita waktu mulai pukul 01.30 dan tiba di Malang saat itu pukul 07.00 WIB.

Dalam perjalanan itu, kemudian saya bertemu dengan seorang anak sendirian dengan membawa binatang peliharaannya seekor kus-kus. pengaturan tempat duduk memang satu tempat duduk buay dua orang, nah anak itu duduknya disamping saya.awalnya sepanjang perjalanan saya cuman menanyai anak ini seadanya saja, anak itupun cuman menanyai satu dua pertanyaan saja,"mas, ini stasiun apa? saya jawab, ini solo balapa. sekedar itu saat itu, mungkin karena jam 01.30 dan dia juga ngatuk dan sayapun begitu adanya. walaupun tidur cuma seadanya, tapi untuk beberapa menit saya bisa menikmati pulas tidur hingga kaki terasa keram mungkin posisi tidur yang kemudian mengunci aliran darah ke kaki, tidurnya dalam kondisi duduk.

Sekitar 2 jam lebih perjalanan, rasanya ngantuk ini pergi entah kemana. saya tengok anak itu juga demikian, sedang asik memainkan kus-kusnya. lalu saya coba bertanya, itu kus-kus ya? dia menjawab" iya mas, kus-kus". sambil terus bertanya ini itu, akhirnya kami mulai akrab. namun ketika kereta berhenti di stasiun kudus, banyak penumpang yang turun disini. mungkin mereka ingin belajar bahasa inggris ya?. nah pada saat mulai sedikit penumpang karena banyak yang turun di stasiun kudus tadi, anak itu pindah tempat duduk, jadi satu tempat duduk saat itu nyaris "dimilik" satu orang. jadi setidaknya ketika tidur, badan bisa sedikit diluruskan. lumayanlah, ketika anak itu pindah tidar saya bisa dilanjutkan lagi walaupun untuk beberapa jam.

ketika terbangun sejam kemudian, dan perjalanan hingga ke malang masih menyisakan sekitar dua jam lagi. akhirnya saya pindah ke tempat anak tadi buat ngobrol aja, daripada bengong sendiri kan? kebetulan anak itu juga tidak tidur kok. awalnya kami ngobrol tentang perhelatan euro yang baru kickoff pembukaan tadi malam dia menjagokan jerman dan saya memilik belanda. nah disitu dia bertanya, tentang saya berasal dari mana karena dialek saya yang berbeda dengan orang solo.saya jawab saya dari sulawesi tenggara, baubau. pernah dengar? dia menggeleng...saya jelaskan sedikit dengan pengetahuan peta saya yang sedikit dan tentunya entahlah dengan dia apakah pernah mencoba melihat di peta. akhirnya dia mengangguk, mungkin dia mengerti.

Sambil cerita, saya bertanya dia berasal dari mana. katanya dari tasikmalaya, Jawa Barat. dan saat itu dia berjalan sendirian, wah berani juga nih anak, dalamku membatin. wajar saja antar Tasikmlaya dan malang itu menempuh jalan ratusan kilometer. saya bertanya di malang ada kegiatan? katanya dia sekolah asrama katolik di malang, setingkat SMP. dia datang untuk cap jempol kelulusan setelah itu kembali lagi ke tasikmalaya. terus katanya, dia akan melanjutkan SMAnya di medan.

Penasaran juga saya dengan anak ini, SMP di Malang lalu SMA di medan. dengan anak seumuran dia tentunya akan sedikit berat harus berpisah dengan orang tuanya. namun saya coba bertanya alasannya, dengan santai dia menjawab: "saya ingin mandiri mas, terpisah dari ibu. saya sudah terbiasa begini dari SD malah mas". saya salut dengan anak ini, seumuran dia dengan jawaban yang menurut saya cukup dewasa dari tampilan dan keadaan umurnya. anak ini memang bercerita ingin mandiri, terpisah dari ibunya katanya "asik, mas. bisa banyak belajar dari orang-orang".

Sebuah pelajaran yang berharga telah saya dapat dari seorang anak SMP pagi itu. diman dahulu saya selalu berpikir bahwa mandiri itu masalah umur dan kedewasaan, namun hari ini seorang anak menunjukkan kesaya, kemandirian itu bukan usia. kemandirian itu pilihan-pilihan hidup kita dan pertanggungjawabannya kekita. seberapa dewasanya kita menanggapi umur kita. bukan umur yang menanggapi kedewasaan kita.

Akhirnya kereta kami tiba di stasiun Malang Kota, dan inilah akhir perjalanan semua penumpang di jadwal tidak ada stasiun tujuan lain lagi, mungkin kereta akan beristirajat disini. saya bertanya, nanti naek apa de'? katanya ada teman yang menjemputnya. dalam pikiran saya kemudian pasti temannya yang seeumuran dia? wah..dia sekolah di asrama berarti banyak anak-anak seperti dia, sebenarnya bangsa ini tidak pernah kalah dengan bangsa lain. hanya saja kita selalu tampil kecil di depan bangsa lain. seandainya aset bangsa ini di serahkan kepada mereka anak-anak kecil mandiri. bagaimana bangsa ini kedepan? tentunya akan baik.

Komentar

froggy mengatakan…
setuju.... kemandirian ngga dilihat dari usia...

Tulisan Populer

JANGAN MENGUTUK SEPI DI TENGAH KERAMAIAN

Merasa sepi adalah bagian dari esensi kepemilikan rasa oleh manusia, namun terkadang perasaan sepi menjadi bagian penghalang terhadap sesuatu yang lebih produktif. Perasaan sepi setidaknya pernah dirasa oleh setiap manusia. Berbagai macam alasan bisa muncul dari adanya perasaan sepi ini, mulai dari sesuatu yang termiliki hingga sesuatu yang menyangkut posisi keberadaan makhluk. Namun perasaan sepi dimaksud disini adalah perasaan sepi yang lain, bukan karena kesendirian disuatu tempat, tapi lebih menyangkut sesuatu yang termiliki dalam rasa (baca: hati).

Nyanyian Bocah Tepi Pantai

Gambar disini Diantara bagian pulau yang menjorok kelaut, terselip sebuah kehidupan manusia sederhana. Bocah-bocah manusia yang menggambar masa depannya melalui langkah-langkah diatas pasir, mempelajari kehidupan dari nyanyian angin laut, dan menulisakan kisah melalui deburan ombak yang mengajari menggaris tepi daratan dengan buihnya. Hari-harinya dilakukan dilaut, berkomunikasi dengan laut sekitar. Setiap hal diberikan oleh laut, kecuali sesuatu yang selalu dinantikan mereka, sesuatu yang selalu dinanti anak manusia dalam hidup, dan menjadi kehidupan bagi generasinya mendatang, yakni sesuatu yang berwujud kesempatan. Kesempatan yang disebut kasih sayang Ina’ [1] mereka.